Kenapa Penjualan Mobil Listrik Gak Sebanding dengan Popularitasnya?

Minat terhadap mobil listrik di Indonesia semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ini bisa dilihat dari tingginya pencarian seputar mobil listrik di mesin pencarian google. Banyak alasannya masyarakat Indonesia mulai melirik mobil listrik, seperti biaya operasional yang lebih hemat, desain modern, hingga citra ramah lingkungan.
Selain itu, pemerintah pun ikut mendorong tren ini melalui berbagai insentif, seperti potongan pajak dan pembebasan bea balik nama kendaraan listrik. Namun, meski mobil listrik semakin menarik dan kian dilirik, angka penjualannya ternyata masih belum sebanding dengan besarnya antusiasme publik.
Apa yang salah dengan mobil listrik sebenarnya?
1. Harga masih jadi kendala

Salah satu alasan utama banyak orang masih ragu membeli mobil listrik adalah faktor harga. Meskipun beberapa merek seperti Wuling Air EV, Chery EQ1, dan Neta V sudah hadir di bawah Rp300 juta, angka ini tetap terasa tinggi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terlebih, untuk kisaran harga yang sama, pembeli bisa mendapatkan mobil bensin berukuran lebih besar dan fitur yang lebih lengkap.
Selain itu, harga baterai yang menjadi komponen paling mahal dalam mobil listrik membuat biaya produksinya tetap tinggi. Meski biaya perawatan dan operasionalnya lebih murah, banyak calon pembeli masih fokus pada harga beli awal sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan.
2. Infrastruktur pengisian daya belum merata

Masalah lain yang sering membuat orang ragu membeli mobil listrik adalah keterbatasan stasiun pengisian daya. Di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) memang mulai banyak tersedia, namun kondisinya belum sama di kota kecil atau daerah luar Jawa.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran soal jarak tempuh dan ketersediaan daya saat melakukan perjalanan jauh. Meski beberapa pabrikan kini menawarkan sistem fast charging dan baterai dengan jangkauan hingga 400 kilometer, rasa khawatir akan “kehabisan daya di tengah jalan” masih menjadi momok bagi banyak calon pengguna.
3. Kekhawatiran soal daya tahan baterai dan nilai jual kembali

Selain soal harga dan infrastruktur, kekhawatiran terhadap umur baterai juga menjadi alasan banyak orang masih menunda membeli mobil listrik. Baterai dianggap sebagai komponen yang mudah menurun performanya seiring waktu dan membutuhkan biaya besar untuk penggantian.
Padahal, beberapa pabrikan kini sudah memberikan garansi baterai hingga delapan tahun. Namun, persepsi ini masih kuat di masyarakat, terutama karena belum banyak data jangka panjang tentang ketahanan baterai di iklim tropis. Kekhawatiran ini juga berdampak pada nilai jual kembali mobil listrik, yang masih belum stabil dibandingkan mobil konvensional.
Ke depan, industri otomotif nasional diharapkan bisa mengatasi tantangan tersebut dengan memperluas infrastruktur, menekan biaya produksi, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang manfaat jangka panjang kendaraan listrik. Jika hal-hal itu bisa terwujud, bukan tidak mungkin mobil listrik akan benar-benar menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.



















