Pahami Customer Pain Point, Bangun Bisnis yang Berkelanjutan

Kesuksesan klien, kesuksesan kita

Jakarta, IDN Times - Semua orang tentu ingin dimengerti. Dalam relasi bisnis, klien bukanlah pengecualian. Mulai dari apa yang menjadi tantangan mereka, hingga apa yang sebetulnya menjadi ekspektasi mereka, klien juga ingin dimengerti. Sebagai ujung tombak perusahaan dalam melaksanakan komunikasi dengan klien, tim Business Development pun harus memahami apa yang menjadi tantangan dan harapan mereka. Sebagai langkah awal, Business Development sebaiknya fokus pada customer pain point, tantangan yang dihadapi oleh klien dalam mencapai objektif mereka.

Ashar Nugraha Febrianto, sebagai salah seorang Business Development Manager di IDN Media, mengungkapkan pemahamannya terkait customer pain point setelah sekian lama berhadapan dengan klien, “Customer pain point harus dipahami agar tim Business Development dapat memiliki konteks ketika berhadapan dengan klien. Dengan menjadi konsultan bagi mereka, trust pun akan terbangun. Hal ini akan terus berlaku untuk klien baru dan klien yang sudah existing.”

1. Jenis customer pain point yang sering ditemui

Pahami Customer Pain Point, Bangun Bisnis yang BerkelanjutanAshar Nugraha Febrianto, Business Development Manager (Dok. IDN Media/Herka Pangaribowo)

Menekuni dunia Business Development selama lebih dari delapan tahun, Ashar mengamati bahwa secara umum, terdapat beberapa pain point spesifik yang dialami oleh mayoritas klien. Pertama, klien kerap mengeluhkan kurangnya awareness terhadap brand mereka. Kedua, banyaknya kompetitor di suatu kategori tertentu yang akhirnya semakin memperketat kompetisi di pasar. Ketiga, minimnya engagement dengan end user, yang kemudian Ashar percaya juga memiliki keterkaitan dengan pain point nomor satu.

Selain ketiga pain point di atas, Ashar melanjutkan, “Masih membicarakan pain point yang dialami oleh mayoritas klien, ada pula kesulitan yang klien alami saat hendak melakukan penetrasi ke suatu target audiens tertentu. Kemudian, klien juga kerap menemukan tantangan dalam memilih dan menetapkan strategi komunikasi agar segala sesuatunya dapat berjalan secara efektif dan efisien.”

Oleh karenanya, Business Development harus mampu memposisikan diri sebagai seorang konsultan yang mampu memahami pain point klien dan menyampaikan solusi secara kritis. “Terkait solusi yang bisa kita propose ke klien, aku melihat bahwa ekosistem bisnis IDN Media yang komplit memiliki potensi besar untuk menjadi one-stop media platform bagi klien. Tidak terbatas pada kelima pain point di atas, ya,” ujar Ashar menambahi.

2. Buat klien komunikasikan customer pain point mereka

Pahami Customer Pain Point, Bangun Bisnis yang BerkelanjutanIlustrasi meeting (Dok. IDN Media/Herka Pangaribowo)

“Ketika ditanya bagaimana kita dapat membuat klien percaya untuk mengomunikasikan pain point mereka, ya, tentu saja caranya beragam, tapi tak ada ‘one way fits all’ untuk hal ini,” tegas Ashar. Perlu disadari bahwa tiap klien itu unik, ada pendekatan yang berbeda untuk brand satu dengan brand yang lain. Namun, satu hal yang Ashar percaya pasti: klien hanya mau mendengarkan apa yang mereka ingin dengarkan.

Untuk itu, Ashar menyebutkan, Business Development harus punya inisiatif untuk melakukan riset kecil-kecilan. “Sebelum menemui klien, coba buka dulu situsnya, jelajahi akun media sosialnya, cek campaign terakhirnya, setelah itu coba gunakan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti saat menggali informasi mengenai kebutuhan mereka. Cara unik lainnya adalah dengan menjalin relasi, ya. In fact, untuk beberapa orang dan industri, cara ini memang betul-betul efektif. Dengan mengetahui latar belakang klien, mengenal mereka secara personal bahkan, kemungkinan klien untuk mempercayakan pain point mereka pada kita pun akan lebih besar,” kata Ashar.

3. Beri solusi pada customer paint point

Pahami Customer Pain Point, Bangun Bisnis yang BerkelanjutanNgobrol Seru IDN Times (Dok. IDN Media/Herka Pangaribowo)

Untuk menawarkan solusi pada klien terkait pain point yang mereka alami, Business Development harus memulainya dari pemahaman tentang product knowledge mereka sendiri. “Kita harus menguasai product knowledge kita terlebih dahulu. Pastikan bahwa kita memahami betul apa, sih, yang sebenarnya kita jual? Dapatkah produk kita membantu klien? Kemudian, jangan pernah berasumsi: lakukan riset yang mendalam terkait perusahaan dan produk klien. Jangan sampai kita tak mengetahui apapun tentang siapa yang sebenarnya sedang kita approach,” ucap Ashar.

Melanjutkan keterangannya, ia mengungkapkan, “Setelah itu, coba pilah produk yang kita nilai paling sesuai dengan pain point tersebut. Langkah ini harus kita lakukan berdasar data, bukan asumsi. Nah, apabila produk yang kita bawa memang secara objektif tidak sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi klien, jangan memaksakan diri. Kalau memungkinkan, siapkan opsi cadangan. Namun, bila tidak memungkinkan, keep moving forward, fokus pada apa yang masih bisa kita kejar.”

Bisnis yang sukses, Ashar percaya, adalah bisnis yang juga memprioritaskan kesuksesan kliennya. Hal tersebut baru dapat tercapai jika solusi yang diberikan oleh tim Business Development sesuai dengan ekspektasi dan objektif mereka. Di sinilah letak pentingnya pemahaman akan customer pain point. Agar intensi Business Development untuk mencapai tujuan mereka dapat terlaksana secara efektif dan efisien, mendengarkan pain point klien adalah langkah awal yang harus dilakukan sebelum mengenal klien secara lebih personal.

Topik:

  • Amelia Rosary

Berita Terkini Lainnya