Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS 

Langsung dari para ahli bisnis dalam 3 sesi di IMS 2019

Jakarta, IDN Times - Gelaran Indonesia Millennial Summit (IMS) 2019 karya IDN Times di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta pada Sabtu, 19 Januari menyisakan banyak cerita. Jumlah peserta IMS 2019 mencapai lebih dari 2.500 orang, melampaui target awal kami yang berkisar 1.500 orang saja.

Bukan tanpa alasan, antusiame itu muncul salah satunya karena deretan nama pembicara dalam berbagai sesi diskusi di panggung IMS 2019. Ada 60 narasumber dari berbagi pengalaman mereka yang terbagi 20 sesi diskusi di tiga stage. Bukan sembarang nama yang didaulat menjadi pembicara. Ada sejumlah nama profesional dan pemimpin sukses di berbagai bidang, sebagian adalah mereka yang langka tampil sebagai pembicara.

Dari 60 pembicara yang merupakan sosok-sosok unggul di bidangnya, kali ini kita akan mengintip cerita dari para pebisnis, entrepreneur di berbagai lini usaha. Dari tiga panggung yang ada di IMS 2019 yakni Bhinneka Stage, Garuda Stage, dan Nusantara Stage, tiga sesi diskusi soal bisnis digelar di panggung utama--Bhinneka Stage. Para CEO dari berbagai perusahaan, mulai dari start-up hingga perusahaan terkemuka dunia, berbagi pengalaman dan kisah sukses mereka di panggung ini.

Ada tiga sesi seputar bisnis. Sesi pertama bertajuk Balancing Business Perfomance and Culture. Sesi Building a Brand and a Legacy dan Battling Brand Maturity with Innovation juga masih bicara soal perusahaan sebagai brand. Tiga sesi tersebut menyedot perhatian millennial yang tertarik terjun ke dunia usaha.

Seperti apa suasana sesi-sesi bertema bisnis di IMS 2019 tersebut? Berikut laporan lengkapnya yang disuguhkan langsung oleh jurnalis IDN Times di tiga sesi tersebut, Helmi Shemi, Ilyas Listianto Mujib, dan Amelinda Zaneta, serta dibantu penyusunannya, Dian Apriliana.

1. Mengawali summit dengan mengintip dapur Tokopedia dan Wardah

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS IDN Times/Ashari Arief

Antusiasme di Bhinneka Stage sudah tampak sejak pagi. Dua jam sebelum opening ceremony, Grand Ball Room Kempinski sudah dipenuhi pengunjung yang bergerak menuju Bhinneka Satge. Bukan hanya kaum millennial, tapi juga mereka dari generasi lain yang terlibat dan tertarik dengan millennial.

Sebuah sesi diskusi mengawali IMS sebelum Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan pembukaan IMS, yang juga dilakukan di panggung itu. Diskusi yang bertema Balancing Business Perfomance and Culture itu dimulai pada pukul 08.30 WIB. Melissa Siska Juminto, COO Tokopedia dan Salman Subakat Galang Prakasa, CMO PT Paragon Technology & Innovation, berbagi pengalaman mereka dalam menapaki sukses.

Jurnalis televisi Maggie Calista yang dipilih memandu, membuka sesi ini dengan guyonan. Ia mencandai Salman tentang make up yang digunakan Salman. CMO perusahaan produsen Wardah Cosmetics ini pun dengan semringah menyebut ia didandani istrinya menggunakan kosmetik brand miliknya. Maggie kemudian melemparkan pertanyaan pertama tentang bussiness culture and performance di perusahaan Salman.

"Selamat pagi millennials, masa depan Indonesia. Saya senang ada di sini karena dulu kalau saya dengar omongan 'anak muda masa depan bangsa' saya cuma bilang, iya deh, tapi maknanya kurang dalam," tutur Salman mengawali pemaparan.

Tak ingin menjadikan pernyataan itu sebagai jargon semata, Salman memilih terus melakukan kerja nyata. "Tapi hari ini saya makin yakin bahwa memang masa depan Indonesia di tangan anak muda," sambung Salman. Pernyataan itu kemudian ditegaskan kembali oleh Maggie dan disambut tepuk tangan peserta.

Kembali ke pertanyaan yang dilontarkan Maggie, Salman pun menjawab bahwa kultur sangat penting dalam berbisnis. "Bussiness performance tidak akan lari dari culture," ujar Salman, mantap.

Awalnya, ia tidak pernah menduga Paragon yang didirikan pada 1985 akan menjadi sebesar sekarang. "Kita kerja, kerja, dan kerja saja," kenangnya.

Salman masuk di Paragon generasi yang kedua pada 2003. Saat itu, Paragon masih terbilang kecil. "Saya supervisor dan manajer pertama di sana. Jadi bisa dibayangkan gak kecilnya ini perusahaan. Tapi fondasi perusahaan kuat," lanjut pria yang merupakan keturunan dari founder PT Paragon itu.

Penerimaan karyawan pada kehadirannya di perusahaan, dirasakan Salman sebagai kultur positif yang sudah tertanam sejak awal di Paragon. Dia menyebut kultur yang ada di perusahaannya saat itu, terbuka pada perubahan. Sehingga, tidak sulit untuk berkolaborasi dengan dirinya yang membawa ide-ide baru.

Kini setelah 33 tahun berdiri, Paragon mencatat kultur perusahaan mereka mencakup ketuhanan, religiusitas, inovasi, kekeluargaan, fokus pada pelanggan, tanggung jawab, dan keteladanan. Keterbukaan masing-masing individu dalam perusahaan, dinilai Salman menjadi kunci dalam pembentukan kultur.

"Kadang-kadang menurut saya apa yang kita suka lupa, kita yang hari ini dibentuk sama yang dulu. Jadi gak ada salahnya ketika kita membangun culture, kita ceritakan tentang diri kita," kata dia.

Lain lagi, cerita tentang kultur di Tokopedia. Melissa Juminto mengatakan saat ini, Tokopedia memiliki tiga kultur diterapkan para nakama--sebutan untuk sesama karyawannya yang berarti brother and sister. "Kita gak sebut karyawan atau employee, tapi nakama." Sebutan itu, kata Melissa, sesuai visi misi di perusahaan mereka.

Kultur yang pertama yang dibangun di Tokopedia ialah focus on consumer. Melissa menekankan fokus itu tidak hanya merujuk pada pembeli. "Gak hanya buyers, karena kami juga punya lima juta sellers. Lalu rekanan alias partner, baik logistik maupun bank, dan yang gak kalah penting ya para nakama sendiri," papar dia.

Seiring dengan hal tersebut, kultur berikutnya di antara para nakama adalah ketulusan untuk mengajarkan suatu ilmu kepada sesama nakama. Kultur growth mindset itu, menurut Melissa, ialah hal yang paling sulit diterapkan.

"Tidak akan bisa belajar kalau nakama itu hanya memikirkan diri mereka. Kita banyak kelas-kelas untuk belajar di Tokopedia," tutur dia.

Bagi Tokopedia, kata Melissa, salah satu yang terpenting ialah bagaimana cara mengajarkan mindset kepada orang lain. "Anak-anak nakama ini bisa lebih open meng-hire orang yang lebih pintar daripada mereka. Bagaimana kita bisa menerapkan juga agar mereka bisa lebih terbuka dengan opinion atau feedback."

Baca Juga: IMS 2019, Jusuf Kalla: Teknologi dan Produk Perlu Kesinambungan

2. Dengan kultur seperti menjalani hobi, bekerja bakal lebih produktif

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS IDN Times/Santi Dewi

Pada 2014, PT Paragon menjadi market leader. Pada saat itu, kultur perusahaan bahkan belum dibakukan dalam bentuk tulisan. "Tapi orang sudah bisa merasakan sendiri, oh Wardah itu seperti ini, ya," ujar Salman.

Bekerja di Wardah diibaratkan seperti menjalani hobi. "Kalau kita menjalani sesuatu yang kita banget itu seperti menjalani hobi kan? Jadi kita kerja kayak gak kerasa kerja, jadi kita bisa lebih produktif."

Kultur yang ada di Wardah, menurut Salman, ialah menjalani apa yang benar-benar sesuai dengan karakter karyawan yang disebutnya sebagai kumpulan orang-orang yang religius dan spiritual.

"Ada insentif setelah tujuh tahun, ada perjalanan rohani, misalnya. Jadi kenapa Wardah bisa tumbuh di Paragon? Ya karena orangnya seperti itu. Tapi kita juga respect kepada religi lain, jadi setelah tujuh tahun, yang non-Muslim juga bisa ziarah ke (tempat bersejarah) agamanya masing-masing," beber Salman.

Kultur yang unik, menurut Salman, menjadikan Wardah tumbuh menjadi perusahaan yang seperti sekarang ini. "Maka tumbuh nya juga bisa lebih cepat. Karena culture yang membuat kita jadi unik," kata dia.

Keunikan itu, kata dia, membuat karyawan bisa total bekerja. "Unik yang membuat kita jadi beda, dan kita melakukan sesuatu yang kita banget, itu kan kayak kita ngejalanin hobi. Jadi kita kerja kayak berasa gak kerja. Nah, itu yang buat kita produktif. Produktif jadi disukai konsumen, akhirnya jadi besar, sustain," sambung dia.

"Ternyata kalau culture itu dijaga, menular. Culture itu bukan apa yang ditulis, diprogramkan, tapi apa yang kita kerjakan sehari-hari," kata Salman.

Perjalanan puluhan tahun Paragon membuktikan bahwa konsep-konsep tidak bisa begitu saja ditetapkan menjadi kultur. Menurut Salman, ada proses panjang yang harus dilalui dalam membentuk sebuah kultur.

"Orang datang ke kantor itu gak mungkin cuma datang hari itu juga, dia juga bawa pengalaman masa lalunya, dan hal-hal banyak hal. Jadi kayak tadi saya bilang, perubahan," tutur Salman.

Melissa sepakat dengan Salman. Dia menyebut membangun kultur perusahaan ialah sebuah perjalanan tersendiri. Kultur yang dikembangkan sesama nakama maupun stakeholder Tokopedia itu, kata dia, tidak dilakukan dalam sekejap.

"Bukan gaya dari hari pertama kita langsung tahu, tapi ya mulai aja dulu dengan menjalani, membuat sebuah culture dan guidence."

"Karena changes itu sebenarnya the only constant in growing company, dan sehari tanpa perubahan, atau mungkin satu menit tanpa perubahan itu berarti sudah bahaya tanda-tandanya," ujar dia, menegaskan.

Baca Juga: CEO OVO di IMS 2019: Bank Tak Perlu Anggap Fintech sebagai Kompetitor

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS Instagram/@indonesia.millennial.summit

3. Mengatasi persoalan gap antargenerasi di dalam perusahaan

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS 

Salman pun buka-bukaan tentang kejadian-kejadian di perusahaannya yang timbul karena ada perbedaaan usia antargenerasi di kalangan karyawan. Dia menyebut, masalah generation gap itu bisa diatasi dengan komunikasi dan mencari nilai-nilai yang sama. Dia mengatakan konsep keteladanan di mata mereka yang lulus 2004, berbeda dengan keteladanan versi lulusan 2000.

"Pernah ada kejadian di kantor kayak gini, dari yang awal-awal pejuang 45 tuh agak bingung kenapa yang muda gak ikut, misalnya. Yang muda pas ditanya, (jawabannya) di satu forum, kita ketawa-ketawa, kita tuh gak ngerti, bahasanya beda," tutur Salman, mencontohkan.

Bahasan tentang generation gap ini ternyata mencuri perhatian peserta di Bhinneka Stage. Salah seorang peserta millennial bertanya pada Salman, bagaimana siasat menyatukan generasi yang berbeda agar bisa menghadapi tantangan ke depan.

Masalah bahasa, diakui Salman, menjadi hal utama yang menandai gap antargenerasi. "Bahasanya beda, jadi kayak kadang saya harus pakai interpreter," kata dia.

"Kaya mantul, saya kira itu reflecting. Jadi saya daripada berasumsi mantul tuh apa, saya nanya. Jadi dua bulan tuh baru tahu. Mantul, mantap betul, saya baru tahu," ujar dia, seraya tergelak.

Hal-hal seperti itu, menurut Salman, tidak bisa hanya berpatokan pada aturan tertulis. Masalah bisa muncul dari hal-hal yang remeh, semisal masalah sapa-menyapa.

"Kalau ditulis hargailah anak muda, tapi di-julid-in. Satu lagi mungkin pelajaran dari kami, hal kayak gitu ternyata, kita kurang welcome sama anak muda. Mungkin tadinya dari hal kecil, kayak harus sopan sama senior. Nah, kalau dari hal kecil itu tidak dibiarkan berkembang, otomatis lancar," papar dia.

Dia pun menyarankan agar para senior lebih dahulu menyapa junior, karena itu lebih mudah dan sesuai dengan kultur di Indonesia. "Karena kita orang Indonesia, nyapa guru duluan, nyapa kakak kelas duluan. Itu gak biasa, jadi saya saran lebih aktif yang atas ke bawah."

"Mungkin kita sebagai millennial mikir, 'oh iya kayak gini aja, egaliter, jangan panggil saya pak, panggil aja mas'. Nah, itu tuh gak gampang. Jadi semua itu ya berproses," kata Salman.

Ketika muncul implementasi yang beda, kata Salman, semua harus dikembalikan lagi ke tujuan dan nilai-nilai perusahaan. Memperbanyak komunikasi dan toleransi, menurutnya adalah kunci agar tidak terjadi gesekan.

"Sampai sekarang kita (Wardah) belum ketemu masalah clash generation, cuma ngomongnya gak nyambung aja," tutur dia.

Tak terasa satu jam berlalu di panggung Bhinneka. Maggie pun menutup sesi Balancing Business Perfomance and Culture itu dengan riuh tepuk tangan. Sesi pertama di panggung tersebut menghangatkan suasana pagi di IMS 2019.

Baca Juga: IMS 2019: Adrian Suherman Paparkan Tantangan Bisnis Fintech ke Depan

4. Berebut ilmu dari bos-bos perusahaan keluarga Indonesia

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS 

Sekitar pukul 13.30 WIB, Grand Ball Room Kempinski masih tampak ramai lalu lalang pengunjung. Mengintip ke Nusantara dan Garuda stage, suasana ramai masih terdengar dan deretan bangku pun terisi penuh.

Tapi di Bhinneka, belum lagi mencapai pintu masuk, sudah terlihat antrean mengular. Saat itu, Bhinneka masih diisi CEO IDN Media Winston Utomo, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan CEO Visi Media Asia (VIVA) Anindya Bakrie.

IDN Times mencoba melongok ke dalam Bhineka. Tampak sulit masuk karena di dalam ruangan itu penuh sesak peserta. Bahkan, mereka ada yang berdiri karena tak ada bangku yang tersisa. Apakah mereka menantikan sesi Najwa Shihab, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang hadir dua jam lagi?

Tebakan itu muncul dalam benak kami. Tidak lama berselang, Najwa Shihab melintas dan memasuki Bhinneka stage. “Sudah pasti mereka menantikan Najwa,” tebakan sembarangan kami batinkan mengingat Najwa Shihab banyak diidolakan millennial.

Penasaran, IDN Times kemudian bertanya kepada pengunjung yang mengantre di luar stage. Apakah benar mereka menantikan Najwa?

“Saya mau menyaksikan sesi yang ada CEO Djarum dan Indofood,” kata seorang pemudi, menjawab pertanyaan IDN Times.

“Mau dengar paparan Cipta Ciputra,” sahut yang lain.

Ternyata tebakan itu salah. Banyak peserta yang menantikan sesi Building a Brand and a Legacy yang diisi CEO PT Djarum Victor R Hartono, CEO PT Indofood Axton Salim, dan General Manager Ciputra Group Cipta Ciputra Harun yang memang akan digelar tak lama lagi.

Begitu sesi The Future of Media yang diisi Rudiantara, Winston, dan Anindya Bakrie selesai, IDN Times berusaha masuk untuk mendapatkan tempat duduk. Tapi kami bernasib sama dengan banyak peserta lain, yang tidak mendapat tempat duduk dan terpaksa berdiri di jalur antara kursi pengunjung. Mereka tidak tampak kecewa. Dengan bersemangat, mereka beriap menyaksikan sesi yang akan segera dibuka itu.

Pertanyaan kepada ketiga narasumber dibuka presenter televisi Beverly Gunawan kepada Cipta, Axton, dan Victor secara bergantian. Para peserta tampak serius memperhatikan bagaimana ketiganya bisa ‘mengamankan’ bisnis ternama yang diwariskan dari kakek mereka hingga generasi ketiga tersebut.

Ketika akan menjawab pertanyaan kedua dari Baverly tentang product responsibility, Axton sempat merasa nervous. Sang moderator melempar pertanyaan tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara memasarkan berbagai produk Indofood dan mengeduksi masyarakat tentang pentingnya gizi makanan.

"Ini lihat kalian jadi deg-degan. Banyak banget orangnya," tutur Axton, mengawali penjelasannya. Rasa nervous yang dirasakan Axton sepertinya wajar, mengingat ratusan peserta yang hadir di Bhinneka stage.

Sesi diskusi menjadi lebih santai dan ceria setelah hadirnya pembicara Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi. “Ini saya merasa kalau meledekin ayah teman-teman saya, saya panggil ABG. Jadi saya dipanggil ABG sama anak-anak di sini, angkatan bapak gue,” gurau Lutfi, membuka pembicaraan di atas panggung.

Kehadiran Lutfi membuat suasana lebih cair. Beberapa kali fakta-fakta dan pengalaman ketiga narasumber lainnya membuat pengunjung terpingkal, tak terkecuali kami seraya berusaha fokus menulis omongan mereka untuk menjadi sebuah berita.

Tawa peserta sesi Building a Brand and a Legacy semakin meledak, kala Lutfi menceritakan pengalamannya ketika Indomie diklaim sebagai produk asli Senegal. Tak lupa bagaimana kisah Victor berbagi tips agar bisnis yang kita bangun bisa bertahan hingga generasi ketiga, bahkan lebih. Victor mengatakan dalam sebuah kelas yang pernah ia ikuti di Hong Kong, cara paling mujarab adalah jangan banyak anak dan istri.

“Istri satu aja dan anak jangan banyak-banyak. Kenapa ego itu kejadian, sorry biasanya orang Tionghoa istrinya lima, ya jelas aja ego kejadian, anaknya banyak,” ujar Victor yang disambar tawa peserta.

“Gak cuma orang Tionghoa aja, orang Islam juga istri lebih dari satu,” timpal Lutfi.

Beverly lalu menutup acara, namun Lutfi meminta waktu berbicara untuk menutup sesi ini dengan ‘kampanye terselubung’.

“Saya boleh dong tutup (sesi)?” sela Lutfi. Beverly pun mempersilakan. Lutfi kemudian merangkum pernyataan penutup dari ketiga pembicara. Ia lalu menambahkan masyarakat juga harus mengambil keputusan penting, terlebih di tahun politik ini.

“Saya minta kepada adik-adikku, semua bangsa Indonesua, untuk memberi pilihan yang benar. Karena ini bagian dari keputusan penting. Saya secara pribadi akan pilih presiden yang bekerja keras dan sudah terbukti,” ujar Lutfi, yang mendapat beragam respons dari pengunjung. Ada yang tersenyum, bersorak, hingga bertepuk tangan.

Baca Juga: Mengelola Bisnis Hingga 3 Turunan? Siapa Takut!

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS Instagram/@indonesia.millennial.summit

5. Bos-bos perusahaan terkemuka di dunia kagum pada Indonesia

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS Dok. IDN Times

Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Bangku di Bhinneka Stage masih belum ada yang kosong untuk sesi berikutnya, Battling Brand Maturity with Inovation. Ada empat bos perusahaan terkemuka di dunia yang menjadi pembicara pada sesi diskusi panel ini.

Lakish Hatalkar, President Director PT Johnson & Johnson yang langganan menjadi pembicara di berbagai workshop di dunia. Ada pula President Director PT P&G, LV Vaidyanathan dan President Director PT L'Oreal Indonesia Umesh Phadke, yang sama-sama memimpin perusahaan yang bergerak di industri Fast-Moving Consumer Goods (FMCG).

Tak lupa, ada juga Presiden & CEO PT Mercedes-Benz Indonesia Roelof Lamberts. Nama yang terakhir ini jarang sekali dijumpai sebagai pembicara atau menjadi narasumber berita.

Serunya sesi diskusi ini dibuka pertanyaan dari sang moderator yang juga COO IDN Media, William Utomo. Dia memulai sesi dengan pertanyaan kepada Lakish Hatalkar.

Mengawali penuturannya tentang pengalaman di Indonesia, Lakish mengaku, Indonesia sangat khas. Dari banyak negara yang ia kunjungi dan tinggali, ia merasa tak ada negara yang seperti Indonesia.

"Jika Anda berbicara tentang keragaman budaya, saya pernah tinggal di negara yang memiliki perbedaan budaya seperti ini juga. Bicara tentang makanan, pulau yang indah, kemacetan yang luar biasa, saya juga pernah tinggal di negara seperti itu," tutur dia mengawali kisahnya.

"Tapi, Indonesia memiliki itu semua itu dalam satu negara. Indonesia punya perbedaan yang menyatukan. Itu adalah perpaduan yang unik di Indonesia," lanjut Lakish.

Sementara itu, LV Vaidyanathan yang sudah tinggal selama 15 tahun di Asia Tenggara, menemukan keunikan masing-masing dari negara-negara kawasan itu. Yang paling ia rasakan adalah kebanggaan dan harga diri yang tinggi yang ditunjukkan orang-orang di negara-negara masing-masing.

Giliran Roelof Lamberts menceritakan bagaimana punya gambaran menyenangkan tentang Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Bos Mercy itu mengawali kariernya dengan penempatan selama tujuh tahun di kawasan Asia Tenggara. Setelah melanglang buana ke pasar Eropa selama satu dekade setelahnya, Roelof punya kerinduan pada Asia Tenggara. Jauh sebelum datang dan ditempatkan di Indonesia, ia sudah kenal hal-hal yang membuatnya suka pada negara ini.

"Saya punya banyak teman sekolah yang sudah membuat saya tertarik pada Indonesia waktu saya masih sangat muda. Tiap pekan, nasi goreng dan sambal itu ada setiap hari di atas meja. Ketika kesempatan itu datang (penempatan di Indonesia), saya langsung mengambilnya dengan bersemangat," beber dia.

Umesh Phadke yang dapat giliran terakhir, mengatakan bahwa dia selalu belajar dari negara-negara tempatnya tinggal. Dari Indonesia, Umesh mengaku telah belajar seni berbahagia. "Apapun yang terjadi, orang Indonesia tetap terlihat bahagia," kata pria keturunan India yang tinggal selama 16 tahun di Bahrain itu.

Pria yang sudah bisa sedikit-sedikit berbahasa Indonesia itu mengaku mencintai Indonesia dan India. "Seperti yang Anda lihat di dadaku (menunjukan pin dengan simbol India dan Indonesia)," ucap Umesh, diikuti tawa hadirin.

Di sisi lain, Umesh Phadke mengapresiasi gelaran IMS 2019. Jika dipandang dalam konteks untuk masa depan Indonesia, acara ini menurut Umesh merupakan awal yang baik. Apalagi ia menilai Indonesia memiliki potensi pasar untuk generasi millennial.

Ia pun tak segan memuji pentolan IDN Media, yakni dua kakak beradik, Winston Utomo dan William Utomo, karena bisa mengumpulkan potensi-potensi dari berbagai bidang yang ada di Tanah Air dalam satu kegiatan.

Baca Juga: Roelof Lamberts, Bos Mercy yang Suka Komunitas di Indonesia

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS Instagram/@indonesia.millennial.summit

6. Berguru dari para ahli bisnis perusahaan multinasional

Mengintip Dapur Sukses Perusahaan Terkemuka dari Panggung IMS IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Memasuki pertengahan diskusi, peserta semakin bersemangat. LV Vaidyanathan berbagi kiatnya bertahan di tengah persaingan industri yang sangat ketat. Ia menceritakan kenapa perusahaan yang ia pimpin bisa berjalan sukses. Ia juga memberikan tips memenangkan hati konsumen, terutama di kalangan millennial.

"Produk kami berusaha untuk berinovasi, sehingga inovasinya lebih relavan ke pasar millennial. Misalnya kami mengeluarkan Pantene anti-lepek, karena generasi millennial tak suka dengan rambut lepek. Jadi itu kami coba terapkan ke produk kami untuk menggaet millennial," terang pria yang mendapatkan gelar master di Indian Institute of Management, Ahmedabad tersebut.

Sedangkan, Umesh menekankan pada kondisi pasar di Indonesia dalam konteks millennial. "Sekarang saya sudah tiga tahun di Indonesia. Ini adalah pasar yang sangat dinamis dan sangat millennial. Ekonomi terbesar di ASEAN dan ada potensi yang baru, potensi yang besar," ujar dia.

Antusiasme di Bhineka Stage kian terasa saat memasuki sesi tanya jawab. Seorang peserta yang bekerja di salah satu perusahaan e-commerce bertanya kepada Umesh Phadke, mengenai poteni pasar e-commerce di Tanah Air, khususnya di bidang produk kecantikan.

Kepada bos L'oreal tersebut, ia meminta masukan bagaimana sebuah brand bisa bersaing di negara yang pertumbuhan generasi millennialnya sangat besar, seperti Indonesia.

Dengan santai, Umesh menjelaskan, pasar kosmetik di Indonesia perkembangannya sangat cepat, bahkan jika diukur dalam skala global. "Orang-orang Indonesia juga terbiasa menggunakan banyak make up," tutur Umesh yang sontak disambut tawa peserta.

Pria yang lahir di Bahrain itu pun melanjutkan penjelasannya tentang mengapa perkembangan pasar kosmetik di Tanah Air berkembang begitu pesat. "E-commerce mempermudah terjadinya hal itu, karena mempermudah akses ke produk favorit mereka, di mana pun costumer berasal, baik di Gorontalo, Padang, bisa akses dengan mudah," sambung dia.

Pada akhir diskusi, Roelof menyebutkan, satu hal ketika ditanya mengenai komitmen perusahaannya untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Selaras dengan keinginannya untuk memberikan dampak yang sehat dan bersih untuk lingkungan, ia ingin bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan mobil listrik.

"Teknologi tersebut dapat memberikan dampak yang lebih sehat dan bersih untuk lingkungan. Misalnya, di Jakarta sudah mau mencoba dengan jenis bus (tarnsportasi publik) dan ke depan hal sama harus diterapkan pada kendaraan pribadi, semua orang yang tinggal di Jakarta bisa hidup dengan bebas polusi dengan kualitas udara yang lebih bersih," papar dia.

Usai ide yang dicetuskan Roelof Lambert itu, sesi diskusi yang digelar satu jam itu pun berakhir. Panggung Bhinneka diramaikan dengan kehadiran Ridwan Kamil sebagai pembicara dalam sesi selanjutnya, yang bertajuk Smart City for a Better Quality Life.

Baca Juga: Hadiri IMS 2019, Bos Djarum Ungkap Rahasia Kaya Terus Sepanjang Hidup

Topik:

  • Anata Siregar
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya