Pelemahan Rupiah dan Krisis Argentina

Apa saja yang mempengaruhi pelemahan rupiah?

Jakarta, IDN Times - Pelemahan rupiah membuat sejumlah kalangan resah, khususnya investor. Namun, pelemahan tersebut disebabkan adanya sentimen negatif dari luar negeri. 

Salah satu penyebab pelemahan rupiah itu adalah krisis yang melanda Argentina. Mengutip CNBC International, sejak awal tahun, peso Argentina anjlok hingga 20 persen (year to date/ytd). Bahkan pada Selasa (8/5), peso Argentina mencapai rekor terendah terhadap greenback

1. Senin sore, rupiah tembus Rp14.800 per dolar AS

Pelemahan Rupiah dan Krisis ArgentinaANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Senin pagi (3/9),  nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta belum bergerak atau stagnan di level Rp14.689 per dolar AS, namun terbuka potensi untuk melemah seiring dengan pelemahan mata uang Asia dan sentimen negatif yang masih membayangi. 
 

Namun, dilansir dari data perdagangan Reuters Senin sore pukul 15.41 WIB, rupiah terus melemah dan diperdagangkan di level 14.819 per dolar AS. 

Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada menilai, pelaku pasar mengantisipasi sentimen yang akan muncul, termasuk seperti data inflasi domestik pada periode Agustus 2018.

Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) sedianya akan mengumumkan laju inflasi Agustus. Diharapkan data itu masih terkendali sehingga tidak menambah kekhawatiran pelaku pasar uang di dalam negeri. 
 

Pelaku pasar juga mengantisipasi faktor pelemahan rupiah dari eksternal. Ada beberapa sentimen negatif yang mempengaruhi rupiah, mulai dari pelemahan mata uang utama Asia hingga krisis yang melanda sejumlah negara, seperti Argentina, Turki, dan Venezuela. 
 

Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih mengatakan, Senin pagi sejumlah mata uang di kawasan Asia memang kompak dibuka melemah terhadap dolar AS. Ini menjadi salah satu menjadi sentimen pelemahan rupiah. 

2. Krisis Argentina pun pengaruhi rupiah

Pelemahan Rupiah dan Krisis Argentinapixabay.com/RonnyK

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah terjadi akibat tekanan eksternal yang berasal dari peningkatan arus modal keluar (capital outflow) Argentina.

Ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat, Darmin menganggap kondisi yang terjadi di Argentina tersebut mengejutkan karena sebelumnya sudah ada bantuan sebesar US$50 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).

 "Orang-orang menganggap dia (Argentina) semestinya akan survive dengan itu, tetapi ternyata gerakan capital outflow makin besar makanya dia menaikkan suku bunga sampai 60 persen," kata Darmin.

Menurut dia, peningkatkan suku bunga acuan menjadi 60 persen oleh bank sentral Argentina memungkinkan adanya kegelisahan pasar finansial dan investor (market jitters). 

Darmin juga mengatakan dampak eksternal dari Argentina terhadap pelemahan nilai tukar rupiah serupa dengan dampak yang sebelumnya dihasilkan dari situasi ekonomi Turki. Namun, Darmin menilai dampak sentimen ke pasarnya akan lebih sedikit mengingat hubungan Indonesia dengan negara Amerika Latin tidak lebih besar dari hubungan Indonesia dengan Turki. 

"Artinya secara umum itu akan ada dampaknya sampai dia kemudian ada jalan keluar. Bisa direm di sana baru kemudian dia tenang secara global. Negara-negara paling maju pun semua kena, bukan cuma negara berkembang," kata dia, seperti dikutip dari Antara.

Baca Juga: Rupiah Melemah Lagi Karena Dipicu Sentimen The Fed

3. BI akan kawal ketat rupiah

Pelemahan Rupiah dan Krisis Argentinapixabay.com/EmAji

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan komitmen BI untuk menjaga stabilitas ekonomi, khususnya terkait dengan kondisi nilai tukar rupiah. Salah satu cara yang ditempuh BI adalah meningkatkan intensitas intervensi. "Khususnya kami meningkatkan volume intervensi di pasar valas," kata Perry. 

Di samping intervensi di pasar valas, BI juga telah membeli surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder serta membuka lelang foreign exchange swap dengan target lebih dari US$400 juta dana masuk. 

Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan nilai tukar rupiah, BI juga berkoordinasi secara erat dengan Kementerian Keuangan dan OJK. 

Tak cukup dengan itu, Perry juga berupaya meyakinkan investor bahwa kondisi ekonomi Indonesia kuat. Ia menjelaskan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sejauh ini cukup kuat, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun inflasi Agustus yang diproyeksikan rendah di sekitar 0 persen. 

Gejolak perekonomian yang sedang terjadi di Turki dan Argentina juga tidak akan luput dari perhatian BI. Perry menjelaskan bahwa yang membedakan Indonesia dan negara lain adalah kebijakan moneter dan fiskal dipastikan menjalankan prinsip kehati-hatian (prudent). 

Baca Juga: Rupiah Melemah, Fadli Zon: Jangan Dianggap Enteng 

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya