Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri Lanka

Negara di Asia diminta bijak mengelola utang luar negeri

Jakarta, IDN Times – Krisis ekonomi di Sri Lanka menjadi peringatan bagi sejumlah negara di Asia yang kini juga mengalami tingkat inflasi tinggi disertai kenaikan sejumlah harga pangan pokok dan BBM. Pengelolaan utang yang tidak bijak, mampu memicu perlambatan ekonomi.

Jika tidak diwaspadai, hal ini bisa berujung sulitnya memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga rakyat akhirnya harus turun ke jalan. Itu berkaca terhadap krisis ekonomi yang menimbulkan kerusuhan di Sri Lanka. Pemerintah setempat dipastikan gagal dalam mengelola utang luar negeri dan inflasi yang kian mengkhawatirkan.

Selama bertahun-tahun, Sri Lanka telah menumpuk sejumlah utang dan tidak disertai dengan pengelolaan moneter yang maksimal. Bahkan, Sri Lanka menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik dalam 20 tahun yang gagal membayar utang luar negeri sehingga dinyatakan bangkrut.

Gagalnya pemerintah dalam melaksanakan mengurus rakyat ditandai dengan kaburnya eks Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa. Posisinya digantikan oleh PM Sri Lanka Ranil Shriyan Wickremesinghe yang kini menjabat sebagai orang nomor satu di Sril Lanka untuk sementara waktu.

Lantas, bagaimana kondisi negara-negara lain di Asia?

Baca Juga: Inflasi AS Juni 2022 Meroket ke 9,1 Persen, Rekor Tertinggi Sejak 1981

1. IMF minta negara di Asia belajar dari Sri Lanka

Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri Lankabloomberg.com

Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, mengatakan Sri Lanka sedang berjuang untuk membayar impor penting seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan untuk 22 juta penduduknya saat negara itu tengah memerangi krisis valuta asing. Inflasi telah melonjak sekitar 50 persen, dengan harga pangan melonjak di angka 80 persen lebih tinggi dari tahun lalu. Rupee Sri Lanka telah merosot nilainya terhadap dolar AS dan mata uang global utama lainnya tahun ini.

"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan (fiskal) yang terbatas akan menghadapi tekanan. Coba lihat kondisi di Sri Lanka sebagai tanda peringatan," kata Direktur Georgieva seperti dikutip dari BBC, Selasa (19/7/2022).

Ekonom asal Bulgaria ini menambahkan sejumlah negara di Asia yang notabene merupakan negara berkembang telah mengalami capital outflows selama empat bulan berturut-turut. Hal tersebut menjadi momok yang harus diwaspadai. Impian sejumlah negara berkembang untuk mensejahterakan warganya hingga menjadi negara maju perlu perjuangan yang tidak main-main.

2. Inflasi Bangladesh capai 7,2 persen tertinggi selama 8 tahun terakhir

Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri LankaSejumlah wanita mengantre untuk menerima bantuan bahan pokok diberikan oleh komunitas setempat saat wabah COVID-19 di Dhaka, Bangladesh, pada 1 April 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Bangladesh menjadi negara di Asia yang harus berhati-hati dalam mengelola kebijakan fiskalnya seiring dengan inflasi pada bulan Mei lalu yang telah mencapai level tertinggi selama 8 tahun terahir. Angka inflasi sendiri menyentuh 7,42 persen.

Dengan cadangan devisa yang juga semakin menipis, pemerintah setempat telah bertindak cepat untuk menekan impor sejumlah komoditas yang tidak esensial. Bangladesh bahkan melonggarkan aturan untuk menarik pengiriman uang dari jutaan warga Bangladesh yang kini tinggal di luar negeri dan mengurangi perjalanan ke luar negeri bagi para pejabat yang dinilai hanya membuang-buang duit rakyat.

"Untuk ekonomi yang mengalami defisit transaksi berjalan seperti Bangladesh, Pakistan dan Sri Lanka, tentunya pemerintah menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan angka subsidi. Pakistan dan Sri Lanka bahkan telah meminta bantuan keuangan kepada IMF dan pemerintah lainnya," Kim Eng Tan, analis kedaulatan di S&P Global Ratings..

3. Utang Maladewa lewati produk domestik bruto

Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri Lankapixabay

Negara kedua yang harus waspada yakni Maladewa. Sejumlah indikator menyatakan bahwa negara ini juga berada di jurang krisis. Antara lain, utang Maldewa membengkak dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan angkanya di atas 100 persen dari PDB.

Indikator lainnya adalah pariwisata yang selama ini menjadi penopang sumber pendapatan Maladewa juga tengah tidak baik-baik saja imbas pandemi. Bank Dunia menyatakan negara-negara yang sangat bergantung pada pariwisata seperti Maladewa ini cenderung memiliki rasio utang publik yang lebih tinggi.

“Negara kepulauan juga sangat rentan terhadap biaya bahan bakar yang lebih tinggi karena ekonominya tidak terdiversifikasi,” ujar Bank Dunia.

Bank investasi AS JPMorgan bahkan menyatakan negara-negara yang bertumpu terhadap sektor pariwisata berpotensi berisiko gagal bayar utangnya pada akhir 2023.

4. Inflasi Pakistan tembus 21,3 persen

Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri LankaSeorang anak lelaki memarkirkan sepeda motornya di antara ratusan motor lainnya di luar bazar belanja di Karachi setelah Pakistan mulai melonggarkan lockdown pada 12 Mei 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Akhtar Soomro

Negara ketiga yang berada di jurang krisis yakni Pakistan. Harga bahan bakar di Pakistan sudah naik sekitar 90 persen sejak akhir Mei setelah pemerintah mengakhiri subsidi bahan bakar kepada warganya. Berakhirnya subsidi oleh Pakistan karena pemerintah setempat mencoba untuk mengendalikan pengeluarannya karena tengah bernegosiasi dengan IMF untuk melanjutkan program dana talangan.

Pakistan tengah tidak baik-baik saja. Pemerintah tengah berjuang menghadapi kenaikan harga barang. Pada bulan Juni, tingkat inflasi tahunan Pakistan bahkan mencapai 21,3 persen tertinggi sejak 13 tahun terakhir.

Seperti Sri Lanka dan Laos, Pakistan juga menghadapi cadangan mata uang asing yang terus menipis. Pakistan bahkan telah memberlakukan pajak 10 persen pada industri skala besar selama satu tahun terakhir untuk mengumpulkan dana sebesar 1,93 miliar dolar AS karena mencoba untuk mengurangi kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Permintaan pengurangan kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah sendiri berasal dari IMF.

"Jika mereka dapat membuka jalan dana (IMF) ini, pemberi pinjaman keuangan lainnya seperti Arab Saudi dan UEA (Uni Emirat Arab) mungkin bersedia memberikan kredit," Andrew Wood, analis S&P Global Ratings.

Mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang sebelumnya bersumpah untuk memperbaiki masalah ekonomi yang melanda negaranya bahkan telah digulingkan dari kekuasaan. Saking Pakistan ingin menyelamatkan ekonominya, bulan lalu seorang menteri senior di pemerintahan Pakistan meminta warganya untuk mengurangi jumlah teh yang mereka minum untuk memotong tagihan impor negara itu.

Pakistan bahkan dilaporkan berutang lebih dari seperempat utangnya ke China.

"Pakistan tampaknya telah memperbarui fasilitas pinjaman komersial vis-a-vis China dan berdampak terhadap penambahan cadangan devisa negara. Ada indikasi mereka (Pakistan) akan menjangkau China untuk paruh kedua tahun ini," kata Wood.

5. Laos terancan gagal bayar utang luar negeri

Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri Lankapotret bendera Laos (laostravel.com)

Laos, negara berpenduduk lebih dari 7,5 juta orang ini juga tengah menghadapi risiko gagal bayar pinjaman luar negerinya.

Kini, kenaikan harga minyak karena invasi Rusia ke Ukraina telah menambah tekanan pada pasokan bahan bakar dalam negeri Laos. Sehingga, mendorong naiknya harga makanan di negara yang diperkirakan sepertiga penduduknya hidup dalam kemiskinan ini.

Media setempat melaporkan antrean panjang untuk bahan bakar terjadi di sejumlah wilayah. Masyarakat juga tidak mampu membayar tagihan rumah tangga. Mata uang Laos, Kip Laos, juga telah jatuh dan turun lebih dari sepertiga terhadap dolar AS tahun ini.

Suku bunga yang lebih tinggi di AS telah memperkuat dolar AS dan melemahkan mata uang lokal, serta meningkatkan beban utang Laos dan membuat impor menjadi lebih mahal.

Laos, yang sudah terlilit utang, sedang berjuang untuk membayar kembali pinjaman negara dan membayar impor seperti bahan bakar. Bank Dunia menyatakan negara itu memiliki cadangan 1,3 miliar dolar AS per Desember tahun lalu.

Total kewajiban utang luar negeri tahunan Laos hingga 2025 jumlah setara dengan sekitar setengah dari total pendapatan domestik negara itu.

Akibatnya, Moody's Investor Services bulan lalu menurunkan peringkat Laos menjadi negara dengan kategori di mana utang dianggap berisiko tinggi.

China telah meminjamkan sejumlah besar uang kepada Laos dalam beberapa tahun terakhir untuk mendanai proyek-proyek besar seperti pembangkit listrik tenaga air dan kereta api. Menurut pejabat Laos yang berbicara kepada kantor berita negara China Xinhua, China membangun 813 proyek senilai lebih dari 16 miliar dolar AS di Laos pada 2021 silam.

Utang publik Laos bahkan kini berada di angka 88 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2021. Hampir setengah dari angka itu berutang ke China.

Baca Juga: Dilanda Krisis, Ekonomi Sri Lanka Terkontraksi Sebesar 6 Persen

6. Indonesia harus waspada terhadap ancaman krisis global

Deretan Negara di Asia yang Diprediksi Bernasib Sama dengan Sri Lankailustrasi. Para karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 2019. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Naiknya harga pangan dan energi mengancam ekonomi dunia khususnya Asia yang dilanda pandemi. Negara-negara berkembang yang masih bertumpu terhadap pinjaman utang luar negeri ternyata sangat rentan terhadap dampak dari krisis global.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan ada 15 daftar negara yang berpotensi mengalami resesi ekonomi dan Indonesia berada pada urutan ke 14.

Namun, Indonesia kalau dilihat dari kondisi ekonomi saat ini, kemungkinannya sangat kecil untuk terdampak resesi karena Indonesia terus menjaga momentum pemulihan ekonominya pasca Covid-19 dengan berbagai instrumen kebijakan yang relatif aman. 

"Perlu untuk kita ketahui inflasi di negara-negara maju dan negara berkembang saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh disrupsi global saja. Sebagian besar disebabkan oleh kebijakan internal negara masing-masing," katanya.

Sedangkan, inflasi global sudah dimulai sejak masa pandemi Covid-19 ketika pemerintah di masing-masing negara mulai menyuntikkan paket stimulus ke dalam ekonominya. Permintaan menjadi naik namun dari sisi supply chain masih terganggu sehingga harga komoditas menjadi tinggi. Kemudian, hal tersebut diperparah dengan adanya perang Rusia-Ukraina karena Rusia adalah salah satu negara eksportir minyak terbesar di dunia dan Ukraina adalah salah satu negara pengekspor gandum dan minyak biji matahari. 

"Kasus di Indoensia terbilang berbeda. Walaupun harga minyak dunia meningkat namun pemerintah masih belum menaikkan harga BBM bersubsidi, begitu juga dengan pangan. Walaupun Indonesia merupakan pengimpor gandum namun dampaknya tidak secara langsung terasa pada harga-harga komoditas yang menggunakan bahan baku gandum seperti mie instan dan roti," katanya.

Untuk diketahui, per Juni 2022, Inflasi Indonesia menyentuh angka 4,35 persen dan merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Namun, penyebabnya justru bukan karena faktor global tapi lebih pada ketersediaan pangan dalam negeri terutama cabai, telur dan bawang merah. 

"Di sisi lain, Pemerintah dan Bank Indonesia mengantisipasi adanya arus modal keluar dari Indoensia. Ia mengatakan saat ini the Fed sedang menaikkan suku bunga acuannya, dan kebijakan ini akan melemahkan mata uang rupiah saat terjadinya impor. Karena saat ini 60 persen bahan baku industri kita berasal dari impor," ujarnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya