Drama Iuran BPJS Kesehatan Turun-Naik di Tengah Pandemik COVID-19

Abis naik, turun, terus dinaikkan lagi deh!

Jakarta, IDN Times - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan awal Mei lalu bak bola panas yang terus bergulir di tengah merebaknya wabah virus corona (COVID-19). Kenaikan iuran itu pertama kali disahkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Kenaikan yang berlaku per 1 Januari 2020 menuai protes. Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir mengajukan judicial review atas Perpres No 75/2019 itu.

Pada 9 Maret, Mahkamah Agung mengumumkan pihaknya mengabulkan judicial review tersebut, sekaligus membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Keputusan tersebut sejatinya telah dikeluarkan per 27 Februari.

Namun, pada 13 Mei, Presiden Jokowi memutuskan iuran BPJS kesehatan tetap naik. Keputusan itu melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Langkah Jokowi itu kembali menuai protes. Langkah kontroversial itu disebut tidak peka situasi sulit di tengah kondisi pandemik yang mendera masyarakat. Drama pun berlanjut.

Kenaikan iuran ini berlaku untuk peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Hal ini diatur dalam Pasal 34 perpres tersebut. Kenaikan tarif mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.

Berdasarkan Pasal 34 ayat 3, iuran Kelas I sebesar Rp150 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta. Lalu, dalam ayat 2 disebutkan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II sebesar Rp100 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta.

Sementara iuran Kelas III Tahun 2020 tetap sebesar Rp25.500, tetapi tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35 ribu.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai kenaikan pemerintah tidak tepat di situasi sekarang ini. Hal itu bisa berimbas pada banyaknya peserta BPJS Kesehatan yang turun kelas.

"Kalau dipaksa yang golongan I dan 2 turun ke kelas III, maka dampaknya ke pelayanan pemerintah akan berat. Karena kan ketersediaan kamar di kelas III gak banyak. Sekarang aja permintaan sudah tinggi apalagi nanti pindah kelas," ujarnya kepada IDN Times, Minggu (24/5).

1. Pemerintah dinilai memaksakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan

Drama Iuran BPJS Kesehatan Turun-Naik di Tengah Pandemik COVID-19Kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan (IDN Times/Rahmat Arief)

Tauhid menambahkan, pemerintah terkesan memaksakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dalam situasi saat ini, seharusnya keputusan itu bisa dilakukan tahun depan. Bila memang penting dilakukan, kenaikannya dianggap tak perlu terlampau besar.

"Jumlah kenaikannya tidak perlu segitu. Gradual aja. Jadi Ada kemampuan masyarakat membayar," tutur Tauhid.

Menurut Tauhid, pemerintah bisa menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 20 persen. Dengan kondisi defisit yang dialami BPJS Kesehatan saat ini, kenaikan 20 persen masih cukup layak.

"Kan kalau sudah gak defisit sebenarnya (kenaikannya) 8 persen. Kalau mengejar defisit masyarakat masih mampu 20 persen," tambah Tauhid.

Dalam kenaikan awal tahun lalu yang Perpres Nomor 75 Tahun 2019, dijelaskan bahwa untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/peserta mandiri semua kelas mengalami kenaikan. Kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per jiwa per bulan, kelas II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per jiwa per bulan dan kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per jiwa per bulan.

Namun, hanya jalan beberapa bulan kenaikan iuran itu dibatalkan karena MA mengabulkan judicial review atas perpres tersebut. Di tengah pembahasan tentang pengembalian selisih iuran yang sudah terlanjur dibayarkan, ternyata Jokowi kembali menaikkan iuran.

Baca Juga: Naik Turun Iuran BPJS Kesehatan, Pengamat: Gap Politik dan Manajerial

2. Pemerintah dianggap tak punya hati nurani dan tak hormati putusan MA

Drama Iuran BPJS Kesehatan Turun-Naik di Tengah Pandemik COVID-19IDN Times/Hana Adi Perdana

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto mengecam kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS. Menurutnya kenaikan iuran BPJS justru akan memberatkan masyarakat yang tengah dihantui pandemik COVID-19.

Mulyanto meminta pemerintah membatalkan Perpres 64/2020 yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS tersebut. Perpres yang dikeluarkan 6 Mei 2020 ini dianggap tidak sesuai dengan amar putusan Mahkamah Agung No.7P/HUM/2020 yang membatalkan kebijakan kenaikan iuran BPJS sebelumnya.

"Secara hukum Perpres ini jelas bermasalah. Kedudukan Perpres ini tumpang tindih dengan Perpres No. 75 tahun 2019 yang masih berlaku,” ujar Mulyanto lewat keterangan tertulisnya.

Mulyanto menilai, putusan MA No. 7P/HUM/2020 hanya membatalkan pasal 34 ayat 1 dan 2. Sementara itu, Perpres 64/2020 bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu Pasal 2 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2, dan UU BPJS. Sementara pasal lain masih berlaku.

“Jadi kalau sekarang pemerintah mengeluarkan Perpres baru yang isinya mengatur hal yang sama maka seolah ada tumpang tindih aturan hukum. Harusnya Pemerintah mengeluarkan Perpres sesuai putusan MA saja. Bukan membuat aturan baru yang membuat rakyat resah," tegas Mulyanto.

Senada dengan Mulyanto, Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menganggap pemerintah telah abai dengan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat saat ini. Bahkan ia menilai bahwa pemerintah tidak memiliki hati nurani.

Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan pendapatan akibat kebijakan bekerja di rumah (WFH) dan pembatasan sosial berskala besar(PSBB), justru pemerintah menambah beban lagi dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Saya masih mencatat pernyataan Jokowi yang menyebut kalau kepanikan adalah salah satu penyebab mengganasnya virus corona dan ketenangan adalah setengah obat dari penyembuhan, saya anggap dengan menaikkan iuran BPJS sama saja pernyataan sebelumnya sebagai jargon kosong,” kata Ari saat dihubungi IDN Times.

3. Dirut BPJS Kesehatan berikan penjelasan untuk mendukung keputusan Jokowi

Drama Iuran BPJS Kesehatan Turun-Naik di Tengah Pandemik COVID-19Dok. Biro Pers Kepresidenan

Mantan Wali Kota Solo itu dinilai tidak menghormati keputusan Mahkamah Agung dengan menetapkan iuran BPJS Kesehatan tetap naik. Menanggapi tudingan tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menegaskan bahwa keputusan Presiden Jokowi untuk menaikkan iuran masih sesuai dengan koridor MA.

Dia menjelaskan dalam putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 memberikan tiga opsi kepada pemerintah untuk menindaklanjutinya, yaitu mencabut, mengubah, atau melaksanakannya.

"Memang muncul isu kalau (keputusan) itu melawan (MA), nggak menghormati. Pak Jokowi konteksnya masih dalam koridor. Yaitu mengubah. Jadi tidak benar pemerintah tidak menghormati," ujarnya dalam video conference belum lama ini.

Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara, Kunta Wibawa Dasa menjelaskan bahwa kenaikan tersebut dilakukan untuk memperbaiki sistem dan program dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satunya adalah dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

"Kemudian mengenai bagaimna kita membuat pelayanan kesehatan dasar dan juga nanti masalah standar, hal-hal yang berkaitan supaya ekosistem JKN ini bisa tetap sehat dan berkesinambungan," jelas dia.

Dia menyebut tujuan itu sejalan dengan putusan MA yang meminta pemerintah untuk memperbaiki ekosistem dari JKN.

"Putusan MA sendiri, dalam pertimbangan-pertimbangannya lebih menekankan kepada untuk kita memperbaiki ekosistem dari JKN. Dan perpres (64/2020) ini sebenarnya menjawab itu, menjawab bahwa kita juga ingin memperbaiki ekosistem dari JKN. Kalau dampaknya pada defisit itu lain persoalan," tambah dia.

4. Istana akui kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan karena negara dalam situasi sulit

Drama Iuran BPJS Kesehatan Turun-Naik di Tengah Pandemik COVID-19Ilustrasi Keuangan (IDN Times/Arief Rahmat)

Pelaksana Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan membeberkan alasan pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan. Abetnego mengatakan selama masa pandemik virus corona berlangsung, negara juga sedang dalam situasi sulit. Menurut dia, penerimaan negara menurun drastis.

"Di dalam konteks potret negara, kita lihat bahwa negara juga dalam situasi yang sulit kan. Artinya, penerimaan negara juga menurun drastis. Jadi justru semangat solidaritas kita di dalam situasi ini yang menjadi penting," kata Abetnego.

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan tujuan kenaikan iuran ini untuk menjaga agar BPJS Kesehatan kolaps. "Tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan." 

"BPJS Kesehatan itu selalu ada dua, pertama, ada kelompok masyarakat yang disubsidi dan ada yang membayar iuran dipotong untuk iuran, tetapi terhadap keseluruhan operasionalisasi BPJS dirasakan diperlukan subsidi pemerintah," jelasnya.

Sementara itu Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan beberapa pertimbangan yang menyebabkan pemerintah harus menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya Perpres No 64/2020 telah disusun cukup lama yang bertujuan ingin memperbaiki ekosistem agar pelayanan selama pandemi juga lebih baik.

"Kita kembali ke isu tarif yang naik. Kita cermati skema iuran menurut Perpres 64/2020 ini. Ada pengelompokan yang lebih baik, skema iuran yang lebih baik, dan yang jelas perbaikan kepesertaan dan watak gotong royong agar lebih adil," ujarnya melalui akun Twitternya yang dikutip, Senin (18/5).

Berdasarkan kinerja keuangan BPJS, iuran untuk PBI (orang miskin dan tak mampu) surplus Rp 11,1 triliun, ASN/TNI/Polri surplus Rp 1,3 triliun, dan pekerja formal swasta surplus Rp 12,1 triliun. Sedangkan untuk pekerja informal, BPJS Kesehatan masih mencatat defisit Rp 20,9 triliun, dan dari peserta bukan pekerja masih defisit sebesar Rp 6,5 triliun.

Penyumbang terbesar defisit jelas peserta PBPU/BP jumlahnya sekitar 35 juta orang, dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta. Total iuran Rp 12,4 triliun, klaim Rp39,8 triliun alias defisit Rp27,4 triliun.

"Secara agak kasar, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp15,6 triliun. Pertanyaan lanjutan: apakah dengan kondisi seperti ini BPJS Kesehatan bisa sustain? Kalau tidak bisa, terus bagaimana jaminan kesehatan semesta, khususnya buat orang miskin dan tak mampu," ucapnya.

"Perbaikan manajemen dan sistem satu hal, napas buatan biar tetap hidup hal lain. Keduanya musti dikerjakan barengan. Dan ini konteks yang perlu kita pahami," ujarnya.

Menurutnya, hal itu pula yang juga menyebabkan kenapa Perpres 75/2019 yang mengatur kenaikan iuran terbit. "Agar kesinambungan pelayanan kesehatan tetap terjaga."

5. Kenaikan BPJS Kesehatan digugat lagi ke MA

Drama Iuran BPJS Kesehatan Turun-Naik di Tengah Pandemik COVID-19ANTARA FOTO/Makna Zaezar

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur dalam Perpres nomor 64 tahun 2020 itu digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Dalam keterangan tertulisnya, KPCDI menggugat perpres itu usai melakukan kontemplasi untuk menemukan pencerahan bagi para pasien yang membutuhkan pelayanan cuci darah.

Menurut kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa, kenaikan iuran BPJS jilid II ini tidak memiliki empati di saat situasi tengah dilanda pandemik COVID-19. Masyarakat saat ini banyak yang tidak mampu secara finansial sebagai dampak dilanda pandemik. 

"Jelas ini merupakan suatu ketidak-adilan dan kenaikan itu tidak sesuai dengan apa yang dimaknai di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS," ungkap Rusdianto.

Menurutnya, menggugat perpres itu menjadi hal yang wajib dilakukan sebagai bentuk perlawanan hukum. Selain itu, melalui gugatannya, KPCDI akan menguji apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat di tengah pandemik virus corona. 

"Saat ini kan terjadi gelombang PHK besar-besaran, tingkat pengangguran naik, daya beli masyarakat juga turun. Harusnya pemerintah mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warganya, bukan malah menaikkan iuran secara ugal-ugalan," tutur dia lagi. 

Langkah KPCDI pun sekaligus menyambut pernyataan Istana yang mempersilakan bila ada warga negara yang ingin menggugat Perpres itu ke MA. 

Baca Juga: Antisipasi Penurunan Kelas, BPJS Kesehatan Siapkan Kelas Standar

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya