Indonesia Perlu Mengurangi Ketergantungan Energi Fosil

Demi kebaikan lingkungan juga

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati. Selain sebagai bahan bakar ramah lingkungan, hal itu dilakukan juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.

Saat ini, bahan bakar nabati biaya produksinya masih cukup mahal, yakni untuk bahan bakar D100 biayanya Rp14 ribu - Rp15 ribu per liter. Angka itu masih jauh lebih mahal dibanding energi fosil, dalam hal ini BBM dengan RON 95 yang harganya Rp9.500 per liter.

"Kalau kita lihat sekarang BBM contohnya asean paling tinggi kan Singapura, kemudian kita lihat Thailadn, RON 95 di Singapura kalau ga salah Rp21 ribu per tanggal 29 (Juni) kemarin. di Indonesia RON 95 masih Rp9.500. tapi inilah yang menuju langit biru mustinya. Program kita maestinya harus mendorong kesana. Ke depannya bagiamana bisa menciptakan udara yang bersih," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam diskusi dengan Pemimpin Redaksi, Rabu (29/7/2020) malam.

1. Energi fosil semakin mahal

Indonesia Perlu Mengurangi Ketergantungan Energi FosilTempat pengoplosan BBM di kawasan Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya (Dok. IDN Times/Polda Aceh)

Disisi lain, kata Arifin, harga energi fosil akan semakin mahal dalam beberapa puluh tahun ke depan. Dia menyebutkan untuk saat ini harga BBM RON 92 atau sebesar Rp9.500 per liternya. Sementara harga minyak mentahnya dengan harga jual tersebut sebesar US$60-70 per barel.

"Pada 2030 dan 2040 crude oil (minyak mentah) itu bisa di atas US$100 dolarper barel. Malah di 2040 bisa tembus US$100 upper, kita katakan US$120 dolar," ucap Arifin.

Baca Juga: Benarkah Penggunaan Biodiesel Aman bagi Lingkungan dan Mesin? 

2. Pemerintah masih punya waktu sempurnakan proses produksi bahan bakar nabati

Indonesia Perlu Mengurangi Ketergantungan Energi FosilIDN Times / Arief Rahmat

Arifin mengatakan bahwa pemerintah saat ini masih punya cukup waktu untuk menyempurnakan proses produksi bahan bakar nabati seperti green gasoline yang berbasis kelapa sawit. Bahan bakar tersebut bila berhasil diolah, hasilnya akan setara dengan Pertamax beroktan 92.

Pemerintah juga berencana untuk memproduksi bahan bakar dengan komponen sawit melalui kilang existing seperti Kilang Cilacap, Dumai hingga Balongan.

Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah mendorong peningkatan produksi pada bahan bakunya. Salah satunya dengan memberikan subsidi bagi petani-petani sawit untuk melakukan peremajaan.

"Kalau nggak salah Rp25 juta per hektar. Bagiamana memberdayakan petani sawit kita untuk memproduksi lebih baik, lebih banyak. Itulah yang kita harapkan ke depan," tegas Arifin.

3. Pertamina sukses uji coba D100

Indonesia Perlu Mengurangi Ketergantungan Energi FosilKantor Pusat PT Pertamina (Persero) (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Diberitakan sebelumnya, Kilang Dumai milik Pertamina berhasil memproduksi D100 atau green diesel (solar hijau) sebanyak seribu barel per hari. Bahan bakar nabati atau BBN itu merupakan hasil pengolahan refined, bleached, and deodorized palm oil (RBDPO).

Produknya 100 persen berasal dari minyak sawit mentah atau CPO yang diproses hingga hilang getah, impurities (kotoran), dan baunya. Uji coba pengolahan produksinya dilaksanakan pada 2 sampai 9 Juli lalu.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pengujian ini menunjukkan kilang dan katalis Pertamina sudah siap memproduksi BBM ramah lingkungan. “Kami perlu memikirkan agar sisi keekonomiannya juga dapat tercapai," kata Nicke dalam keterangan tertulisnya.

Baca Juga: Siapkah Indonesia Beralih dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan?

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya