Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh Kontroversi

Penuh penolakan tapi tetap dilanjut hingga disepakati final

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang berbentuk omnibus law akhirnya rampung sudah dalam pembahasan tingkat I DPR RI, Sabtu (3/10/2020) malam. Semua poin yang sebelumnya diperdebatkan, telah disepakati final. Omnibus law ini akan segera disahkan menjadi undang-undang dalam paripurna. 

Sebelumnya, DPR telah mengebut pembahasan RUU Cipta Kerja dalam rapat panitia kerja bersama Badan Legislasi (Baleg) pada akhir pekan lalu dan Senin (21/9/2020).

Sepanjang perjalanan pembahasannya, omnibus law ini telah menuai polemik, terutama dari kalangan buruh. RUU Cipta Kerja sempat memicu sederetan aksi demonstrasi di Depan Gedung DPR, Jakarta Pusat. Aksi itu sebagai bentuk penolakan keras terhadap salah satu omnibus law yang sempat dinamai RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) itu.

Omnibus law merupakan upaya pemerintah yang diwacanakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk memangkas aturan yang menghambat investasi. Kebijakan tersebut juga disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia.

1. Omnibus law cipta lapangan kerja awalnya dirancang mencakup 11 klaster

Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh KontroversiInfografik omnibus law (IDN Times/Arief Rahmat)

Adapun, omnibus law Cipta Kerja awalnya mencakup 11 klaster dari 31 kementerian dan lembaga terkait. Adapun, 11 klaster tersebut adalah penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; dan kawasan ekonomi.

Terkait ketenagakerjaan, ada tiga substansi yang ditonjolkan. Pertama, terkait upah minimum. Nantinya, upah minimum tidak turun dan tidak dapat ditangguhkan. Kenaikan upah juga memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Kedua substansi terkait pemutusan hubungan kerja. Nantinya omnibus law bakal mengatur untuk tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Pekerja yang terkena PHK akan mendapat kompensasi.

Ketiga, terkait dengan pekerja kontrak (PKWT) yang bakal mengatur soal hak dan perlindungan yang sama dengan pekerjaan tetap lain. Diantaranya soal upah, jaminan sosial, perlindungan K3, dan hak atas PHK.

Lalu terkait dengan alih daya atau pekerja outsourcing. Pemerintah akan melakukan peningkatan perlindungan hak pekerja outsourcing. Pekerja outsourcing juga akan mendapat hak yang sama dengan pekerja lain soal upah, jaminan sosial, perlindungan K3, dan hak atas PHK.

Terakhir diatur soal waktu kerja. Bahwa waktu kerja bagi para pekerja adalah 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Pekerjaan yang melebihi jam kerja diberikan upah lembur. Pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Namun, ada pekerjaan yang dikecualikan untuk mendapat ketentuan tersebut, seperti pekerja sektor migas, pertambangan hingga pertanian yang memang membutuhkan waktu lebih panjang. Perusahaan tetap wajib memenuhi hak dari pekerjanya.

Belakangan, dalam pembahasan panitia kerja di DPR RI, ada dua klaster yang dihapuskan yakni klaster pers dan juga klaster pendidikan. DPR mengaku pencabutan itu karena keduanya adalah klaster yang paling banyak mendapatkan protes dari publik setelah klaster ketenagakerjaan.

Baca Juga: Baleg DPR: Klaster Pendidikan dan Pers Dicabut dari RUU Cipta Kerja

2. Usulan pemerintah yang diklaim bertujuan memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan

Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh KontroversiIlustrai karyawan yanv bekerja diperusahaan konveski. IDN Times/Dhana Kencana

Dalam penjelasan pemerintah tentang omnibus law  Cipta Kerja, disebutkan bahwa latar belakang dibuatnya UU ini adalah untuk menghadapi perlambatan dan ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah juga ingin menciptakan lapangan kerja baru.

Sebab, berdasarkan data ketenagakerjaan, pengangguran di Indonesia tercatat sebanyak 7,05 juta orang, angkatan kerja baru sebesar 2 juta orang per tahun, pekerja formal 55,3 juta orang dan pekerja informal 74,1 juta orang.

"Sehingga perlu upaya ekstra untuk menciptakan lapangan kerja baru dan tetap menjaga kelangsungan bekerja bagi pekerja (existing)," tulis penjelasan tentang omnibus law tersebut di draf awal dari pemerintah.

Selain itu, realisasi investasi pada 2019 tercatat hanya sebesar Rp601 triliun (kuartal III-2019). Melihat masih belum optimalnya serapan investasi, omnibus law ini diharapkan dapat menarik investasi yang lebih besar. Positifnya, investasi yang masuk juga bakal berdampak pada terciptanya lapangan kerja baru.

3. Ditolak keras oleh para buruh sejak Februari

Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh KontroversiIDN Times/Ilyas Listianto M

Sejak awal digaungkan, RUU awalnya dinamakan Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka itu, mendapat penolakan keras dari golongan buruh atau pekerja. Serangkaian demo digelar buruh untuk menolak RUU tersebut. Ancaman demo langsung disampaikan serikat buruh pada hari di mana draf RUU itu diantarkan ke DPR RI oleh enam menteri.

Draf RUU usulan pemerintah itu masuk ke DPR pada 12 Februari. Enam menteri yang mengantarkan draf itu adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Di tengah gelombang penolakan, Rapat Paripurna DPR RI menyepakati untuk membawa RUU  Cipta Kerja untuk diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) pada 4 April 2020. Keputusan itu menimbulkan protes karena dinilai terlalu 'ngoyo' di tengah pandemik COVID-19.

Aksi demo buruh menolak omnibus law tersebut pun digelar pada May Day. Serikat buruh dan pekerja menyatakan mundur dari tim teknis pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, yang dibentuk oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada 14 Juli 2020. KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo mundur karena empat alasan.

Presiden KSPI Said Iqbal menyebut alasan pertama, tim hanya menampung masukan. Kedua, unsur Apindo dan Kadin tidak bersedia menyerahkan konsep tertulis. “Ketiga, ada batasan waktu sehingga tidak memberi ruang untuk berdiskusi secara mendalam, dan keempat, tim tidak bisa menyelesaikan substansi permasalahan yang ada di dalam RUU Cipta Kerja,” ujar Iqbal.

Setelah itu, persoalan semakin alot. Pada 16 Juli, demo buruh yang digelar sampai menjadi trending topic di Twitter. Aksi unjuk rasa menolak omnibus law tersebut pun masih terus berlangsung pada Agustus.

Baca Juga: Dear Pemerintah, 74 Persen Masyarakat Belum Tahu Ada RUU Cipta Kerja

4. Konten selebritas dan influencer memuat soal RUU Cipta Kerja dan memunculkan isu buzzer pemerintah

Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh KontroversiIDN Times/Arief Rahmat

Di tengah gelombang penolakan yang masih keras dari pada buruh pada Agustus, muncul isu bahwa pemerintah menggunakan artis atau selebritas di dunia maya, para influencer untuk membentuk opini tentang omnibus law Cipta Kerja. Sebab, sejumlah influencer mengunggah konten berisikan bahasan ini.

Menanggapi isu ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian mengatakan, pemerintah tidak pernah mengarahkan sejumlah artis atau influencer untuk mempromosikan RUU Cipta Kerja. Dia berpendapat bahwa bisa saja semua unggahan yang berkaitan dengan promosi RUU Cipta Kerja yang dibagikan para artis berdasar pada inisiatif semata.

"Kalaupun ada itu mungkin inisiatif kolektif dari mereka-mereka terhadap pada RUU Cipta Kerja. Sekali lagi tidak ada arahan, perintah atau instruksi apa pun, saya tidak tahu apakah ada yang mengatasnamakan atau bagaimana," kata dia.

Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan istana tidak pernah menggunakan buzzer untuk menaikkan sebuah isu di media sosial. Tapi, dia mengaku KSP pernah menggunakan influencer beberapa kali.

"Dalam konteks ini mungkin sekali KSP menggunakan dalam hal, misalnya kami mendiskusikan isu-isu strategis, misalnya akademisi," tutur Jaleswari.

Jaleswari menjelaskan buzzer berbeda dengan influencer. Buzzer, menurutnya, bekerja tidak berdasarkan isu yang belum ada, tapi isu yang sudah ada diamplifikasi sedangkan influencer adalah tokoh yang berpengaruh di media sosial.

5. Poin-poin perubahan yang disepakati dalam pembahasan final RUU Cipta Kerja

Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh KontroversiSuasana Rapat Paripurna DPR RI Ke-6 Masa Persidangan Tahun Sidang 2020 – 2021 (Youtube.com/DPR RI)

RUU Cipta Kerja telah memasuki tahap final pada Senin, (28/9/2020). Sebanyak kurang lebih 7.000 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada RUU ini telah dibahas. Pembahasan pada Senin malam dan dilanjutkan ke pembahasan tingkat I pada Sabtu (3/10/2020).

Meski telah sepakat menghapus dua klaster, namun klaster yang paling banyak diperdebatkan, yakni klaster ketenagakerjaan, tetap dipertahankan. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya tidak dapat meloloskan penghapusan klaster ketenagakerjaan yang paling banyak mendapatkan kritik publik tersebut.

Dia mengaku sudah berusaha untuk menjembatani dua kepentingan besar yang berseberangan terkait klaster tersebut. “Dinamikanya begitu tinggi, luar biasa ketegangan kami hadapi," kata Supratman.

Ada sejumlah poin yang masih diperdebatkan alot oleh anggota fraksi-fraksi dalam Dewan dari klaster tersebut. Ada tujuh poin utama yang menjadi perdebatan.

Upah Minimum

Dalam RUU Cipta Kerja upah minimum tidak dapat ditangguhkan, tidak seperti dalam UU Ketenagakerjaan selama ini. Dengan begitu, tidak ada lagi buruh yang boleh diberi gaji di bawah upah minimum. Kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas.

Sementara itu, ketentuan upah minimum sektoral akan dihilangkan dalam RUU Cipta Kerja. Meski demikian, DPR dan pemerintah sepakat tidak akan menghapus ketentuan terkait upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten/kota. Hal tersebut disepakati  dalam rapat kerja RUU Ciptaker pada Minggu, (27/9/2020) malam.

Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan, apabila skema pengupahan sektoral itu sudah terlanjur diberikan perusahaan, tidak boleh dicabut agar pekerja tidak mengalami degradasi pendapatan yang biasa diterima.

Pesangon dan JKP

Aturan tentang pesangon saat pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 32 kali upah dinilai memberatkan pelaku usaha. Aturan ini dinilai mengurangi minat investor untuk berinvestasi sehingga dalam omnibus law ini pemerintah mengubah konsepnya.

Pemerintah akan memperkenalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK) di RUU Cipta Kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan, konsep jaminan seperti ini tidak diatur.

Tenaga Kerja Asing

Pada Pasal 42 RUU Cipta Kerja, tenaga kerja asing (TKA) diperbolehkan bekerja di Indonesia, tanpa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dari pemerintah pusat. Kemudahan RPTKA ini bagi TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.

Selama ini, dalam UU Ketenagakerjaan, RPTKA wajib bagi semua TKA. Namun hal itu dinilai pemerintah dalam rangka percepatan persoalan tenaga kerja dalam keadaan mendesak. Ini dianggap penting dalam rangka percepatan menarik calon investor.

Pekerja Kontrak

Dalam RUU Cipta Kerja, pekerja kontrak yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap, baik soal upah maupun jaminan sosial. Hal ini tidak diatur sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan.

Dalam UU Ketenagakerjaan ada pula aturan yang melarang PKWT terus diperpanjang, sehingga pekerja akan terus menjadi pekerja kontrak tanpa batas. Dalam Pasal 59 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan, disebutkan status PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.

Aturan ini akan dihapus dalam RUU Cipta Kerja sehingga dikhawatirkan pekerja bisa terjebak status kontrak yang berkepanjangan.

Waktu Kerja

Dalam RUU Cipta Kerja, hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Tidak ada aturan tentang jumlah hari kerja.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja yang ditetapkan ialah 7 jam per hari atau 40 jam per minggu, untuk sistem 6 hari kerja. Sedangkan untuk sistem 5 hari kerja, waktu kerja per hari, 8 jam atau 40 jam per minggu.

Outsourcing

Dalam RUU Cipta Kerja, perusahaan penyedia jasa outsourcing wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap. Hal ini belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: PKS Tolak Program Jaminan Kelangsungan Pekerja dalam RUU Cipta Kerja

Topik:

  • Anata Siregar
  • Sunariyah
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya