RI Jadi Negara Menengah Atas, Ekonom: Lebih Banyak Dampak Negatifnya 

RI tak diuntungkan dari sisi perdagangan internasional

Jakarta, IDN Times - Bank Dunia (World Bank) menaikkan peringkat Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah atas. Namun menurut ekonom Bhima Yudhistira, capaian tersebut bukan kabar baik. Kenaikan status tersebut, ujarnya, malah lebih banyak dampak negatif bagi kepentingan Indonesia.

Dari sisi perdagangan internasional konsekuensinya, produk Indonesia semakin sedikit mendapatkan fasilitas untuk keringanan tarif. Jadi tinggal menunggu waktu misalnya Amerika Serikat (AS) akan mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences).

"Padahal banyak produk yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu. Indonesia bisa saja dikeluarkan dari list negara penerima fasilitas tadi," kata Bhima kepada IDN Times, Senin (6/7/2020).

Baca Juga: Top! Indonesia Naik Kelas Jadi Negara Berpenghasilan Menengah Atas

1. Negara lain berpotensi ikuti AS

RI Jadi Negara Menengah Atas, Ekonom: Lebih Banyak Dampak Negatifnya Ilustrasi impor (IDN Times/Arief Rahmat)

Hal yang justru perlu dicermati, lanjut Bhima, adalah langkah AS bakal diikuti negara maju lainnya. Hal ini jelas tidak akan menguntungkan perdagangan Indonesia.

"Kanada, Eropa juga (bisa) menyusul. Padahal situasi pandemik kita memerlukan kenaikan kinerja ekspor yang lebih tinggi. Justru ini buruk bagi neraca dagang kedepannya," tutur dia.

2. Dampak signifikan dari pembiayaan utang

RI Jadi Negara Menengah Atas, Ekonom: Lebih Banyak Dampak Negatifnya (Ilustrasi utang) IDN Times/Arief Rahmat

Naiknya status Indonesia menjadi upper middle income berarti Indonesia makin dianggap mampu membayar bunga dengan rate yang lebih mahal. Negara-negara kreditur juga akan memprioritaskan negara yang pendapatannya lebih rendah dari Indonesia, khususnya negara kelompok low income countries.

Dengan kondisi ini maka pilihan Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan murah makin terbatas. Pinjaman bilateral dengan bunga 0,5-1 persen tentunya makin berat.

"Akibatnya pemerintah makin gencar terbitkan SBN yang dijual dengan market rate. Sekarang saja sudah di atas 7 persen bunganya. Mahal sekali dan pastinya kedepan porsi SBN makin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan multilateral yang bunganya lebih murah," jelas Bhima.

3. Kenaikan status mengancam serapan tenaga kerja Indonesia

RI Jadi Negara Menengah Atas, Ekonom: Lebih Banyak Dampak Negatifnya Ilustrasi pekerja atau buruh pabrik. (IDN Times/Zainul Arifin)

Hal lain yang menjadi catatan adalah kenaikan status tanpa adanya perubahan struktur ekonomi, justru mengancam serapan tenaga kerja. Porsi industri manufaktur terhadap PDB per triwulan I 2020 terus alami penurunan di bawah 20 persen. Deindustrialisasi prematur terus berlangsung.

Menurut Bhima, idealnya untuk naik kelas yang harus didorong pemerintah adalah industri manufaktur. Sebab, sektor tersebut memberi nilai tambah dan serapan tenaga kerja yang besar.

"Kita terlalu cepat masuk ke sektor jasa, oleh karena itu motor ekonominya rapuh. Ini harus diperbaiki untuk lepas dari jebakan kelas menengah. Jangan berbangga dulu, karena sebenarnya upper middle income ya status Indonesia masih negara berpendapatan menengah," ujarnya.

Baca Juga: Jokowi Disebut akan Kembalikan Fungsi Pengawasan Perbankan ke BI

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya