3 Pukulan yang Membuat Pertamina Babak Belur Rp11 Triliun

Dampak COVID-19 menghajar Pertamina

Jakarta, IDN Times - Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan mengapa PT Pertamina bisa merugi hingga Rp11,4 triliun tahun ini. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR RI, Emma menyebut Pertamina mendapat tiga pukulan akibat COVID-19.

"Ada 3 triple shock yang sering kita sering sampaikan," kata Emma, Senin (31/8/2020).

1. Penurunan penjualan Pertamina

3 Pukulan yang Membuat Pertamina Babak Belur Rp11 TriliunTangkap Layar - Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini di Komisi VII DPR RI (Youtube.com/DPR RI)

Volume penjualan bahan bakar minyak atau bahan bakar khusus turun hingga 26 persen dari Juli 2019. Emma mengatakan permintaan masyarakat akan bahan bakar minyak atau bahan bakar khusus turun signfikan yang berpengaruh terhadap revenue mereka sekalipun harga minyak mentah atau crude sangat rendah.

"Di kuartal II, April dalam posisi terdalam. Namun dari sisi sales April menuju Mei sudah ada peningkatan. Mei ke Juni meningkat 7 persen dan closing di Juli meningkat 5 persen. Trennya sudah mulai positif dibanding posisi Juni 2019 yang menurun tajam 26 persen ke April 2020," kata Emma.

Baca Juga: Pertamina Berhasil Jawab Tantangan Presiden Bangun Kilang Sendiri

2. Fluktuasi nilai rupiah yang tajam

3 Pukulan yang Membuat Pertamina Babak Belur Rp11 TriliunIlustrasi rupiah (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Kedua adalah nilai tukar rupiah yang melemah dengan titik terrendah April 2020. Keadaan ini memberikan tekanan finansial karena pendapatan Pertamina sebagian besar dalam rupiah namun pembelian crude dalam dolar.

Tercatat pada Desember 2010, kurs rupiah terhadap dolar adalah Rp13.900 namun pada Maret 2020 menjadi Rp16.367. "Memasuki kuartal II, kurs sangat fluktuatif. Kalau dibanding kurs Desember 2019 Rp13.900, ini secara buku, kita mengalami selisih yang sangat tajam," sebut Emma.

3. Pelemahan Indonesia Crude Price (ICP)

3 Pukulan yang Membuat Pertamina Babak Belur Rp11 TriliunFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Dwi Agustiar)

Terakhir adalah tertekannya ICP hingga level yang terendah pada April 2020 menjadi US$21 per barel. Hal ini berdampak pada kinerja keuangan Pertamina yang mempertahankan produksi lifting migas meski mergin hulu tertekan.

Pelemahan ICP ini berdampak pada inventory cost Pertamina di mana mereka menumpuk stok bahan bakar seperti avtur dan solar.

"Semua terdampak dan itu jadi inventory cost sementara revenue tidak ada. Kita tidak enjoy terhadap penurunan harga ICP," ucapnya.

Emma menambahkan, Pertamina makin sulit karena di kilang mereka masih mengonsumsi harga crude yang masih mahal sebesar US$57 dolar per barel karena ada lagging ke 2-3 bulan ke belakang.

"Ini secara pembukuan kita masih harga pokok masih mahal tapi harga jual sudah agak rendah. Karena harga jual mengikuti harga ICP yang terkini. Ada selisih dari lagging waktu," kata Emma memaparkan.

Baca Juga: Jumlah Penerbangan Berkurang, Permintaan Avtur Anjlok Hingga 72 Persen

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya