Ancaman Kerja Sama OBOR, Aset KEK Indonesia Bisa Dimiliki Tiongkok

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Morowali salah satu contohnya

Jakarta, IDN Times – Proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) Tiongkok atau yang juga dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR) kini mulai dipertanyakan sejumlah pihak. Muncul kekhawatiran bahwa program ini akan menempatkan Indonesia pada jeratan utang.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan proyek ini tidak akan menambah beban utang pemerintah karena dilakukan dengan skema "business to business" atau B to B tanpa ada aliran dana ke pemerintah dan tanpa kewajiban jamin dari pemerintah Indonesia.

"Saya ingin garisbawahi program Belt and Road itu tidak ada program G to G (government to government). Yang kita lakukan itu B to B. Jadi 'loan' (pinjaman) itu tidak ada yang ke pemerintah Indonesia. 'Loan' langsung ke proyek. Jadi proyek itu yang membayar 'loan' itu tadi," katanya beberapa waktu lalu.

Peneliti INDEF Andry Satrio Nugroho tidak sependapat dengan Luhut. Dalam sebuah diskusi, Andry memaparkan bagaimana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Indonesia dapat menjadi ‘tumbal’ dari proyek ini. “Kemungkinan terburuk adalah KEK ini akan menjadi milik Tiongkok dengan penguasaan secara menyeluruh hingga pada tahap operasionalnya,” kata Andry.

Bagaimana KEK lalu menjadi korban dari proyek yang disebut Jalur Sutera modern ini?

1. Berawal dari pengembangan sejumlah KEK pada 2013

Ancaman Kerja Sama OBOR, Aset KEK Indonesia Bisa Dimiliki TiongkokFacebook / boronebeltoneroad

Andry mengatakan, sejatinya kerjasama Indonesia dan Tiongkokmelalui Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok (Belt and Road Initiative) atau yang juga disebut One Belt One Road atau OBOR sudah terlihat sejak 2013 saat keduanya menandatangani joint statement pada tahun tersebut.

“Dalam Joint Statement tersebut, beberapa proyek disebut diantaranya pengembangan KEK Bitung dan beberapa KEK lainnya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pengoperasian tahap 1 PLTU 10,000 MW, hingga partisipasi dalam proyek lima tahun listrik 35,000 MW,” sebutnya.

Andry menambahkan, Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia, yang mana frekuensi dari perdagangan antara kedua negara ini tertinggi di antara mitra dagang lain, mencapai US$ 72,6 miliar di 2018.

2. KEK Morowali penghasil nikel dengan kontribusi Tiongkok

Ancaman Kerja Sama OBOR, Aset KEK Indonesia Bisa Dimiliki Tiongkokinstagram.com/inadig_hasan

Dari segi industri di Indonesia, terdapat kontribusi Tiongkok dalam pengembangan KEK, contohnya KEK Morowali yang menjadi pusat hilirisasi nikel terbesar di Indonesia saat ini “Tidak hanya perusahaan tetapi juga tenaga kerja asing berasal dari Tiongkok,” ucap Andry.

Ketersediaan nikel ialah hal yang perlu menjadi fokus perhatian. Kebutuhan sumber daya alam yang digunakan sebagai bahan baku baterai yang biasa dipakai pada smartphone dan mobil listrik itu, diprediksi mencapai 1,3 ton selama 10 tahun ke depan.

“China dengan ekspansi teknologinya mengharapkan investasi nikel di Indonesia mampu memenuhi kebutuhannya dan dapat menekan biaya sehingga produk-produk elektronik yang dihasilkan tetap kompetitif dibandingkan yang lain,” paparnya.

3. Ancaman KEK Indonesia yang dapat menjadi milik Tiongkok

Ancaman Kerja Sama OBOR, Aset KEK Indonesia Bisa Dimiliki TiongkokANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee

Andry menyebut pintu masuk BRI adalah Medan. Beberapa kesepakatan pembangunan proyek meliputi Pelabuhan Kuala Tanjung, Kota Bandara Kualanamu, dan KEK Sei Mangkei. Investasi akan masuk dari segi transportasi hingga kawasan industri. Banyak permasalahan yang dialami oleh KEK ini, mulai dari janji insentif yang tidak ditepati hingga bahan baku sawit yang justru sulit didapatkan.

Indonesia juga dinilai kesulitan menawarkan KEK kepada investor asing, di dalamnya termasuk KEK Sei Mangkei. Padahal KEK ini merupakan KEK strategis dengan fokus pada hilirisasi sawit.

Salah satu keuntungan bagi Indonesia, dengan masuknya Tiongkok ke dalam KEK ini diharapkan dapat melakukan hilirisasi sawit di dalam negeri sehingga ke depan kita tidak bergantung pada ekspor sawit mentah atau produk turunan yang rendah.

“Namun, tentu perlu waspada, bahwa bisa saja hirilisasi sawit bisa saja tidak terjadi dan justru memberikan kesempatan bagi Tiongkok untuk mengeruk peluang mendapatkan CPO dengan harga terjangkau dari Indonesia. Perlu diingat, ke depan akan terjadi peningkatan penyerapan CPO Indonesia oleh Tiongkok,” ujar Andry.

Selain itu Andry menyoroti resiko lain dari kerjasama dengan Tiongkok dengan model B2B ini.

“Sejak 2012, 40 perusahaan BUMN Tiongkok sudah menyetujui mengambil peran di dalam kontestasi BRI. Mereka akan head-to-head dengan BUMN kita. Maka dari hal tersebut, ke depan risiko kerugian yang akan ditanggung langsung oleh BUMN pengolahan sawit seperti PTPN III. Kemungkinan terburuk adalah KEK ini akan menjadi milik Tiongkok dengan penguasaan secara menyeluruh hingga pada tahap operasionalnya yang saat ini dikuasai oleh anak perusahaan PTPN III yaitu PT Kinra,” jelasnya.

Baca Juga: OBOR dan Indonesia yang Makin Sulit Lepas dari Cengkraman Tiongkok

4. Masuknya tenaga kerja Tiongkok menggantikan tenaga kerja lokal

Ancaman Kerja Sama OBOR, Aset KEK Indonesia Bisa Dimiliki TiongkokIDN Times/Daruwaskita

Andry juga menyebut risiko lain yakni masuknya tenaga kerja asing (TKA) Tiongkok ke KEK Sei Mangkei.

“Seharusnya tenaga kerja yang terserap bukan dari China namun dari daerah Sei Mangkei, Simalungun, Medan dan sekitarnya. Kita harus belajar dari kasus KEK Morowali,” ucapnya.

Baca Juga: OBOR, Ambisi Besar Tiongkok Kuasai Ekonomi Dunia

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya