Ditolak Buruh, Apa Saja Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?

Bisakah omnibus law menyelesaikan masalah lapangan kerja?

Jakarta, IDN Times - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance  (INDEF) Deniey A Purwanto akan ada banyak tantangan bagi pemerintah menerbitkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Terlebih, dari 11 klaster yang dirumuskan, hanya ada satu yang secara spesifik membahas tentang ketenagakerjaan itu sendiri.

"Sementara lainnya lebih pada masalah perbaikan iklim investasi," kata Deniey dalam diskusi INDEF, Sabtu (25/1).

Deniey membenarkan bahwa investasi bisa berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Namun perlu diingat, masalah lapangan kerja tidak hanya sebatas pada investasi saja.

"Sementara pemerintah mengindikasikan bahwa tidak akan banyak perubahan peraturan dalam klaster ketenagakerjaan," ujar Deniey.

1. Permasalahan di sektor tenaga kerja

Ditolak Buruh, Apa Saja Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?(IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Dalam diskusi itu, Deniey menyebutkan sejumlah permasalahan ketenagakerjaan. Mulai dari sistem pengupahan, jaminan sosial, pesangon, outsourcing, serikat pekerja dan penetapan upah minimum.

"Belum lagi berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang hingga saat ini belum memiliki payung hukum yang jelas. Dengan kesetaraannya dengan undang-undang, struktur Omnibus Law yang dirancang pemerintah dengan menggabungkan antara iklim investasi dan ketenagakerjaan perlu dipertimbangkan kembali," katanya.

2. Miss and match dunia kerja dengan dunia pendidikan

Ditolak Buruh, Apa Saja Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?Aksi aliansi mahasiswa menolak Omnibus Law di Bunderan UGM, Sleman, 15 Januari 2020. IDN Times/Pito Agustin Rudiana

Selain berbagai persoalan di atas, Deniey juga mengkritik masalah ketidaksesuaian lapangan kerja (employment mismatch) antara kompetensi yang dihasilkan oleh dunia pendidikan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh industri baik secara vertikal maupun horizontal.

Ia mengatakan ketidaksesuaian vertikal (vertical mismatch) terjadi jika tenaga kerja bekerja pada lapangan pekerjaan di bawah atau di atas kualifikasi pendidikannya. Sementara ketidaksesuaian horizontal (horizontal mismatch) terjadi jika tenaga kerja bekerja pada lapangan pekerjaan di luar bidang atau kompetensi pendidikannya.

Data dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization / ILO) memperkirakan sepanjang tahun 2006 hingga 2016, total ketidaksesuaian lapangan pekerjaan secara vertikal berada dalam kisaran 37 persen tiap tahunnya.

Lebih jauh lagi, dengan data dasar yang sama (Sakernas 2016) dan mengkhususkan pada lulusan perguruan tinggi, SDGs Center Universitas Padjajaran mengungkap dalam studinya bahwa tingkat ketidaksesuaian lapangan kerja pada tenaga kerja usia muda khususnya generasi millennial cukup tinggi dan bahkan lebih tinggi daripada generasi-generasi sebelumnya.

"Dalam studi tersebut disampaikan bahwa sekitar 45,58 persen millennial bekerja pada lapangan pekerjaan yang lebih rendah kualifikasinya dari pada latar belakang yang dimiliki (over education) dan sekitar 16,85 persen millennial bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan atau kompetensi yang dimiliki (unrelated employment)," papar Deniey.

Baca Juga: Ini Lho Poin-Poin Omnibus Law Cilaka yang Didemo Buruh

3. Dampak dari ketidaksesuaian lapangan kerja

Ditolak Buruh, Apa Saja Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?Infografik omnibus law (IDN Times/Arief Rahmat)

Salah satu dampak dari ketidaksesuaian lapangan kerja ini adalah rendahnya tingkat upah. Deniey mengatakan, berdasarkan studi INDEF, terkait disparitasi upah menunjukkan bahwa bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan tenaga kerja, semakin tinggi pula disparitas upah.

"Misalnya, antar kelompok usia muda dan dewasa, disparitas upah tenaga kerja lulusan sekolah dasar berkisar 11,22 persen, sementara untuk lulusan perguruan tinggi berkisar 54,99 persen," katanya.

Selain disparitas upah antar kelompok usia, disparitas upah antar gender juga menjadi salah satu isu krusial dalam pasar tenaga kerja Indonesia. "Studi kami juga mengindikasikan masih cukup tingginya disparitas upah gender yang mengarah kepada diskriminasi," ucapnya.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App. Unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: Pasal-Pasal Kontroversial di Dalam Omnibus Law yang Dikritik Publik

Topik:

  • Anata Siregar
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya