Kamu Perlu Tahu 5 Tantangan Perekonomian Indonesia Ini

Jakarta, IDN Times – Di tengah kondisi perekomonian yang lagi galau ini, perekonomian Indonesia juga kena dampaknya. Salah satu yang kita rasakan adalah nilai tukar rupiah yang menurun terhadap dolar Amerika Serikat, meski sekarang rupiah sudah mengalami penguatan.
Tapi bukan sepenuhnya perekonomian Indonesia jelek loh. Indonesia punya potensi besar, terlebih dengan memanfaatkan perang dagang Amerika dan China. Tapi dibalik potensi besar itu ada tantangan yang dihadapi dan harus diselesaikan Indonesia, apa saja?
1. Terlalu bergantung pada komoditas ekspor yang itu-itu saja
Chief economist BCA David Sumual menilai, Indonesia mempunyai sejumlah tantangan perekonomian saat ini. Salah satunya adalah harga komoditas ekspor yang turun, seperti minyak sawit, batu bara, dan karet.
Padahal di tahun 2010 hingga 2014, nilai komoditas ini cukup bagus dan menjadi salah satu yang diandalkan untuk pertumbuhan sektor ekonomi.
“Kalau itu berlanjut karena kekhawatiran perang dagang, yaitu pengurangan permintaan komoditas tahun depan. Jadi bisa saja tahun depan masih landai dan itu membuat ekonomi kita akan moderat kalau pemerintah tidak cari sumber pertumbuhan lain di luar komoditas,” kata Sumual saat diwawancara IDN Times di Menara BCA, Rabu (12/12).
Sumual menambahkan, pemerintah Indonesia bisa ‘mengakalinya’ dengan cara Foreign Direct Investment (FDI).
2. Kurangnya kualitas sumber daya manusia
Namun, FDI tidak semudah itu karena Indonesia mempunyai permasalahan selanjutnya, yaitu kualitas sumber daya manusia khususnya di bidang vokasional.
“Keahlian khusus dan ekspertis khusus banyak dibutuhkan di luar juga, seperti perawat, dokter , insyinur, itu bisa jadi. Karena di luar negeri banyak kekurangan tenaga ahli,” katanya.
Jika FDI terjadi dan sumber daaya manusia ini belum siap, maka Indonesia harus bersiap kedatangan tenaga kerja ahli dari luar negeri untuk menggantikan tenaga kerja lokal. Selain itu, dengan peningkatan kualitas tenaga kerja, diharapkan nantinya Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas mentah seperti minyak sawit dan karet.
Sumual mencontohkan Pegatron, perusahaan perakit Apple iPhone yang memindahkan salah satu lini produksinya dari China ke Batam dengan nilai investasi mencapai US$1 miliar bagi Indonesia.
“Ini harapannya bisa menarik tenaga kerja. Tapi butuh skill pekerja, kalau gak datang pekerja dari luar Malaysia, Jerman,” imbuh Sumual.
3. Produk Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh dunia internasional
Editor’s picks
Dengan masih berlangsungnya perang dagang Amerika dan China, Indonesia bisa mengambil kesempatan memasukkan barang-barang yang dibutuhkan kedua negara dengan harga lebih murah. Namun permasalahan kembali muncul, kualitas produk di Indonesia seperti buah-buahan dan lainnya masih dipandang sebelah mata oleh dunia. Terlebih pasar internasional banyak membutuhkan produk manufaktur.
“Kita bisa cari kesempatan produk buah atau ikan, yang kita punya sepatu, baju, alumunium baja. Sayangnya, kita masih sebatas natural resources. Sedang China atau Amerika butuh produk manufaktur,” ujar Sumual.
Baca Juga: 5 Fakta "Genjatan Senjata" Perang Dagang AS dan China
4. Kalau ekspor sudah tidak bagus, lalu apa langkah yang tepat bagi Indonesia?
Memanfaatkan perang dagang ini, Sumual menyarankan pemerintah Indonesia bisa mencoba dengan investment diversion atau pengalihan investasi yang difokuskan pada manufaktur, dibanding sumber daya alam.
“Invetasi dari China atau Amerika yang bisa kita divert supaya mereka investasi di kita. Kan mereka harus diversifikasi, takut perang dagang berkepanjangan, mereka harus diversifikasi supaya supply chain atau rantai pasokan ke negara lain. Yang potensi itu Indonesia," kata dia.
Memang disayangkan, kata dia, roda perekonomian Indonesia masih fokus pada mineral dan sumber daya alam. Investor asing masih melirik negara lain untuk mencari manufaktur dan elektronik, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. "Jarang yang masuk kita,” papar Sumual.
5. Bagaimana menyelesaikan permasalahan sektor manufaktur Indonesia?
Ribetnya birokrasi di Indonesia menjadi kambing hitam untuk menguatkan pengalihan investasi ke sektor manufaktur ini. Lambatnya proses perizinan dan birokrasi di Indonesia juga bisa memicu terjadinya korupsi.
“Pak Jusuf Kalla bilang karena lambatnya ini memicu korupsi. Lambat, sementara pengusaha pengen cepat akhirnya mereka kasih uang suap. Padahal mereka ini butuh waktu. Misal iPhone mau masuk Indonesia atau Vietnam. Kalau Vietnam bisa 1 minggu selesai, di kita 6 bulan selesai, potensi 6 bulan penjualan hilang,” jelasnya.
Permasalahan kedua sektor manufaktur Indonesia adalah sulitnya mencari lahan yang bagus. “Padahal banyak lahan kosong gak produktif, tanah gersang itu kan banyak di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara. Tapi mungkin mereka cari yang infrastrukturnya lengkap ya. Kalau lengkap ya Sumatera dan Jawa dan Batam,” kata Sumual.
Dan ketiga adalah biaya sewa yang mahal dan permintaan konten lokal yang tinggi di awal kesepakatan. “Sama kalau bisa biaya sewa, jangan mahal-mahal. Di awal gak mungkin local content 60 persen. Kita di awal sudah terbentur local content, minta tinggi. Padahal kemampuan industri dalam negeri gak siap,” ujarnya.
Baca Juga: Mungkinkah Indonesia Alami Krisis Ekonomi 10 Tahunan?