Memprediksi Energi Angin dan Matahari 30 Tahun ke Depan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Vice President Pertamina Energi Institute Hery Haerudin mengatakan energi angin dan matahari atau surya diperkirakan tumbuh paling cepat di Indonesia. Pertumnbuhan ini seiring meningkatkan pengembanagn energi green transition (GT) untuk produksi listrik.
"Karena dari sisi cost (biaya) adalah yang paling murah pada saat ini, dilanjutkan dengan energi hidro dan panas bumi," kata Hery dalam Pertamina Energy Webinar 2020, Selasa (8/12/2020).
1. Proyeksi energi angin dan matahari 30 tahun ke depan
Dalam hasil penelitian Pertamina Energy Institute (PEI) yang tertuang dalam Pertamina Energy Outlook 2020, variabel reneawable energi (VRE) yang terdiri dari angin dan matahari diproyeksi mendominasi 56 persen dari energi lainnya untuk produksi listrik.
"Produksi listrik dari energi baru terbarukan meningkat 56 persen pada skenario GT," ujar Hery.
Sementara sisanya atau 44 persen produksi listrik berasal dari energi fosil. Pada market driven (MD), VRE diperkirakan mencapai 34 GW pada skenario dan 67 GW pada skenario green transition (GT) di 2050.
Baca Juga: Dorong Penggunaan Energi Baru Terbarukan, Indonesia Mau Lebih Bersih!
2. Peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan
Editor’s picks
Hery juga melaporkan akan terjadi peningkatan VRE dalam kapasitas energi terpasang. Pada 2050, dalam skenario business as usual (BAU), VRE akan meningkat menjadi 4 persen dari nol persen pada 2019.
Lalu pada skenario market driven (MD) green transition (GT), VRE akan naik menjadi 16 persen dan 25 persen.
3. Pertumbuhan kebutuhan listrik per tahun
Hery mengatakan pertumbuhan kebutuhan listrik diproyeksikan berkisar antara 3,7 sampai 4,5 persen per tahun. Dengan potensi kapasitas terpasang mencapai 268 giga watt (GW) di 2050 pada skenario GT
Ia juga mengatakan penambahan kapasitas pembangkit batu bara diproyeksikan melambat hingga hanya bertambah 8 GW pada 2050 di skenario GT yang disebabkan oleh transisi energi baik melalui penetrasi pembangkit gas dan/atau energi terbarukan (EBT).
"Pembangkit gas terus meningkat dengan potensi Kapasitas mencapai 70 GW pada
skenario GT," katanya.
Baca Juga: Kebutuhan Energi Menurun 16 Persen Gara-gara COVID-19