Perlindungan Konsumen di E-Commerce Lemah, Pemerintah ke Mana Aja?

Harusnya mereka melakukan tiga hal ini

Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 yang berujung pada penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan imbauan physical distancing mengubah pola transaksi konsumen dari offline ke online.

Bank Indonesia mencatat selama Mei 2020, transaksi uang elektronik mencapai Rp5,03 triliun. Selain itu, riset McKinsey yang dirilis April 2020 melaporkan 37 persen responden mengunduh satu atau lebih aplikasi e-commerce baru dalam jangka dua minggu terakhir. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan perlindungan konsumen yang memadai.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, tanpa mengedepankan upaya yang konsisten untuk perlindungan konsumen, kepercayaan konsumen bertransaksi dikhawatirkan menurun sehingga memengaruhi pertumbuhan konsumsi.

Regulasi terkait perlindungan konsumen e-commerce sendiri diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK), Undang-Undang Perdagangan, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE).

"Dibutuhkan evaluasi pada beberapa poin dalam UU terkait perlindungan konsumen e-commerce,” kata Ira dalam webinar mengenai perlindungan konsumen ekonomi digital dalam Digital Week 2020 pada Rabu (22/07/2020).

Terus apa yang harus dilakukan pemerintah?

1. Perlu evaluasi hak atas kenyamanan dan keamanan konsumen

Perlindungan Konsumen di E-Commerce Lemah, Pemerintah ke Mana Aja?Ilustrasi Supermarket (IDN Times/Anata)

Baca Juga: E-Commerce Jadi Pilihan UMKM untuk Berbisnis di Tengah Pandemik

Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi hak atas kenyamanan dan keamanan dalam mengonsumsi barang dan jasa pada UU PK Pasal 4.

Menurut Ira, saat ini, pasal tersebut belum mencakup perlindungan dan keamanan data pada transaksi digital, misalnya mengenai teknik kriptografi dan kebijakan privasi penyelenggara e-commerce.

"Peraturan terkait jenis dan data apa saja yang boleh dikumpulkan oleh penyelenggara dan bagaimana penyelenggara diizinkan untuk memprosesnya juga masih belum terkonsolidasi karena adanya perbedaan dan tumpang tindih aturan antara UU ITE, UU Perdagangan dan PP PMSE," katanya.

2. Evaluasi transaksi lintas batas

Perlindungan Konsumen di E-Commerce Lemah, Pemerintah ke Mana Aja?Ilustrasi belanja online (IDN Times/Arief Rahmat)

Kedua, pemerintah perlu mengevaluasi transaksi lintas batas atau cross border yang belum dibahas dalam UU PK. Padahal transaksi semacam ini sudah banyak dilakukan. Saat ini, UU PK hanya mengatur pelaku usaha yang beroperasi dalam yurisdiksi Indonesia.

UU PK juga belum mengakui adanya kontrak digital, pihak ketiga (penyelenggara) dan pemberlakuan kontrak mana yang mengikat antara penjual dan pembeli.

Amandemen UU PK sudah sejak lama disuarakan dan saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Tetapi, sampai saat ini belum ada kejelasan atas pembahasan UU PK. Padahal, kata dia, kontribusi ekonomi digital terhadap PDB diharapkan terus meningkat.

"Tapi payung hukum untuk perlindungan konsumen belum juga memadai dan tidak mengikuti relevansi zaman,” ujar Ira.

3. Konsumen masih susah mengakses informasi mengenai hak mereka

Perlindungan Konsumen di E-Commerce Lemah, Pemerintah ke Mana Aja?(Ilustrasi supermarket, ritel) IDN Times/Galih Persiana

Ketiga, Ira menilai  informasi dan mengajukan keluhan terkait hak-hak konsumen masih minim. Selain itu, kurangnya jumlah keluhan konsumen juga bisa diakibatkan minimnya pengetahuan konsumen terkait hak-haknya dan lembaga yang bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen.

Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia (Kemendag) menunjukkan angka 40,41, dengan skala 0. Angka ini juga menunjukkan bahwa konsumen tidak diberdayakan hingga 100 yang menunjukkan konsumen sangat diberdayakan.

IKK menyimpulkan bahwa konsumen di Indonesia mengetahui sebagian hak dan kewajiban mereka tetapi belum menerapkan pemahaman ini pada pilihan konsumsi mereka atau untuk memperjuangkan hak-hak konsumen mereka.

"Rendahnya kinerja dalam indeks ini sebagian disebabkan oleh kurangnya pemahaman hak dan kewajiban, ketidaktahuan mengenai lembaga hak konsumen dan keengganan untuk mengajukan keluhan formal," kata Ira.

Skor IKK di Indonesia jauh di bawah Uni Eropa yang berada di angka 51,31, Malaysia yang berada di angka 56,9 dan Korea Selatan yang berada di angka 64. Skor tersebut bahkan lebih rendah di wilayah seperti Gorontalo (22,89) dan Maluku Utara (23,14).

Baca Juga: Harga Masker Melonjak, Perlindungan Terhadap Konsumen Minim

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya