Tok! Jokowi Sahkan Pepres Nilai Ekonomi Karbon 

Indonesia siap turunkan emisi karbon 2030

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko 'Jokowi' Widodo baru saja mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pengesahan perpres ini disampaikan oleh Jokowi dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, UK.

"Hal ini menjadikan Indonesia penggerak pertama penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu dalam keterangan tertulis, Selasa (2/11/2021).

Baca Juga: COP26: 100 Pemimpin Dunia Sepakat Setop Deforestasi pada 2030

1. Perpres Nilai Ekonomi Karbon jadi tonggak penting arah kebijakan Indonesia

Tok! Jokowi Sahkan Pepres Nilai Ekonomi Karbon Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Febrio mengatakan bahwa Pepres Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dan Net Zero Emission (NZE) 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045.

“Instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan”, lanjut Febrio.

Ia berharap investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayan berbiaya rendah hijau global.

Baca Juga: Jokowi: Dukungan Negara Maju pada Perubahan Iklim Jadi Game Changer

2. Mekanisme perdagangan karbon di Indonesia

Tok! Jokowi Sahkan Pepres Nilai Ekonomi Karbon Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Pada kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing. Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan.

Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment/RBP.

“Pemerintah sangat memahami bahwa untuk mencapai target NDC diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan," kata Febrio.

3. Target Indonesia turunkan emisi di 2030 hingga 2060

Tok! Jokowi Sahkan Pepres Nilai Ekonomi Karbon Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Indonesia menetapkan ambisi yang cukup tinggi sebagai negara berkembang yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

Selain itu, pada dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 atau lebih awal.

Dokumen terakhir tersebut juga menetapkan perlunya perhatian pada aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu target strategis nasional.

"Selain komando dan kendali, upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar atau market-based instruments," kata Febrio.

Baca Juga: Indonesia Butuh Rp10 Ribu Triliun agar Bebas Emisi Karbon di 2060

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya