[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani 

Apa yang harus dilakukan untuk perbaikan ekonomi ke depannya

Jakarta, IDN Times – Ekonomi dunia dan juga Indonesia hancur lebur dengan adanya pandemik COVID-19 yang menerpa sejak awal tahun. Resesi pun tidak dapat dihindari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun disebut akan mengalami resesi pada kuartal III ini meski tidak sedalam pada kuartal II sebesar 5,32 persen.

Berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008 di mana faktornya adalah masalah moneter. Kali ini, dunia dihadapkan pada permasalahan kesehatan. Lalu bagaimana nasib ekonomi Indonesia di sisa tiga bulan terakhir ini dan tahun depan? Akankah bisa pulih seperti sebelum terjadi pandemik?

Berikut hasil wawancara IDN Times bersama ekonom INDEF Aviliani. Wawancara ini dilakukan dalam rangkaian Indonesia Millennial Report 2020 yang akan diluncurkan saat acara Indonesia Millennial Summit (IMS) 2021 mendatang.

Apa tanggapan Anda terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah selama pandemik ini? dan bagaimana kebijakan di tingkat daerah

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ekonom INDEF Aviliani. Dok. Istimewa

Saya melihat pemerintah responnya lebih cepat ya dibandingkan krisis-krisis sebelumnya di mana ada Perppu dan kemudian menjadi undang-undang itu untuk menyelamatkan tidak hanya sektor keuangan, karena pada masa-masa krisis sebelumnya itu hanya memikirkan sektor keuangan. Tapi kali ini sektor riil pun dipikirkan oleh pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal.

Memang ada beberapa yang belum terealisasi khususnya adalah belanja pemerintahnya, tapi sebenarnya kebijakan yang dikeluarkannya sudah baik hanya tinggal pada tataran implementasi. Problem-nya mungkin kalau daerah di luar Jakarta nggak masalah karena nggak ada pemerintah pusat gitu. Menurut saya seharusnya ini tidak boleh menjadi problem karena memang khusus untuk PSBB ini adalah harus pemerintah daerah karena mereka yang paling tahu seberapa jauh peningkatan dari pada yang kena pandemik dan kemudian juga kapasitas dari rumah sakit.

Sehingga menurut saya daerah memang sudah apa pada porsinya untuk melakukan ini hanya saja memang pada tataran kebijakan di pusat ini seringkali belum dilaksanakan sosialisasi kepada daerah. Jadi ada kadang-kadang kebijakan yang tidak sinkron ya. Misalnya ketika ada kebijakan fiskal dari pusat yang nantinya harus dilaksanakan oleh daerah, tapi daerah tidak diberikan petunjuk maka jadi problem juga tidak terjadi implementasi.

Kemudian harus ada pengalihan anggaran di APBD daerah, tetapi sosialisasinya untuk apa dan bagaimana itu seringkali tidak dapat tunjuk dan akhirnya pengeluarannya menjadi terlambat. Padahal dalam kondisi pandemik ini yang dibutuhkan sekarang adalah kita harus bicara tentang demand side karena apa? Karena sekarang ini banyak orang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya berkurang secara drastis baik orang yang bekerja di sektor formal, informal maupun UMKM.

Apakah kebijakan ekonomi yang diluncurkan saat pandemik ini bisa menanggulangi krisis yang terjadi?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ilustrasi ekonomi terdampak pandemik COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Ada sisi yang masih kurang yaitu dana PEN yaitu dana pemulihan ekonomi nasional itu sampai dengan Agustus itu baru terlaksana 25 persen, padahal harusnya dana PEN harusnya sudah 70 persen sampai 80 persen terimplementasi sehingga masalah perutnya masyarakat itu bisa teratasi. Karena masalah utama yang dihadapi itu demand side dan kalau kita berkaca dari negara lain ya, sama mereka ketika pandemik itu yang didahulukan adalah demand side.

Jadi mereka itu cepat mentransfer dana untuk masyarakat supaya masyarakat tetap bisa makan, mereka tetap bisa dari rumah itu tidak kepikiran gitu ya. Kalau di kita ini memang masih masalah dengan data. Nah jadi memang ini PR buat pemerintah bahwa ke depan tuh kan krisis yang terjadi terus-menerus walaupun ini baru proses karena COVID, tapi kemudian bisa jadi krisisnya setiap dua tahun setiap tahun jadi menurut saya database itu harus diperbaiki karena pasti yang kena dampak duluan ketika krisis itu adalah masyarakat, baik itu karena PHK maupun mereka usahanya tidak bisa beroperasi gitu.

Apakah dengan stimulus yang diberikan pemerintah ini sudah cukup? Atau mungkin ada sektor yang belum tersentuh?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut saya mungkin ada alokasi yang dipindahkan dari supply side ke demand side. Di mana di diperlukan lagi kebijakan baru, mungkin sekitar 2021 atau 2022, di mana ketika ekonomi sudah mulai membaik maka baru mereka membutuhkan kredit. Nah di situlah peran pemerintah untuk merelaksasi dalam hal perkreditan.

Kemudian, ketika nanti pandemik sudah selesai, pertumbuhan ekonominya sudah normal, relaksasi dicabut nih. Ketika relaksasi dicabut maka harus ada tahapan, karena apa, ketika tidak ada tahapan begitu relaksasi perbankan dicabut, maka NPL bisa naik, karena dalam pandemik ini jangan dianggap semua perusahaan itu bisa recovery kembali.

Ada perusahaan yang benar-benar tidak bisa recovery bahkan tutup ya memang ada perusahaan yang beroperasi tapi lokasinya masih 30 persen. Sehingga ketika masa sudah normal mereka masih membutuhkan waktu enam bulan sampai satu tahun untuk mengkonsolidasinya, sehingga merusak masih ada dua tahapan apa namanya yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal kebijakan supaya ekonomi ini membaiknya lebih mulus.

Membandingkan tingkat kesulitan ekonomi bisnis yang terjadi saat ini dibanding dengan tahun 1998 dan tahun 2008, bagaimana pandangan Anda?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ilustrasi Harga Saham Turun (Bearish) (IDN Times/Arief Rahmat)

Sangat berbeda. 98 itu karena pada saat itu banyak swasta itu melakukan utang luar negeri besar-besaran yang kemudian tidak dilihat terhadap kemampuan bayar ya, karena begitu mereka harus membayar ternyata lebih banyak kebutuhan dari pada supply-nya. Sehingga mulailah krisis di Asia karena tidak hanya di Indonesia tapi juga Thailand dan beberapa negara lain itu mengalami hal yang sama. Sehingga rupiah kita yang tadinya satu dolar itu Rp2.500 tiba-tiba menjadi Rp16 ribu. Jadi Anda bisa bayangkan saat itu utang daripada swasta di Indonesia itu naik lebih dari 100 kali lipat pastinya. Sehingga akhirnya asetnya jauh lebih rendah daripada utangnya.

Nah itulah yang membuat pada saat 98 itu krisisnya luar biasa. Nah yang kedua 98 juga ada semacam kita ada tanda tangan dengan IMF di mana waktu itu bank harus tutup. Begitu bank tutup, maka terjadilah rush. Nah disitulah krisis kita cukup panjang karena pada saat rush daripada bank-bank itu semua orang pegang duit kas. Ini berbahaya sekali. Makanya ketika itu terjadi mulailah muncul kebijakan-kebijakan baru untuk mengarah pada bagaimana kita bisa mengontrol utang luar negeri, lalu kita bisa membuat BI independen itu adalah bermula sebenarnya dari krisis 98.

Kemudian ketika 2008 itu berbeda lagi asal krisisnya. Kalau 98 itu asalnya dari Asia yaitu utang luar negeri yang besar, yang jatuh tempo ya sehingga membuat rupiah kita melemah. Nah ketika 2008 itu berbeda, justru krisisnya berasal dari global yang terutama dari Amerika-Eropa di mana ternyata mereka banyak mengeluarkan obligasi yang CDS ya, ibaratnya tuh obligasi yang diperjualbelikan di seluruh dunia itu adalah yang sudah package dan ternyata itu isinya adalah banyak yang tidak prudent ya. Misalnya ada banyak kredit-kredit orang miskin yang diperjualbelikan.

Nah begitu terjadi masalah pendapatan terhadap orang miskin, maka kredit itu tidak bisa terbangun, ya akibatnya apa banyak Hedge Fund yang apa mencairkan dana di seluruh dunia termasuk di Indonesia pada saat itu, di mana ketergantungan kita terhadap investasi asing itu kan tinggi. Ketika Hedge Fund itu menjual obligasi pemerintah, maka rupiah kita juga mengalami pelemahan.

Tapi pada saat itu ada kecepatan dari Gubernur BI membuat kebijakan bahwa obligasi yang dijual oleh asing itu akan dibeli oleh Bank Indonesia. Maka kita tidak mengalami krisis pada saat itu. Jadi krisisnya tuh cuma sebentar, sehingga orang tidak merasakan hal itu krisis. Nah salah satunya memang ada korban, yaitu Bank Century, di mana kalau itu ditutup mungkin terjadi rush itu akhirnya diselamatkan supaya tidak terjadi rush.

Nah sekarang ini setelah 2008 ada proses lagi krisis utang di Eropa tahun 2012 ya tapi kita gak terlalu terdampak. Jadi kalau kita lihat sebenarnya krisis itu makin lama makin pendek. Nah ini yang kita harus aware semua pelaku ekonomi maupun masyarakat juga pemerintah, kalau ini makin lama makin pendek, maka manajemen resiko kita ini harus makin baik. Kedua kerjasama di antara tiga pelaku harus makin bagus, juga kalau tidak kayak sekarang misalnya dikit-dikit pengen keluarin Perppu.

Akhirnya persepsi pasar menjadi buruk dan kita bisa aja kan terpuruk hanya gara-gara masalah kita sendiri yang seharusnya tidak perlu. Nah jadi menurut saya sekarang ini juga sudah lebih bagus kebijakannya dengan Perppu dan yang sudah menjadi undang-undang itu saya rasa sudah cocok ya. Hanya tinggal pada level birokrasi.

Baca Juga: Pemulihan Ekonomi Mitra Dagang Gak Berpengaruh ke Indonesia, Mengapa?

Apa yang harus dipersiapkan pemerintah dari sekarang untuk menanggulangi krisis yang akan datang di masa selanjutnya?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Petugas membelakangi layar informasi pergerakan harga saham pada layar elektronik di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (18/9/2020) (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Ya menurut saya, saya juga menyarankan kepada pelaku ekonomi semua ya termasuk dalam mengambil keputusan itu ke depan itu harus fleksibel. Fleksibel bukan berarti melanggar SOP atau standard operational procedure, tapi bagaimana justru birokrasi dan pelaku usaha itu makin fleksibel atau dinamis di dalam membuat kebijakan-kebijakan agar bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang bakal banyak risiko di masa depan.

Saya melihat di Indonesia ini birokrasi itu semuanya pengen dijadiin undang-undang, semua pengen aturan itu lebih tinggi yang akhirnya tidak fleksibel dalam melakukan adjustment. Akibatnya apa? Akibatnya kita mengalami kesulitan ketika kondisi itu membutuhkan fleksibilitas dalam kebijakan dari akhirnya bikin dulu Perppu, bikin undang-undang itu.

Jadi menurut saya ke depan itu semakin tidak banyak undang-undang semakin bagus. Undang-undang itu bikinlah hanya payung hukum, tapi untuk hal-hal kecil itu tidak perlu di level undang-undang. Saya rasa kesana kalau modelnya kayak gini terus, kita akan dimakan oleh waktu, kita akan dimakan oleh krisis. Bahkan Anda tahu, kalau krisis ini terjadi apa orang kaya makin kaya, orang miskin makin miskin.

Kapan pemulihan ekonomi nasional dimulai?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ilustrasi Harga Saham Naik (Bullish) (IDN Times/Arief Rahmat)

Awalnya pemerintah punya keyakinan pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun nanti antara minus 0,3-2,3 persen, tapi 17 agustus menurunkan lagi proyeksi ekonominya antara minus 1,1 sampai 0,2 persen. Artinya pemerintah sampai akhir 2020 pertumbuhan ekonomi plusnya hanya 0,2. Itu menunjukan belum ada recovery ekonomi di 2020, makanya 2020 ini tahun orang bertahan bagaimana bisa survive. Survei OECD mengatakan orang Indonesia daya tahan hidup ketika krisis cuma tujuh hari. Nah ini berbahaya. Pemerintah harus lihat jangan sampai tujuh hari orang tidak punya daya tahan untuk hidup.

Tahun 2021 beberapa lembaga internasional dan pemerintah sendiri memprediksikan kita tumbuh 4,5 sampai 5,5 persen. Itu adalah asumsi bila 50 persen orang sudah divaksin, tapi kalau lihat negara maju, pesan (vaksin) dari 2019, vaksinnya baru dia peroleh dua sampai tiga tahun kemudian.

Jadi 2021 mungkin sudah lebih dari 2020 karena orang sudah bisa menyesuaikan dengan COVID, tapi menurut saya pertumbuhan ekonomi belum bisa sebesar 4,5 sampai 5 persen. Sekitar 3,5 masih bagus lah. Karena saya belum yakin apakah vaksin terjadi di 2021. Bahkan dari Perppu atau jadi undang-undang, pemerintah itu minta minus 3 persen itu sampai 3 tahun. Jadi sampai 2022 minusnya di atas 3 persen. Jadi pemerintah sendiri kan juga melihat recovery ekonomi cukup lama.

Apa syarat penting agar program pemulihan ekonomi nasional berhasil?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Menteri Keuangan Sri Mulyani (IDN Times/Auriga Agustina)

Syarat pertama adalah yang kena dampak dulu, kita perhatikan. Selama ini kan jumlah orang miskin hampir 99 juta sebelum terjadi pandemik. Ketika terjadi pandemik, ternyata diperkirakan ada 120 juta orang yang mengalami miskin dan hampir miskin. Ini yang perlu diperhatikan. Maka menurut saya defisit yang di atas tiga persen harus lebih memperhatikan orang ini, baik itu menambah kartu prakerja, BLT atau bansos. Yang penting dalam masa pemberian uang itu, mereka harus dikasih kewajiban, apapun kewajibannya.

Karena kalau tanpa kewajiban seolah mereka akan keenakan dengan bantuan. Misal pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi pajak. Orang yang akan mendapatkan bantuan harus punya NPWP. Ini penting karena ketika ekonomi sudah recovery. Itu dari demand side. Dari supply side jangan dipaksa. Kalau supply side belum dibutuhkan ya gak apa untuk supply side 20 persen aja. Jadi tergantung kebutuhan.

Lalu gimana perusahaan butuhnya apa? Perusahaan misal butuh dana. Kan pemerintah sudah berikan relaksasi untuk perusahaan meski bermasalah dan tidak bisa produksi besar, tapi dia masih bisa menjaga operasional perusahaan boleh minjem. Mungkin tahun depan pertengahan, itu baru geliat kredit akan tumbuh tapi bukan ekspansi tapi daya tahan perusahaan. Menurut saya ini perlu dilakukan pemerintah dari sisi demand dan supply.

Bagaimana proyeksi Ibu terhadap situasi ekonomi di tahun 2021? Sektor mana saja yang bisa bangkit terlebih dulu?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Calon debitur mengisi berkas pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN di kantor Bank BTN Semarang, Jawa Tengah. IDN Times/Dhana Kencana

2021 menurut saya yang paling hidup terus ya dari mulai pandemik sampai ke depan tuh udah pasti pertama itu perbankan, itu juga masih positif terus. Kemudian pasti informasi dan telekomunikasi yaitu infokom. Karena dengan era seperti ini kita sudah terbiasa akhirnya apapun menggunakan digital termasuk membeli barang dan jasa ya.

Nah kemudian yang ketiga, yang sekarang juga menjadi tren adalah kesehatan. Orang yang tadinya tidak care kesehatan sekarang jadi tiba-tiba care terhadap kesehatan. Jadi sektor kesehatan dan turunannya itu akan menjadi positif terus ya. Meski ada unit ada kerja yag mengatakan itu tidak hijau, itu karena mereka tidak melayani dengan baik. Contohnya rumah sakit. Rumah sakit sekarang orang takut. Kalau mereka tidak jemput bola atau drive thru pasti dia mati rumah sakitnya. Jadi menurut saya perlu ada inovatif dan kreatif dalam hal sektor yang hijau tadi.

Keempat sektor yang sebenarnya juga cepat pulih itu adalah sebenarnya pariwisata, leisure. Kenapa? Karena masyarakat Indonesia ini sudah menjadikan pariwisata itu adalah kebutuhan pokok. Jadi itu yang paling cepat. Kemudian sektor keuangan mereka masih moderat, di tengah-tengah. Artinya mereka bertahan tapi keuntungan mereka masih akan turun ya. Jadi ini dibutuhkan daya tahan dan permodalan yang cukup yang terutama adalah perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan.

Yang merah ya, itu zona merah tuh artinya masih berat seperti sektor pertambangan. Kenapa? Karena harga tambang itu masih rendah, jadi investasinya besar tapi harganya rendah maka tentunya orang tidak akan ekspansi. Yang kedua mungkin otomotif. Otomotif itu karena sekarang banyak pembiayaan yang direstrukturisasi, permintaan akan mobil atau motor naik tapi naik relatif rendah, jadi agak berat. Yang ketiga ada properti, properti itu sekarang harga berapa pun susah untuk menjual, jadi ada supply ada demand. Demand pengen harga murah tapi yang jual pengen harga mahal. Jadi ini yang membuat properti juga agak lambat ya, jadi dia kayaknya masih zonanya masih merah dan masuk zona moderat.

Baca Juga: Indonesia Segera Alami Resesi, Apa Dampaknya bagi Kita?

Apa keunggulan yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan ekonomi di regional ASEAN untuk pemulihan ekonomi?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Jokowi memimpin rapat terbatas pada Selasa (22/9/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Keunggulan mungkin cuma pasar. Karena 60 persen pasar di ASEAN itu di Indonesia. Jadi orang kalau lihat Indonesia cuma lihat pasarnya. Oleh karena itu, karena kita bagus dari sisi pasar harusnya usahawan domestik melihat pasar itu sebagai suatu yang dipenuhi sendiri. Kalau sekarang ini kan justru investor asing yang banyak mau mengambil pasar Indonesia. Itu kita kurang melihat pasar di domestik sendiri. Selalu berkaca pada ekspor, padahal dalam negeri sangat besar.

Kedua, kalau dari sisi sektor yang ekspor terbesar tuh baru, peluangnya ya hanya CPO (crude palm oil) dan batu bara. Menurut saya ke depannya, potensi terbesar itu di pariwisata. Dan ketika sebelum pandemik kita mengalami peningkatan pariwisata hanya memang pengelolaan pariwisata kita belum baik. Belum terjadi koordinasi transportasi dengan akomodasi ke tempat- tempat wisata- wisata itu sendiri. Ini harus dilakukan perbaikan di dalam ekosistem pariwisata karena itu akan jadi tren, bukan hanya pasar domestik tapi pasar Asia.

Jadi ke depan pasarnya bukan lagi dari negara maju tapi dari Asia, terutama China, Jepang, Korea, itu akan jadi market khususnya di pariwisata. Kita punya potensi lain yaitu industri hulu dan industri intermediate. Karena di hulu banyak sekali tapi ini belum digarap. Di hulu banyak impor dari luar padahal sebenarnya industri di dalam bisa memenuhi kebutuhannya. Kenapa tidak terjadi? Yaitu masalah ekosistem, insentif, yang buat mereka tidak perlu dari sini, diambil dari luar. Jadi sebenarnya dari sisi pasar dan industri kita punya keunggulan tapi belum digarap secara baik.

Seberapa penting pemulihan ekonomi di negara mitra berpengaruh terhadap ekonomi RI? Spesifik di negara mana saja?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ilustrasi ekspor. (IDN Times/Arief Rahmat)

Ini ada plus-minusnya. Karena Indonesia ekspor sedikit jadi kalau krisis itu pengaruh nggak terlalu besar. Tapi menurut saya ke depan kalau mengarah ke ekspor yang lebih baik, apalagi era ke depan government to government, jadi era barter akan terjadi. Kenapa? Karena dengan era Trump, kita melihat bahwa negara tidak lagi kembali ke arah liberalisasi, tapi dengan adanya krisis ini mereka mulai mengarah pada kompetitif lagi. Sehingga akhirnya government to government akan menguntungkan kita ke negara- negara berkembang.

Apalagi negara berkembang banyak mengarah sistem syariah dan halal. Timur Tengah misalnya, kemudian Afrika itu jadi pasar baru buat Indonesia. Jadi potensi pasar baru sangat banyak tetapi problem kita belum mempersiapkan ekspor yang cukup sehingga kita bisa menutup devisa kita dari hasil ekspor.

Kalau sekarang devisa kita lebih tergantung pada investor asing yang menempatkan dana pada jangka pendek, bukan jangka panjang. Dan ini berbahaya, karena jangka pendek itu dananya hari ini mereka bisa masuk, ketika punya untung dia keluar. Akibatnya fluktuasi nilai tukar kita menjadi sangat volatile. Akibatnya korbannya adalah pengusaha karena harga menjadi tidak pasti.

Kedua akhirnya harga jadi mahal, terjadi inflasi akibatnya masyarakat kita pendapatan naik cuma nol sampai dua persen tapi inflasi bisa lebih dari itu. Oleh karena itu kalau dikatakan seberapa penting, menurut saya belum besar sekali. Tapi ke depan potensi kita besar dari sisi ekspor. Dari sisi ekspor kita belum punya mitra yang cukup banyak.

Adakah organisasi, lembaga atau infrastruktur krusial yang harus dibangun untuk mengantisipasi krisis serupa di masa depan?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Acara peresmian Jalan Tol Pekanbaru-Minas di Istana Kepresidenan pada Jumat (25/9/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Menurut saya gini kan yang namanya infrastruktur itu mengikuti demografi juga mengikuti bisnis gitu ya. Jadi harus ada integrated antara infrastruktur yang satu dengan yang lainnya. Nah problem kita setelah era otonomi daerah itu seringkali adalah hubungan pusat dan daerah hanya hubungan keuangan. Jadi masing-masing daerah itu semaunya aja bikin infrastruktur, akhirnya tidak terjadinya konektivitas. Akibatnya biaya transportasi jadi mahal ya kan, akhirnya bikin proyek-proyek yang sebenarnya enggak berguna, ini yang menurut saya harus kita mulai perbaiki khususnya di Bappenas.

Walaupun kita punya yang namanya gitu semacam GBHN atau PJP ya Pembangunan Jangka Panjang, tapi harus tetap terintegrasi khususnya di kabupaten kota dan provinsi. Saya melihat kelemahan kita sekarang, adalah otonominya udah kebablasan, akibatnya infrastruktur yang dibangun tidak terkoneksi sama sekali ya.

Misalnya antar kabupaten saja itu kalau mobil lewat aja udah dikenakan biaya setiap kabupaten. Harusnya ada integrated bagaimana mereka membangun misalnya BUMD bersama, sehingga antar daerah ini nanti bisa bagi hasil dalam satu kesatuan itu ini nggak masing-masing BUMD pengen bikin sendiri akibatnya apa masyarakat kena biayanya nanti banyak, biay tidak kompetitif. 

Jadi kalau Anda mau tanya gimana pembangunan infrastruktur, menurut saya harus terintegrasi bisa sesuaikan dengan tujuan pemerintah ke depan mau apa.

Menurut ibu apakah vaksin dan imunisasi massal ini krusial untuk pemulihan nasional?

[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani Ilustrasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Sangat, ya karena kalau melihat saat ini, sekarang sudah banyak melakukan tapi karena sampelnya masih terlalu sedikit maka terjadilah seperti sekarang, kita harus PSBB kedua kali bahkan sekarang diikuti oleh Banten. Banten juga udah mulai PSBB lagi. Nah ini akhirnya apa merugikan ekonomi karena ekonomi baru tunggu sebentar mati lagi itu.

Oleh karena itu sekarang ini penting sekali bicara tentang vaksin. Jadi kalau mau saya negara lain aja udah bayar DP dapatnya baru dua tahun gitu ya apalagi kalau kita belum bayar DP,  jangan-jangan kita nggak. Jadi menurut saya penting sekali vaksin itu dilakukan ya. Kalau sudah 50 persen penduduk jadi kalau penduduk kita sekitar 270 juta, jadi harus 135 juta dulu itu selesai baru kita recovery ekonomi akan lebih baik lagi.

Baca Juga: Bank Dunia Prediksi Ekonomi Indonesia Bisa Minus 2 Persen di 2020

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya