7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL 

UU Ciptaker dinilai mengancam sumber daya kelautan

Jakarta, IDN Times - UU Cipta Kerja dinilai berdampak negatif pada sektor kelautan. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL), UU tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Selain itu, substansinya dapat mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan.

"Pembentukan undang-undang ini dilakukan secara tergesa-gesa dengan partisipasi publik yang minimal, baik di tahap penyusunan maupun pembahasan. Padahal, undang-undang ini mengatur banyak sekali aspek yang akan mempengaruhi kehidupan banyak orang," ungkap perwakilan KORAL, Susan Herawati dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/10/2020).

1. Sentralisasi kewenangan dapat mengurangi kontrol terhadap tingkat eksploitasi

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Ilustrasi nelayan (IDN Times/Surya Aditya)

Susan menjelaskan sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Selain itu, melemahkan esensi otonomi daerah. Di sektor perikanan, contohnya, kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada menteri berpindah ke pemerintah pusat yang dipimpin oleh presiden.

"Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan perikanan. UU Cipta Kerja jelas tidak memberikan kepastian siapa atau lembaga apa (dalam ranah pemerintah pusat) yang akan memegang kewenangan ini," jelasnya.

Selain itu, pemindahan kewenangan perizinan juga dapat mengurangi fungsi kontrol yang mencegah terjadinya eksploitasi berlebih. Sentralisasi kewenangan perizinan ke pemerintah pusat juga akan mempersulit aksesibilitas pelaku usaha di daerah yang sebelumnya dapat mengurus perizinan di daerah masing-masing.

"Jika tidak didukung dengan good governance, kewenangan yang sangat besar di pemerintah pusat berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang," ungkap Susan.

Baca Juga: Menteri KKP Klaim UU Ciptaker Untungkan Nelayan 

2. Perizinan disederhanakan untuk kepentingan investor dan pelaku usaha besar

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Ilustrasi Investasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Dampak negatif lainnya, simplifikasi perizinan yang diatur oleh UU Cipta Kerja dapat mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Hingga saat ini, pemerintah telah menetapkan 15 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) demi mendukung investasi, dan bila dipadukan dengan UU Cipta Kerja, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) menjadi ancaman nyata.

"Perubahan membuat perizinan berusaha hanya diwajibkan untuk usaha tertentu, yakni yang dianggap berdampak tinggi. Padahal, penentuan usaha apa saja yang dinilai berdampak tinggi tersebut itu sendiri masih dipertanyakan keakuratannya," katanya.

Selanjutnya, perubahan yang tidak kalah merugikan adalah beralihnya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan yang berpotensi mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan. Perubahan lainnya adalah izin lingkungan yang diubah menjadi persetujuan lingkungan. Hal itu akan mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan. 

3. Kapal asing dapat menangkap ikan di ZEE Indonesia

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Kapal Coast Guard China-5202 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia, utara Pulau Natuna. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Kemudian, terdapat indikasi bahwa operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pascapengesahan RUU Cipta Kerja. UU tersebut mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi menghapuskan kewajiban penggunaan ABK Indonesia sebanyak 70 persen per kapal.

"Padahal, sumber daya perikanan di Indonesia seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai amanat dari Pasal 33 (3) UUD 1945," jelasnya.

4. Pendekatan berbasis risiko rentan bersifat subjektif

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Sampan dua orang nelayan kehabisan bahan bakar. Dok. Humas Basarnas Bali

Susan mengatakan perubahan sistem perizinan menjadi risk-based approach (pendekatan berbasis risiko) tidak didukung dengan penentuan kelembagaan dan metodologi yang jelas dan kredibel. Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga yang dapat dianggap siap dan berpengalaman untuk melakukan penentuan risiko secara holistik. Terlebih lagi, database di Indonesia belum dapat mendukung efektivitas risk-based approach. Sehingga, penentuan risiko dikhawatirkan dapat bersifat subjektif.

"Dampaknya, kegiatan usaha yang tidak dianggap berisiko tinggi tidak diwajibkan untuk memiliki izin. Jika penentuan risiko tidak akurat, tentunya dapat berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia," kata dia.

5. Penghapusan Komnas KAJISKAN rentan menimbulkan intervensi

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Masyarakat nelayan dan perempuan Kodingareng berjuang menghentikan penambangan pasir di wilayah tangkapan ikan. IDN Times/ASP

Kelima, Penghapusan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peran sains dalam pertimbangan perumusan kebijakan. Komnas KAJISKAN merupakan lembaga independen yang berwenang mengkaji potensi perikanan di Indonesia secara ilmiah.

Tanpa lembaga tersebut, penentuan potensi dapat diintervensi oleh kepentingan politik dan hasil kajian tidak kredibel. Akibatnya, pengelolaan dan eksploitasi perikanan berlebih akan semakin tidak terkendali.

"Padahal saat ini pemerintah melalui Kepmen-KP 50/2017 menyatakan bahwa sebagian perikanan utama Indonesia telah mengalami overfishing," jelasnya.

Baca Juga: Jokowi Minta Menterinya Dorong Petani dan Nelayan Bentuk Badan Usaha

6. Ada potensi pencurian hak-hak nelayan kecil

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Ilustrasi kapal nelayan asing yang ditangkap oleh Polair di Batam (ANTARA FOTO/M N Kanwa)

Kemudian, perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil. Dengan definisi yang tidak jelas, nelayan-nelayan yang sekarang tidak tergolong sebagai nelayan kecil bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti subsidi nelayan kecil, dan area tangkap dekat pantai.

"Pada akhirnya penghapusan ukuran kapal sebagai indikator definisi nelayan kecil menciptakan persaingan yang tidak adil," ungkap Susan.

7. Partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan minim

7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja pada Sektor Kelautan versi KORAL Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulsel, Jumat (27/4/2012). (ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang)

Terakhir, UU Cipta Kerja juga meminimalisasi partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir. Pelibatan masyarakat pada tahap penyusunan AMDAL dibatasi, dan Komisi Penilai AMDAL yang bersifat multistakeholder dihapuskan. Implikasinya, pemanfaatan wilayah pesisir berpotensi mengesampingkan pertimbangan nasib masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir. 

"Berlakunya UU Cipta Kerja membuka peluang eksploitasi berlebih sumber daya kelautan, yang akhirnya akan membuat nelayan kecil dan tradisional merugi dan terpinggirkan serta mempercepat kerusakan ekosistem pesisir dan kekayaan laut," kata Susan.

Baca Juga: Menteri KKP Edhy Prabowo Bangun 3 Model Bisnis Perikanan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya