Data Pangan Berpolemik, Ini 3 Rekomendasi untuk Presiden Terpilih
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Presiden terpilih diminta untuk memprioritaskan stabilitas dan ketahanan pangan dalam 100 hari pertama masa kepemimpinan. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan perlu diatasi dengan kebijakan yang tepat.
"Isu pangan adalah salah satu hal yang menjadi perhatian dalam mengukur kinerja pemerintah," ungkap Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman.
1. Data pangan masih menjadi polemik
Ilman menyampaikan, ada tiga poin utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah terpilih pada 100 hari pertama terkait kebijakan pangan. Ketiga poin itu adalah perbaikan data pangan, penurunan biaya produksi tanaman pangan, dan kelancaran distribusi pangan dari daerah produksi ke pasar.
Menurut Ilman, data pangan selama ini menjadi polemik karena berperan dalam jumlah komoditas pangan yang diimpor. Jika data pangan tidak dapat diandalkan, lanjutnya, dikhawatirkan Indonesia impor pangan terlalu banyak atau terlalu sedikit.
"Jumlah impor yang tidak tepat ini akan memengaruhi harga di pasaran dan berpengaruh kepada kehidupan petani lokal dan masyarakat," ungkapnya.
2. Perbaikan data komoditas jagung perlu diprioritaskan
Sampai saat ini, lanjut Ilman, baru data beras yang sudah dilakukan perbaikan pada Oktober 2018 lalu. Hasil dari perbaikan metode pengambilan data yang lebih baik menghasilkan jumlah beras yang diproduksi dianggap lebih akurat.
Menurut Ilman, komoditas yang selanjutnya sebaiknya diprioritaskan untuk perbaikan data adalah komoditas jagung. Jagung berperan penting untuk biaya produksi industri peternakan unggas karena perannya sebagai pakan.
"Jika jagung yang ada di pasaran tidak mencukupi dan tidak sesuai kondisi yang diharapkan industri, tentunya harga pakan akan semakin mahal sehingga berimbas pada naiknya harga daging ayam dan telur," ungkapnya.
Ilman menambahkan, biaya pakan berkontribusi pada 50-60 persen seluruh biaya produksi yang ada di industri peternakan unggas. Oleh sebab itu, data jagung penting untuk diukur lebih akurat agar menghasilkan angka yang tepat untuk perumusan kebijakan.
Baca Juga: Turut Tentukan Impor Beras, Data Pangan Perlu Diperbaiki
3. Komoditas pangan di Indonesia lebih mahal dibandingkan harga internasional
Editor’s picks
Terkait penurunan biaya produksi tanaman pangan, kata Ilman, harga beberapa komoditas pangan di Indonesia relatif mahal dibandingkan dengan harga di tingkat internasional. Harga daging sapi internasional rata-rata berada di kisaran Rp60 ribu/kg, sedangkan di Indonesia harganya bisa mencapai Rp80 ribu-Rp120 ribu/kg.
Harga gula juga terpaut jauh. Di tingkat internasional harga gula hanya sekitar Rp4 ribu - Rp5 ribu/kg, sedangkan harga di tingkat lokal mencapai Rp12 ribu-Rp14 ribu/kg.
"Semua ini rata-rata pada 2017-2018 yang lalu. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah biaya produksi yang cukup mahal," kata Ilman.
4. Pemerintah perlu mendukung industri gula
Menurut Ilman, peran pemerintah untuk memulai menggalakan program subsidi melalui skema Kartu Tani patut diapresiasi. Namun, kata dia, sebaiknya hal ini lebih tepat ditujukan ke berbagai jenis pelaku industri jenis pangan lainnya.
"Tentunya dengan penyesuaian kebutuhan sektor masing-masing. Fokus Kartu Tani adalah subsidi pupuk yang lebih tertarget dan sejauh ini pelaksanaannya cukup lancar," kata dia.
Selain itu, dukungan pemerintah juga perlu diarahkan ke industri gula yang memiliki berbagai kendala teknis. Sebab, rata-rata usia pabrik sudah tua sehingga tidak cost-efficient dalam memproduksi gula.
"Perlu diketahui, sekitar 65 persen pabrik gula di Indonesia berusia di atas 100 tahun apabila mengacu pada informasi yang pernah disampaikan Kementerian Perdagangan," ungkapnya.
5. Distribusi pangan masih terkendala birokrasi
Ilman mengatakan, pemerintah juga perlu mendorong kelancaran distribusi pangan dari daerah produksi ke pasar. Hingga saat ini, masih ditemukan kendala dalam distribusi pangan. Berkaca pada keputusan impor bawang putih yang perizinannya sangat mepet dengan bulan Ramadan, menandakan kendala birokrasi yang perlu diatasi agar flow barang masuk juga lancar demi menjaga kestabilan harga.
"Tentunya impor perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai petani lokal dan juga konsumen. Dalam hal ini, timing impor perlu diperhatikan agar tidak ada hambatan yang berarti. Regulasi yang ada perlu ditinjau ulang dan juga lebih transparan agar tidak perlu timbul pertanyaan mengenai kejelasan tindakan impor yang akan diambil pemerintah," tutur Ilman.
Baca Juga: Kabar Gembira! Ekspor Komoditas Pertanian Indonesia Terus Mengalir