DBS Group Research Luncurkan Penelitian Kelemahan Ekonomi Indonesia

Kebijakan sektor riil perlu dilakukan

Jakarta, IDN Times - DBS Group Research meluncurkan hasil penelitian mengenai kelemahan ekonomi Indonesia dan cara mengatasinya. Ekonom Bank DBS Indonesia, Masyita Crystallin mengungkapkan Indonesia mencatat pertumbuhan stabil sebesar 5 persen pada triwulan kedua 2019. Hal itu bertolak belakang dengan tren pertumbuhan menurun di negara lain.

"Penggerak utama pertumbuhan pada triwulan kedua 2019 adalah konsumsi masyarakat maupun swasta. Total konsumsi tumbuh sebesar 5,7 persen (jauh di atas rata-rata total konsumsi selama lima tahun terakhir, yang sebesar 4,8 persen). Konsumsi lembaga swasta dan nirlaba tumbuh 5,2 persen dan konsumsi pemerintah tumbuh 8,2 persen," ujar Masyita dalam keterangan tertulis.

1. Risiko terhadap neraca perdagangan masih negatif

DBS Group Research Luncurkan Penelitian Kelemahan Ekonomi IndonesiaIDN Times/Arief Rahmat

Sementara, pertumbuhan investasi menurun menjadi 5 persen pada triwulan kedua 2019 (dari 6,9 persen pada paruh pertama 2018). Menurut Masyita, fokus pemerintah dalam bidang infrastruktur masih dapat mendukung pertumbuhan investasi meskipun tidak sekuat tahun lalu. Indeks Pembelian Manufaktur (Purchasing Manufacturing Index, PMI) terbaru masih menunjukkan wilayah ekspansi di angka 52,1.

"Dalam pandangan kami, risiko terhadap neraca perdagangan masih negatif, dipicu oleh berlanjutnya ketegangan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina serta depresiasi yuan Cina," kata Masyita.

Masyita menjelaskan, impor melambat dalam beberapa bulan terakhir. Namun, penurunan ekspor dapat berlanjut untuk beberapa waktu ke depan.

"Selain itu, tidak seperti negara lain, yakni Vietnam dan Taiwan, Indonesia belum memperoleh manfaat dari pergeseran produksi yang disebabkan oleh perang dagang," jelasnya.

Baca Juga: BI Yakin Pertumbuhan Ekonomi Semester II Akan Lebih Baik, Kenapa?

2. Defisit perdagangan disebabkan oleh faktor eksternal

DBS Group Research Luncurkan Penelitian Kelemahan Ekonomi IndonesiaIDN Times/Prayugo Utomo

Defisit perdagangan yang melebar pada paruh kedua 2019, kata Masyita, lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu memburuknya ketentuan perdagangan (terms-of-trade), bukan disebabkan oleh volume.

Volume ekspor (dalam hitungan tahunan danmoving average 3 bulanan, YoY 3mma) lebih tinggi daripada impor. Defisit yang semakin melebar kemungkinan akibat volume impor tumbuh lebih cepat daripada ekspor karena pembangunan infrastruktur terus berlanjut.

"Dalam pandangan kami, meskipun sektor eksternal melambat, pertumbuhan Indonesia masih dapat bertahan sebesar 5,0 persen sesuai dengan potensinya," katanya.

Menurut dia, dorongan yang timbul seusai Pemilu melalui pertumbuhan investasi lebih tinggi bisa menjadi faktor penting. Pihaknya melakukan analisis sederhana yang menilai empat pemilihan demokratis di era reformasi (1999, 2004, 2009 dan 2014).

"Kami menghitung rata-rata dan pita deviasi standar 1 (1-standard-deviation bands) di antara rata-rata variabel yang diteliti," ujar Masyita.

Secara rata-rata, pertumbuhan melambat selama dua triwulan sebelum Pemilu dan menguat rata-rata sebesar 0,7 persen dalam dua triwulan berikutnya. Jika tren sama berlanjut tahun ini, katanya, dia masih berpendapat tingkat pertumbuhan bisa tetap berada di atas 5,0 persen pada tahun ini.

3. Tingkat konsumsi meningkat sebelum Pemilu

DBS Group Research Luncurkan Penelitian Kelemahan Ekonomi IndonesiaIDN Times/Feny Maulia Agustin

Selain itu, kata Masyita, studi DBS Group Research tentang peristiwa (event study) juga menunjukkan konsumsi meningkat sebelum Pemilu dan kembali normal setelahnya. Investasi tumbuh lebih lambat sebelum Pemilu dan kembali meningkat setelahnya karena perilaku menunggu mereda. Secara rata-rata, investasi meningkat 0,6 persen, t + 2 setelah Pemilu.

"Selain itu, tuas fiskal dapat menjaga momentum pertumbuhan. Secara keseluruhan, posisi fiskal sedikit lebih ekspansif pada paruh pertama 2019 jika dibandingkan dengan paruh pertama 2018," katanya.

Hal itu bisa diukur dari keseimbangan primer, yang semula negatif berubah menjadi positif pada paruh pertama 2018. Namun, dibandingkan dengan paruh pertama 2017, posisi fiskal dinilai lebih ekspansif pada 2018 dan 2019.

"Oleh karena itu, kami berpendapat kebijakan fiskal masih memiliki ruang untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan pada tahun ini," ungkap Masyita.

4. Defisit transaksi berjalan memburuk hingga 3 persen

DBS Group Research Luncurkan Penelitian Kelemahan Ekonomi IndonesiaIDN Times/Arief Rahmat

Bank Indonesia telah menekankan ada ruang bagi kebijakan moneter lebih akomodatif untuk mendukung pertumbuhan setelah pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan lalu. Namun, hal tersebut tidak akan memberikan dampak secara langsung terhadap pertumbuhan tahun ini karena keterlambatan transmisi kebijakan moneter.

"Likuiditas domestik yang lebih ketat, dan penetapan kembali suku bunga (repricing), dan jeda selama 6 bulan antara penetapan kembali suku bunga pinjaman dan deposito, dapat membatasi efektivitas saluran suku bunga terhadap kredit sehingga mempengaruhi pertumbuhan," jelasnya.

Sementara, Defisit transaksi berjalan (CAD) pada triwulan kedua 2019 memburuk hingga mencapai 3 persen dari PDB dibandingkan dengan 2,6 persen dari PDB pada triwulan pertama 2019. Hal itu disebabkan repatriasi dividen musiman, pembayaran pinjaman luar negeri dan penurunan ekspor.

Dengan pelebaran CAD dan ketegangan perang mata uang, yang tengah berlangsung, Bank Indonesia (BI) akan tetap berhati-hati dalam melakukan penurunan suku bunga lebih lanjut. 

"Kami berharap besarnya pemotongan suku bunga akan hampir sama sebagaimana kebijakan Bank Sentral AS sehingga dapat mempertahankan perbedaan tingkat suku bunga," kata Masyita.

Baca Juga: Pemerintah Ajukan RAPBN 2020, Begini Asumsi Ekonomi Makro Indonesia

5. Kebijakan sektor riil perlu dilakukan

DBS Group Research Luncurkan Penelitian Kelemahan Ekonomi IndonesiaDok.IDN Times/Istimewa

Setelah ledakan komoditas berakhir pada 2013, CAD melebar secara signifikan selama ekspansi pertumbuhan. Dalam 2 tahun terakhir, pertumbuhan, yang berada di atas 5,1 persen menyebabkan defisit sebesar -7,4 miliar dolar AS (jika dibandingkan dengan defisit sebesar -4,7 miliar dolar AS untuk pertumbuhan di bawah 5,1 persen) dalam tiga tahun terakhir.

Guna mengurangi kecenderungan akibat CAD tersebut, kebijakan sektor riil perlu mengejar ketertinggalan ini melalui kebijakan di sisi permintaan (baik moneter maupun fiskal).

"Kebijakan sektor riil ini termasuk menindaklanjuti reformasi struktural, yang bertujuan untuk menurunkan biaya logistik, meningkatkan kemudahan dalam berbisnis, merealisasikan undang-undang ketenagakerjaan ramah bisnis, serta pengembangan industri berorientasi ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi," jelas Masyita.

Baca Juga: Perekonomian Indonesia Melambat, Mengapa?

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya