Hambat Produktivitas, Skema Distribusi Pupuk Bersubsidi Perlu Ditinjau

Harga pupuk non subsidi tidak bisa menjangkau petani miskin

Jakarta, IDN Times - Pemerintah dinilai perlu meninjau ulang skema distribusi pupuk bersubsidi. Sebab, masih banyak ditemukan permasalahan seputar distribusi. Hal itu dikhawatirkan mengganggu produktivitas sektor pertanian.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, beberapa masalah yang sering dialami pada pupuk bersubsidi antara lain kelangkaan, terlambatnya distribusi pupuk, dan subsidi tidak tepat sasaran. Menurut dia, hal itu menyebabkan hasil panen tidak maksimal dan menghambat produktivitas petani.

“Masalah pada distribusi pupuk bersubsidi ini tidak jarang membuat pupuk bersubsidi tidak tersedia saat dibutuhkan petani. Mereka kesulitan karena tidak memiliki pilihan lain. Mau tidak mau, akhirnya mereka menggunakan pupuk non subsidi yang harganya berbeda cukup jauh dengan pupuk subsidi,” jelas Galuh dalam keterangannya, Rabu (13/11).

1. Harga pupuk bersubsidi jauh lebih murah dibanding yang non subsidi

Hambat Produktivitas, Skema Distribusi Pupuk Bersubsidi Perlu DitinjauIDN Times/Kementan

Galuh menjelaskan, pupuk bersubsidi memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan pupuk non subsidi. Saat ini harga pupuk bersubsidi, baik Urea, NPK dan merek lainnya sekitar Rp2.000 per kilogram. Sementara, harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp8.000 hingga Rp12.000 per kilogram. 

"Perbedaan harga yang sangat tinggi ini terjadi karena pupuk non subsidi, terutama yang diproduksi perusahaan merupakan produk impor," jelasnya.

Baca Juga: Yuk Kenali, Ini Perbedaan 5 Jenis Pupuk Organik untuk Tanaman

2. Petani tak bisa membeli pupuk non subsidi karena harga tak terjangkau

Hambat Produktivitas, Skema Distribusi Pupuk Bersubsidi Perlu DitinjauDok.Kementan

Menurut Galuh, perbedaan harga tersebut membuat pilihan petani menjadi semakin terbatas. Petani yang punya modal besar, lanjut Galuh, kemungkinan besar akan sanggup membeli pupuk non subsidi. Sementara, mereka yang tidak memiliki modal atau hanya bermodal seadanya akan kesulitan membeli pupuk non subsidi lantaran harganya yang tidak terjangkau bagi mereka.

"Pupuk yang disubsidi pemerintah saat ini diproduksi oleh perusahaan BUMN. Saat pupuk bersubsidi bermasalah (kelangkaan, terlambatnya distribusi pupuk dan lain-lain), alternatif yang dimiliki oleh petani adalah membeli pupuk non subsidi yang diproduksi oleh BUMN maupun swasta yang harganya jauh lebih mahal karena tidak disubsidi oleh pemerintah," katanya.

3. Skema subsidi pupuk dapat dialihkan melalui kartu petani

Hambat Produktivitas, Skema Distribusi Pupuk Bersubsidi Perlu DitinjauDok.Kementan

Galuh lantas menyarankan perubahan pada skema subsidi pupuk agar tidak terpaku pada subsidi produk tertentu. Subsidi dapat dialihkan kepada petani melalui kartu tani. Kartu tani dapat digunakan untuk membelanjakan pupuk yang selama ini termasuk dalam kategori pupuk non subsidi dengan subsidi yang ada di kartu tani tersebut. Dengan subsidi dialihkan ke kartu tani, petani dapat membeli pupuk dari produsen swasta dengan potongan harga dari subsidi pada kartu tani tersebut.

“Penerapan skema ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi buatan perusahaan pupuk BUMN. Para petani dapat memiliki alternatif selain produk-produk subsidi buatan perusahaan pupuk BUMN untuk memenuhi kebutuhan pupuknya. Skema ini juga dapat memberikan kebebasan petani untuk membeli saprotan (sarana produksi pertanian) yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” urai Galuh.

4. Pemerintah perlu membenahi data penerima pupuk subsidi

Hambat Produktivitas, Skema Distribusi Pupuk Bersubsidi Perlu DitinjauIDN Times/Kementan

Berdasarkan data dari Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), total konsumsi pupuk di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 11,1 juta ton yang merupakan gabungan dari pupuk bersubdisi dan non subsidi. Jumlah tersebut terdiri dari konsumsi pupuk Urea sebesar 5,9 juta ton dan pupuk NPK sebesar 2,5 juta ton yang kemudian diikuti dengan pupuk ZA sebesar 900 ribu ton, pupuk SP-36 sebesar 800 ribu ton dan pupuk organik sebesar 680 ribu ton.

Indonesia sudah mengeluarkan anggaran senilai Rp 52,2 triliun untuk subsidi pertanian. Berdasarkan penelitian CIPS, subsidi dengan nilai fantastis ini juga dinilai tidak efektif oleh petani. Misalnya saja subsidi pupuk. Pada kenyataannya, subsidi ini lebih banyak dinikmati oleh petani kaya yang memiliki memiliki lahan antara 0,75 sampai 2 hektar. 

"Padahal sasaran utama dari subsidi pertanian adalah para petani miskin. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu membenahi data penerima pupuk subsidi supaya bantuan ini tepat sasaran dan mampu meningkatkan produktivitas petani," kata Galuh.

 

Baca Juga: BUMN Pupuk Petrokimia Gresik Cetak Rekor Laba Tertinggi Sejak Berdiri

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya