Hasil Pertanian Menurun Imbas COVID-19, Pemerintah Harus Ambil Langkah

Minimnya pasokan pangan memicu inflasi

Jakarta, IDN Times - Pandemik virus corona berdampak serius pada sektor pangan, salah satunya adalah menurunnya hasil produksi pertanian domestik. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, menurunnya hasil produksi pertanian domestik membahayakan kebutuhan masyarakat di dalam negeri.

"Selain itu, pandemik COVID-19 juga dapat menyebabkan berkurangnya pekerja di sektor pertanian sekitar 1 persen hingga 4,87 persen dan menurunnya investasi di sektor pertanian sebanyak 2 persen hingga 3,7 persen," ungkap Felippa dalam keterangannya, Minggu (5/4).

1. Hasil produksi pertanian nasional tidak mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat

Hasil Pertanian Menurun Imbas COVID-19, Pemerintah Harus Ambil LangkahPertanian sayur mayur milik petani PPU (IDN Times/ Ervan Masbanjar)

Menurut Felippa, akibat dari COVID-19 pada sektor pangan bukan hanya disebabkan oleh rantai distribusi yang tidak efektif dan efisien. Produksi yang melemah yang tidak memungkinkan permintaan dipenuhi sebatas melalui produksi domestik juga jadi salah satu faktor.

“Sebelum pandemi COVID-19, hasil produksi pertanian nasional memang tidak mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Impor menjadi satu tindakan yang mutlak diperlukan untuk menjaga kestabilan harga komoditas pangan. Pemerintah sudah tentu harus mengutamakan kebijakan yang fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, termasuk pangan,” jelas Felippa.

Baca Juga: Harga Emas hingga Telur Ayam Picu Inflasi Maret 2020

2. Pandemi COVID-19 mendisrupsi rantai pasok pangan

Hasil Pertanian Menurun Imbas COVID-19, Pemerintah Harus Ambil LangkahIDN Times/Sunariyah

Felippa menambahkan, wacana lockdown atau karantina wilayah yang sempat bergaung menambah kekhawatiran masyarakat akan terjaminnya ketersediaan komoditas pangan di pasar. Implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dapat diperluas sewaktu-waktu juga semakin mempersempit ruang gerak masyarakat. Hal ini, lanjut Felippa, dapat memicu semakin langkanya komoditas pangan di pasar.

“Berita baiknya, April dan Mei adalah masa panen raya sehingga stok aman hingga sekitar Mei. Berita buruknya, kita tidak tahu pandemi ini akan berlangsung sampai kapan. Semakin lama pandemi ini berlangsung, semakin luas penyebarannya dan juga semakin luasnya implementasi PSBB, maka disrupsi rantai pasok pangan juga akan semakin besar. Salah satunya karena tenaga kerja berkurang dan fasilitas terganggu,” jelas Felippa.

3. Minimnya pasokan pangan memicu inflasi

Hasil Pertanian Menurun Imbas COVID-19, Pemerintah Harus Ambil LangkahIDN Times/Sunariyah

Selain itu, kata dia, kekurangan ketersediaan pangan bisa memicu inflasi harga yang dapat menimbulkan keresahan sosial dan menghambat upaya pengendalian pandemi ini. Inflasi pada produk pertanian terjadi akibat permintaan rumah tangga yang meningkat yang tidak sejalan dengan suplai di pasar. Berdasarkan Indeks Bulanan Rumah Tangga (BURT) yang dikeluarkan CIPS, harga-harga komoditas pangan, seperti gula, bawang putih dan bawang bombay sudah mengalami peningkatan sejak sebelum pandemi COVID-19 terkonfirmasi sampai di Indonesia.

“Tingginya harga komoditas pangan ini tentunya paling berdampak pada keluarga kurang mampu, apalagi yang sumber penghasilannya jadi terhenti akibat pandemi COVID-19. Keluarga yang paling rentan bisa menghabiskan hingga 60 persen dari pendapatan mereka hanya untuk pangan. Di situasi saat ini, stabilitas harga pangan penting untuk dijaga supaya masyarakat Indonesia bisa terus mengonsumsi makanan bernutrisi untuk meningkatkan imunitas tubuh. Hal ini juga baik untuk menggerakkan konsumsi,” katanya.

4. Langkah strategis pemerintah diperlukan untuk menjamin ketersediaan pangan

Hasil Pertanian Menurun Imbas COVID-19, Pemerintah Harus Ambil LangkahIDN Times/Sunariyah

Felippa mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah strategis secepatnya untuk memastikan ketersediaan pangan, secara akses fisik maupun akses finansial. Salah satunya dengan mengurangi berbagai hambatan perdagangan dan menjaga perdagangan pangan untuk tetap terbuka. Pemerintah juga perlu melakukan diversifikasi sumber impor pangan dari berbagai negara.

Berbagai hambatan perdagangan yang selama ini dihadapi antara lain adalah Surat Pengajuan Impor (SPI), sistem kuota, sistem birokrasi yang tidak sederhana dan memakan waktu lama yang pada akhirnya membuat proses impor menjadi lama.

"Contohnya, proses impor daging sapi membutuhkan waktu perkiraan sekitar 32 hari kerja menurut peraturan. Kenyataannya, proses ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan, seperti yang terjadi pada komoditas gula dan bawang putih," ungkap Felippa.

Baca Juga: BPS Jakarta: Bawang Bombay Mahal dan Langka Picu Inflasi di Ibu Kota

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya