Indonesia Masih Sulit Ambil Manfaat dari Perang Dagang, Ini Sebabnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Indonesia dinilai perlu mempertimbangkan stabilitas geopolitik dan fokus pada kebijakan strategis. Hal itu untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine menilai, Indonesia masih sulit untuk mengambil manfaat dari perang dagang yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Sebab, industri dalam negeri Indonesia tidak dapat menggantikan produk Tiongkok sejak awal.
“Tiongkok adalah salah satu industri terkemuka yang menerapkan otomatisasi dalam memproduksi barang-barang mereka. Produsen di Tiongkok mampu menekan harga serendah mungkin, sementara Indonesia masih kurang dalam bidang-bidang tertentu bahkan kerap kali mengalami trade shock,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/12).
1. Pemilu di Inggris berdampak pada dinamika perekonomian Eropa
Pingkan menjelaskan, faktor yang turut berperan dalam dinamika perekonomian Eropa saat ini adalah pemilihan umum di Inggris pada 12 Desember 2019 lalu. Momen tersebut bertepatan dengan inagurasi Gubernur Bank Sentral Eropa yang baru, yaitu Christine Lagarde.
Selain itu, baru-baru ini juga terdengar kabar dari Gedung Putih kalau pemerintah Amerika Serikat di bawah arahan Presiden Donald Trump akan menindaklanjuti upaya perjanjian perdagangan tahap satu dengan Tiongkok akhir minggu ini.
"Jika benar demikian, perang dagang yang selama ini sudah berlarut-larut dapat segera menemukan titik terang. Kendati, hal ini bukan jaminan perekonomian global akan kembali pulih seutuhnya," kata Pingkan.
Baca Juga: Perang Dagang AS-Tiongkok, BI Minta Pengusaha Jeli
2. Pemilu Amerika Serikat turut memengaruhi pengambilan kebijakan
Pingkan mengatakan, Amerika Serikat akan mengadakan pemilihan umum presiden pada November 2020 mendatang. Menurut dia, hal itu cukup memengaruhi proses pengambilan kebijakan.
Editor’s picks
"Kebijakan yang diambil saat ini oleh Presiden Trump di penghujung masa pemerintahannya terbilang cukup rentan dengan perubahan dan ketidakpastian,” tambah Pingkan.
Perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat sudah mendekati tahun kedua sejak pertama bergulir sejak 2018. Kondisi perekonomian global pun terkena imbas dengan perlambatan yang terjadi. Saat ini pertumbuhan ekonomi dunia masih stagnan di level 3 persen berdasarkan data yang dirilis oleh IMF. Indonesia diperkirakan akan menutup tahun 2019 dengan pertumbuhan ekonomi di level 5 persen.
3. Omnibus law butuh keseriusan semua pihak
Hingga saat ini, pemerintah masih menyiapkan RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) untuk merivisi 82 undang-undang (UU) dan 1.194 pasal yang akan diselaraskan. Regulasi ini nantinya akan mencakup setidaknya sebelas klaster yang mendorong faktor-faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti penyederhaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM.
Regulasi ini juga akan mencakup kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan saksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah serta kawasan ekonomi. Implementasinya pun tentu saja masih memerlukan waktu dan harmonisasi antarlembaga.
"Proses harmonisasi inilah yang tidak jarang memakan waktu cukup lama dan membutuhkan keseriusan dari semua pihak dalam implementasinya," kata Pingkan.
Dari segi konsumen, kata dia, kebijakan seperti ekspor dan impor komoditas serta naiknya harga cukai rokok diprediksi akan berpengaruh terhadap naiknya tingkat inflasi dalam negeri. Menurut dia, hal itu perlu dijaga dan diimbangi dengan aliran investasi yang masuk ke Indonesia serta tingkat konsumsi pasar dalam negeri.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb
Baca Juga: Perang Dagang AS-Tiongkok Pengaruhi Dinamika Investasi dan Konsumsi RI