Konsumsi Pangan Pengaruhi Tingkat Stunting, Ini Sebabnya

Kenaikan harga pangan memengaruhi tingkat konsumsi

Jakarta, IDN Times - Penurunan tingkat konsumsi pangan berpengaruh signifikan terhadap kenaikan probabilitas suatu rumah tangga memiliki anak stunting. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, berkurangnya konsumsi daging sapi sebesar 1 kg akan meningkatkan probabilitas rumah tangga untuk memiliki anak stunting sebesar 1,52 persen.

“Konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah yaitu sebesar 2,399 kg dibandingkan dengan Filipina yang sebesar 3,25 kg dan Malaysia yang sebesar 4,8 kg. Kalau konsumsi daging sapi di Indonesia dapat menyamai angka tersebut, hal itu dapat menurunkan probabilitas stunting sebesar 0,41 persen dan 0,6 persen secara berurutan,” jelas Galuh dalam keterangan tertulis, Rabu (13/11).

1. Kenaikan harga pangan memengaruhi tingkat konsumsi

Konsumsi Pangan Pengaruhi Tingkat Stunting, Ini SebabnyaIDN Times/Sunariyah

Hasil penelitian CIPS menunjukkan, kenaikan harga pangan berpengaruh secara signifikan terhadap menurunnya tingkat konsumsi.

Dari perhitungan, kenaikan harga pangan sebesar Rp1.000 akan berpotensi mengurangi konsumsi beras rumah tangga per kapita bulanan sebesar 0,67 kg. Galuh menambahkan, rata-rata harga beras lokal dan internasional terpaut sebesar Rp5.109,18.

"Jika harga beras lokal sama murahnya dengan harga beras internasional, tingkat konsumsi dapat berpotensi ditambahkan sebanyak 3,43 kg," ungkapnya.

Baca Juga: Kenalilah, Ini 7 Tanda Anak Stunting yang Perlu Kamu Tahu Sejak Dini

2. Kebijakan pangan mengandung unsur pembatasan

Konsumsi Pangan Pengaruhi Tingkat Stunting, Ini SebabnyaIDN Times/Sunariyah

Menurut Galuh, sebagian kebijakan pangan yang diterapkan pemerintah saat ini terdapat unsur pembatasan atau restriksi. Pemerintah menerapkan banyak kebijakan yang bersifat non tarif. Itu melalui regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh berbagai kementerian yang membatasi keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional.

"Kebijakan-kebijakan ini cenderung menyebabkan kenaikan harga pada komoditas pangan," katanya.

Beberapa restriksi pada kebijakan antara lain restriksi pada kebijakan beras dalam bentuk monopoli impor yang hanya dikelola Bulog (Permendag nomor 1 tahun 2018 pasal 16 ayat 1) dan restriksi pada daging sapi melalui pembatasan pelaku impor dan pembatasan akses pasar (Permendag 59/2016).

3. Restriksi memperlambat pengambilan keputusan impor

Konsumsi Pangan Pengaruhi Tingkat Stunting, Ini SebabnyaIDN Times/Sunariyah

Galuh menjelaskan, daging ayam dan telur terdampak dari peningkatan biaya produksi karena ada restriksi yang diberlakukan pada impor jagung untuk pakan. Restriksi tersebut berbentuk monopoli impor jagung untuk pakan hanya kepada Bulog. Selain itu, adanya rapat koordinasi antarmenteri sebelum mengimpor.

Menurut Galuh, rangkaian proses ini berpotensi memperlambat pengambilan keputusan impor (Permendag 21/2018 Pasal 3 Ayat (1) dan (2). Selain itu, pakan jagung berperan pada 50-60 persen biaya produksi keseluruhan industri peternakan ayam dan telur. Sehingga, kenaikan harga jagung akan berpengaruh pada kenaikan harga ayam dan telur.

“Swasembada pangan sebaiknya tidak lagi dijadikan cita-cita sektor pertanian Indonesia karena semakin sulit untuk dicapai. Banyak faktor yang memengaruhi, misalnya, berkurangnya luas lahan pertanian dan semakin banyaknya jumlah penduduk. Pemerintah sebaiknya fokus pada bagaimana menyediakan pangan yang harganya terjangkau bagi semua lapisan masyarakat dan memastikan ketersediaannya,” ungkap Galuh.

4. Prevalensi stunting di Indonesia mencapai 27,67 persen

Konsumsi Pangan Pengaruhi Tingkat Stunting, Ini Sebabnyabrecorder.com

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi angka stunting di Indonesia mencapai 37,8 persen. Sementara itu berdasarkan data Riskesdas 2018, angka ini turun menjadi 30,8 persen. Angka prevalensi stunting kembali turun di tahun ini menjadi 27,67 persen. Namun, angka ini masih jauh dari standar WHO yaitu 20 persen.

Stunting adalah kondisi balita yang mengalami kekurangan gizi. Hal itu menyebabkan rasio tinggi badan terhadap umur mereka jauh lebih rendah daripada angka rata-rata pada anak seumurnya.

Stunting pada balita diakibatkan oleh berbagai sebab, di antaranya adalah buruknya kondisi gizi dan kesehatan ibu sebelum, sedang dan setelah hamil, rendahnya asupan makanan ke balita, khususnya rendahnya kuantitas, kualitas dan variasi komponen gizi dan adanya infeksi. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting tertinggi ke-4 di dunia berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2018.

 

Baca Juga: Peringati HKN 2019, Mantan Menkes Singgung Stunting dan Kesehatan Jiwa

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya