Pemerintah Diminta Perhatikan 4 Hal Saat Terapkan Peraturan E-Commerce
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pemerintah diminta memerhatikan empat hal dalam penerapan PP Nomor 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Di antaranya model bisnis dalam PMSE, klasifikasi pelaku usaha, pelaku usaha temporer, dan potensi perpindahan dari e-commerce ke media sosial.
"Latar belakang PP ini adalah memunculkan level of playing field yang sama antara penjual online dan offline. Hal ini dikarenakan pertumbuhan pasar online di Indonesia sangat pesat. Dibandingkan Fillipina, India, dan Tiongkok, pertumbuhan transaksi online di Indonesia berjalan sangat cepat," kata Peneliti INDEF Nailul Huda.
1. Setiap platform digital mempunyai model berbeda-beda
Terkait model bisnis dalam PMSE, kata Huda dalam keterangan tertulisnya, Senin 9 Desember 2019, setiap platform digital mempunyai model yang berbeda-beda. Ada yang mudah untuk diatur, namun ada pula yang sangat sulit diatur. Model Business to Costumer (B2C) dan Business to Business (B2B) masih dapat diatur melalui PP ini. Namun, model Costumer to Customer (C2C) sulit untuk diatur.
"Salah satunya adalah Forum Jual Beli Kaskus yang biasanya ada istilah Cash on Delivery (COD) untuk bertransaksi," ungkapnya.
Baca Juga: Penerapan Pajak untuk E-Commerce, Tokopedia: Banyak yang Kabur
2. Klasifikasi pelaku usaha harus dipertimbangkan
Huda menjelaskan, jenis pelaku usaha di e-commerce ada 4 kategori secara umum, yaitu official store, store besar, store pengecer, dan pelaku usaha individu. Menurut dia, tiga jenis pelaku pertama mungkin mudah untuk menjadi badan usaha---bahkan official store sudah berbadan usaha. Namun, tidak dengan pelaku usaha individu.
Bagi pelaku usaha utama, kata dia, berjualan di e-commerce mungkin masih bisa diwajibkan. Namun, bagaimana dengan pelaku usaha yang masih berstatus pelajar ataupun emak-emak yang menjadikan bisnis di e-commerce sebagai sampingan?
"Apakah memungkinkan untuk berbadan usaha? Selain itu, warung kelontong juga menjadi pertanyaan apakah memang harus berbadan usaha mengingat cakupan usahanya terlalu kecil," kata Huda.
Editor’s picks
3. Pelaku usaha temporer berat untuk berbadan hukum
Selain itu, kata dia, banyak penjual di e-ommerce (terutama C2C) merupakan penjual individu yang hanya sesekali menjajakan lapaknya di e-commerce. Hal itu biasanya terjadi di marketplace dengan spesifikasi khusus barang-barang bekas seperti OLX. Di OLX, penjual hanya sesekali berjualan barang bekasnya. Berbeda dengan Bukalapak yang meskipun sama-sama menjual barang bekas namun biasanya dijual secara reguler.
"Jika diharuskan berbadan hukum, pasti akan berat bagi pelapak di marketplace seperti OLX ini," ungkapnya.
4. Ada potensi perpindahan dari e-commerce ke media sosial
Jika sudah jenuh dengan peraturan di bisnis e-commerce, lanjutnya, pelapak pasti akan mencari tempat berjualan lainnya. Salah satu tujuannya adalah media sosial atau social e-commerce.
"Bahkan, media sosial seperti Instagram dan Facebook sudah memiliki fitur-fitur untuk berjualan," ujar Huda.
Menurut survei IPSOS (2018), 52 persen responden bisnis lebih memilih Intagram dibandingkan ke website mereka masing-masing. Fitur Facebook juga banyak mengalami perubahan, terutama untuk mendukung jual beli barang di media sosial Facebook.
Survei PayPal (2019) menyebutkan 80 persen transaksi di e-commerce dilanjutkan melalui platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Sosial media dinilai dapat menjangkau konsumen yang lebih luas, mudah membangun bisnis, dan bisa melalui jaringan teman dan keluarga.
"Jangan sampai peraturan yang ada malah membuat bisnis di e-commerce menjadi lesu. Bisnis e-commerce merupakan bisnis dengan tiga pelaku (platform, pembeli, dan penjual). Saya harapkan bukan hanya dari sisi konsumen saja yang diperhatikan oleh pemerintah, namun dari sisi penjual juga patut untuk diperhatikan," katanya.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb
Baca Juga: Pertumbuhan E-Commerce Indonesia Meningkat Tajam, Siapa di Posisi Teratas?