Menkeu Bisa Kena Reshuffle, Staf Ahli: Nilainya Jangan Subyektif

Saran INDEF untuk realokasi anggaran bisa buat masalah baru

Jakarta, IDN Times - Staf Khusus Menteri Keuangan bidang komunikasi strategis, Yustinus Prastowo angkat bicara mengenai analisis yang dibuat oleh Institute For Development of Economics and Finance (Indef) terkait menteri-menteri di bidang ekonomi yang berpotensi kena reshuffle dalam waktu dekat. Salah satu menteri yang dikritik oleh ekonomi INDEF, Bhima Yudhistira adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani.

"Kritikan saudara Bhima kami hormati meski tak berdasarkan data yang akurat dan cenderung parsial-subyektif. Kita bisa lihat, rasio utang sebelum pandemik selalu di bawah 30 persen dari PDB," kata Yustinus saat dihubungi IDN Times, pada Jumat, 3 Juli 2020.

Apa pembelaan Yustinus sehingga bosnya tak layak kena reshuffle Presiden?

1. Rasio utang dinilai Yustinus masih terkendali

Menkeu Bisa Kena Reshuffle, Staf Ahli: Nilainya Jangan SubyektifIlustrasi. IDN Times/Rahmat Arief

Yustinus mengatakan, keuangan negara mengalami kondisi berat saat pandemik sehingga rasio utang diproyeksi naik hingga 37,6 persen pada 2020 (Perpres No.72/2020). Menurut Yustinus, rasio ini masih terkendali sesuai amanat UU Keuangan Negara maksimal 60 persen. Selain itu, defisit selama ini juga selalu terjaga di bawah 2 persen.

"Defisit terpaksa harus diperlebar menjadi 6,34 persen untuk mencari alternatif pembiayaan penanganan COVID-19. Namun, dengan usaha yang amat keras, pemerintah selama ini berhasil menjaga ekonomi kita tetap kokoh meski perekonomian dunia melambat dan perang dagang antara Amerika dan Tiongkok yang tak kunjung usai. COVID-19 akhirnya melengkapi derita," kata dia. 

Baca Juga: Insentif Kesehatan Lambat Cair, Sri Mulyani: Sudah 4,68 Persen

2. Penanganan COVID-19 tak bisa hanya mengandalkan realokasi anggaran

Menkeu Bisa Kena Reshuffle, Staf Ahli: Nilainya Jangan SubyektifIlustrasi anggaran (IDN Times/Arief Rahmat)

Yustinus menambahkan kehadiran COVID-19 membuat skenario yang telah dipersiapkan dengan matang harus diubah dengan cepat. Semua kalang kabut. Tidak peduli negara maju, berkembang, apalagi miskin. Hal itu bisa dicermati lewat utang terhadap PDB beberapa negara Eropa yang melambung tinggi, misalnya Yunani (200 persen), Italia (160 persen), Portugal (130 persen), Prancis dan Spanyol masing-masing (120 persen).

"Jadi perlu dicatat, guncangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di hampir ratusan negara di dunia. Bhima abai terhadap sebab dan akibat suatu peristiwa sehingga makna di balik angka tak tercerna. Dia memaksakan sesuatu harus ideal di saat sesuatu tidak ideal," katanya. 

Padahal, Yustinus melanjutkan, semua perlu meningkatkan sense of crisis dalam situasi yang tidak normal seperti sekarang. Ia juga menilai solusi yang ditawarkan INDEF juga masih mentah. Misalnya saja, soal realokasi anggaran yang ditawarkan. Cara itu, kata Yustinus sudah dilakukan secara maksimal oleh semua kementerian dan lembaga.

"Jika anggaran dipotong lagi maka mesin birokrasi terhenti. Masalah baru pasti akan muncul. Oleh karena itu, penanganan COVID-19 tak bisa hanya mengandalkan realokasi anggaran. Itu tidak cukup. Rakyat tak bisa menunggu. Langkah progresif, cepat dan tepat mesti dilakukan," ujarnya lagi.

Tetapi, dalam mengelola anggaran, kata dia, pemerintah tetap bersikukuh memegang prinsip agar APBN transparan, akuntabel dan berhati-hati.

3. Sri Mulyani masuk daftar menteri yang berpotensi kena reshuffle

Menkeu Bisa Kena Reshuffle, Staf Ahli: Nilainya Jangan SubyektifMenteri Keuangan Sri Mulyani (IDN Times/Auriga Agustina)

Sebelumnya, Ekonom INDEF Bhima Yudistra menyebut Menteri Keuangan Sri Mulyani berpotensi direshuffle. Alasannya, Menkeu dianggap belum mampu menjaga agar pembiayaan utang dikelola secara lebih pruden. "Padahal rasio utang terus naik, di saat yang sama beban pembayaran bunga utang menggerus belanja," kata Bhima kepada IDN Times pada Rabu (1/7/2020).

"Sebelum pandemik saja beban pembayaran bunga utang sudah gerus 17 persen dari total belanja pemerintah," katanya melanjutkan. 

Ia mengatakan seharusnya Kementerian Keuangan mencari sumber alternatif sebelum ada penerbitan utang baru. Padahal menurutnya, sumber pendanaan itu bisa dioptimalkan saja dari realokasi anggaran dari kementerian-kementerian yang tidak produktif.

"Realokasi anggaran di internal belum optimal sudah buru-buru tambah utang," tegasnya.

Kemenkeu telah menerbitkan surat utang global atau global bond sebesar US$4,3 miliar dalam tiga bentuk surat berharga global yaitu Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI 1050, dan RI0470. Sri Mulyani menyebut itu adalah surat utang negara dengan nilai terbesar dalam sejarah Indonesia.

Selain Menteri Keuangan Sri Mulyani, Bhima juga menyebut sederet nama lain. Di antaranya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Baca Juga: Indo Barometer: Reshuffle Menkes Sesuatu yang Realistis

Topik:

Berita Terkini Lainnya