Wacana Amandemen UU BI Bikin Cemas Pasar, Rupiah Melemah ke 14.777
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Nilai tukar rupiah terhadap dolar ditutup melemah 32 poin di level 14.777 dari penutupan14.745. Sementara, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup melemah 0,59 persen ke level 5.280,81. Nilai transaksi naik Rp8,27 triliun dan asing net sell Rp837,99 miliar.
"Dalam perdagangan besok, rupiah kemungkinan masih akan melemah di level 14.750-14.820," ujar Direktur PT.TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi dalam keterangan tertulis, Kamis (3/9/2020).
1. Wacana amandemen UU BI bikin cemas pasar
Dari faktor internal, kata Ibrahim, pasar mencemaskan wacana amandemen Undang-undang (UU) BI. Salah satu opsi yang ada adalah kembalinya Dewan Moneter seperti masa Orde Baru.
Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Nantinya, Dewan Moneter terdiri Menteri Keuangan sebagai ketua, satu orang menteri di bidang perekonomian, Gubernur BI dan Deputi Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jika dipandang perlu, pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasihat Dewan Moneter.
"Informasi ini membuat bingung pelaku pasar sehingga wajar kalau dana asing menahan diri untuk masuk ke pasar keuangan, malahan sebaliknya dana yang sudah parkir di pasar dalam negeri kembali keluar," kata Ibrahim.
Baca Juga: Undang Kegaduhan, Ini Alasan DPR RI Revisi UU Bank Indonesia
2. Pemerintah berpeluang meminta bantuan BI dalam burden sharing
Di samping itu, lanjutnya, pandemik virus corona belum bisa teratasi. Hal itu berimbas terhadap stagnasi ekonomi. Menurut Ibrahim, BI kemungkinan tetap diminta berkontribusi dalam pembiayaan defisit anggaran alias burden sharing setidaknya sampai 2022. Presiden Joko 'Jokowi' Widodo menyatakan jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5 persen, burden sharing mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022.
"Pernyataan Jokowi bisa dimaknai masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah target. Pelaku pasar kecewa karena mengira burden sharing hanya kebijakan jangka pendek, sekali pukul, ad hoc, one off. Namun, ternyata ada kemungkinan bertahan lama," jelasnya.
3. Pemulihan ekonomi diprediksi melambat
Dari faktor eksternal, pemulihan ekonomi diprediksi akan berjalan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara di Eropa, walaupun rilis data manufaktur AS yang melesat tinggi di bulan Agustus. Institute for Supply Management (ISM) Selasa lalu melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur melesat menjadi 56 dari bulan Juli 54,2.
Sementara itu, Tiongkok mengatakan pada hari sebelumnya bahwa PMI jasa Caixin untuk Agustus adalah 54, sedikit turun dari pembacaan Juli di 54,1 tetapi masih menunjukkan pertumbuhan bulan keempat. Namun, data tersebut belum bisa dijadikan alasan ekonomi akan pulih lebih cepat.
"Apalagi kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0,25, serta menerapkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), membuat perekonomian AS menjadi banjir likuiditas," ungkapnya.
Baca Juga: Profil Bank Indonesia, Pemelihara Kestabilan Nilai Rupiah