Fintech adalah Masa Depan Keuangan Millennial

Fintech ada sebagai wujud masa depan keuangan millennial

Jakarta, IDN Times - Sesi Banking Disrupted: Fintech Opportunity di Garuda Stage Indonesia Millennial Summit (IMS) 2019 merupakan salah satu sesi yang menarik. Pertumbuhan fintech di masa kini memang mulai merambah semua lini kehidupan masyarakat. Hal ini juga dicontohkan dengan baik oleh Adrian Suherman, CEO OVO.

"Sekarang, Anda bisa menemukan wujud fintech di mana pun. Di gerai-gerai yang ada di pusat perbelanjaan modern, Anda akan menemukan produk-produk fintech, yang tentu saja menunjukkan bahwa fintech tumbuh subur dewasa ini. Belum lagi kalau ada promo cashback, sebagai strategi bisnis kami menumbuhkan minat masyarakat Indonesia agar siap menjadi cashless society di masa depan," ujar Adrian terkait fintech di masa kini.

Adrian memang tampak optimistis dengan perkembangan fintech di Indonesia. Raut mukanya ceria ketika bercerita bagaimana OVO dibangun dan kemudian berkembang hingga saat ini. Duduk di samping Eddi Danusaputro, CEO Mandiri Capital Indonesia, Adrian tampak percaya diri bahwa fintech dan bank tidak akan menjadi musuh bebuyutan antara satu dengan yang lain.

"Friend-nemies," ujar Adrian sambil tersenyum, ketika salah satu peserta sesi bertanya apakah bank dan fintech bisa menjadi kawan atau lawan. Ia tak hanya sekadar berbicara, lebih dari itu, Adrian menjabarkan upaya yang tengah dirintis OVO untuk berkolaborasi dengan bank.

Bagi Adrian, kultur masyarakat Indonesia membuat fintech tak bisa langsung memberi label 'musuh' kepada bank. "Di Indonesia ini, kami melihat bahwa transaksi masih melibatkan uang tunai dan persentase-nya besar, menyentuh angka 90 persen. Ini yang membuat OVO masih membutuhkan bank," jelas Adrian.

Penjelasan ini masuk akal, sekaligus menyegarkan. Ini menunjukkan bahwa bisnis konvensional, yang tentu saja melibatkan transaksi uang tunai, tidak akan langsung mati karena kehadiran fintech dan platform digital mereka yang begitu efisien. Adrian sendiri mengamini hal tersebut.

"Pada intinya, kami, fintech dan bank, muaranya kepada siapa? Konsumen, kan? Logika ini yang terus kami pakai ketika ditanya apakah bank dan fintech bisa berkolaborasi atau tidak. Sederhananya, ketika konsumen tetap puas, bisnis akan terus tumbuh karena selalu ada transaksi yang dilakukan," jelas Adrian lagi.

Tapi, walau semua terkesan positif, fintech sendiri disebut Adrian tak akan melalui jalan mulus ke depannya. Sebagai masyarakat di negara dunia ketiga, mayoritas masyarakat Indonesia masih gagap menangkap semangat zaman. Platform digital untuk sektor finansial sendiri butuh waktu untuk bisa diterima masyarakat Indonesia yang punya kultur beragam dan sangat hetero.

"Tantangan fintech adalah sebagian besar masyarakat kita ini masih asing dengan istilah digital wallet. Kalau untuk masyarakat urban, tentu mudah bagi mereka, tapi bagaimana dengan di daerah? Fintech kan seperti memercayakan uang Anda kepada kami untuk disimpan dalam wujud digital. Ini hal baru bagi sebagian besar masyarakat Indonesia di pelosok. Ini tantangannya," ujar Adrian.

Tapi, Adrian, yang hari itu selalu bersemangat dan tampak sangat optimistis dengan masa depan fintech, tak pernah tunduk dengan tantangan. "Bagi saya, tantangan terbesar memang trust issues, tapi OVO sejauh ini sudah cukup sukses menemukan cara menghadapi tantangan itu," jawab Adrian dengan optimistis.

Adrian memang layak optimistis, karena sejauh ini, setiap kaki Anda melangkah memasuki pusat perbelanjaan, atau sekadar menggunakan aplikasi transportasi daring, hingga berbelanja melalui e-commerce, Anda akan menemukan napas fintech di dalamnya. Perlahan, namun pasti, fintech memang mencoba merasuk di sendir-sendi kehidupan masyarakat. Adrian tak luput menjelaskan upaya OVO terkait hal ini.

"Di Lampung, kami bekerja sama dengan Matahari Department Store. Kenapa? Mudah saja, karena bagi masyarakat lokal Lampung, Matahari adalah pusat perbelanjaan sejuta rakyat. Mereka dinilai sudah melekat bagi warga sekitar, jadi ketika OVO masuk di sana, kami menjadi mudah diterima," ucap Adrian dengan wajah berbinar.

Memang, seperti optimisme yang selalu dipancarkan Adrian selama sesi, kita memang patut optimistis. Lagipula, fintech bukan hal buruk. Tidak ada yang buruk dalam urusan menyimpan uang dalam wujud dompet digital. Pada akhirnya, manusia memang akan beradaptasi dengan zaman, seperti yang dilakukan nenek-nenek moyang kita sebelumnya.

Hanya saja, kali ini, kita melakukannya untuk menjadi lebih efektif, efisien, dan mempunyai kontrol diri di sektor ekonomi dan finansial. Kontrol diri untuk berpikir bahwa uang, entah tunai atau dalan wujud e-money sekali pun, ia tak akan mampu mengontrol manusia.

Pesan itu disampaikan Adrian Suherman dengan jelas dan penuh optimisme, sebagai pengejewantahan tagline acara IMS: "Shaping Indonesia's future."

Baca Juga: CEO OVO di IMS 2019: Bank Tak Perlu Anggap Fintech sebagai Kompetitor

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya