Angka Kemiskinan Single Digit, BPS: Sebetulnya Tak Terlalu Cemerlang 

Di tahun politik, BPS akan tetap independen

Jakarta, IDN Times - Menjelang pemilihan umum tahun depan, dua pasang calon presiden dan wakil presiden berlomba merebut hati pemilih. Salah satu data yang digunakan kedua kubu adalah data-data seputar ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS).  
 

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto pun menyadari hal itu dan menilainya sebagai hal yang wajar jelang tahun politik. Namun, dia memastikan bahwa BPS akan tetap independen.  

1. Data penurunan angka kemiskinan Maret 2018 yang "single digit"

Angka Kemiskinan Single Digit, BPS: Sebetulnya Tak Terlalu Cemerlang ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Suhariyanto kemudian memberi contoh mengenai data populasi yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2018. Pada periode itu, angka kemiskinan 9,82 persen dari populasi. 

Pemerintah kerap menggunakan data ini sebagai sebuah prestasi karena untuk pertama kali persentase kemiskinan satu digit, sejak krisis ekonomi 1998. 

Di dalam workshop bertajuk "Memahami Data Strategis BPS" di Bogor, hari ini (24/11), Suhariyanto menyatakan bahwa sebenarnya penurunan pada data kemiskinan per Maret 2018 setara atau tidak terlalu cemerlang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. 

Dia juga menunjukkan bahwa data-data BPS menyingkapkan sejumlah hal yang sebenarnya perlu diperhatikan sebagai pekerjaan rumah bagi pemerintah, seperti disparitas antara desa dan kota masih lebar, serta harga beras tetap stabil tetapi cenderung naik. 

Baca Juga: 2019, Angka Kemiskinan Ditargetkan Turun Jadi 9,2 Persen

2. Data kemiskinan versi BPS dibandingkan dengan data Bank Dunia

Angka Kemiskinan Single Digit, BPS: Sebetulnya Tak Terlalu Cemerlang ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Selain itu, data kemiskinan versi BPS itu juga digunakan sejumlah pihak dengan membandingkannya dengan indikator garis kemiskinan versi Bank Dunia. 

"Pada tahun politik ini wajar bila ada yang menggunakan data untuk kepentingan sendiri, tetapi BPS tetap independen," kata Kecuk Suhariyanto seusai Workshop Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media, seperti dikutip dari situs Antara. 

Lebih lanjut Suhariynto menjelaskan, data mentah yang digunakan BPS dan Bank Dunia adalah sama, tetapi perbedaannya terletak di dalam ketetapan batasan garis kemiskinannya. 

Kepala BPS juga menuturkan bahwa data Bank Dunia biasanya digunakan sebagai komparasi atau perbandingan antarnegara. 

3. Cara mengukur angka kemiskinan sama sejak 1998

Angka Kemiskinan Single Digit, BPS: Sebetulnya Tak Terlalu Cemerlang IDN Times/Angelina Nibennia Zega

Deputi Bidang Statistik Sosial Margo Yuwono menjelaskan bahwa metode yang digunakan oleh BPS untuk mengukur kemiskinan sama sejak tahun 1998. 

Margo memaparkan, garis kemiskinan terbagi menjadi dua komponen. Pertama, garis kemiskinan makanan. 

Komponen ini dihitung atau setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 kkal per kapita per hari. Sedangkan paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili 52 jenis komoditas. 

Komponen kedua adalah garis kemiskinan nonmakanan. Aspek ini dihitung dari kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidkan dan kesehatan, di mana ada 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan. 

Dia mengakui bahwa data kemiskinan per Maret 2018 memang single digit, yaitu 9,28 persen. "Tetapi orang yang membaca datanya, sering tidak membaca bahwa banyak orang pula yang juga dekat dengan garis kemiskinan," katanya. 
 

4. Kebijakan pemerintah yang ramah terhadap "orang kecil"

Angka Kemiskinan Single Digit, BPS: Sebetulnya Tak Terlalu Cemerlang ANTARA FOTO/Aji Styawan

Orang-orang yang dekat garis kemiskinan tersebut perlu dijaga betul agar tidak jatuh ke bawah garis. Untuk itu, menurut Margo, kebijakan pemerintah menjadi komponen penting. Jangan sampai, kebijakan pemerintah malah menarik semakin banyak orang ke bawah garis kemiskinan. 

"Karena hal yang paling berbahaya adalah bila pendapatan tidak bertambah, tetapi batasan garis kemiskinan juga bertambah seiring dengan meningkatnya inflasi," kata dia. 

Margo juga mengemukakan bahwa garis kemiskinan antardaerah atau antarprovinsi berbeda antara lain karena pola konsumsi serta harga barang dan jasa setiap wilayah berbeda-beda, tetapi metode yang digunakan juga tetap sama. 

Selain itu, Deputi Bidang Statistik Sosial juga mengingatkan bahwa peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan.

5. Tahun 2018, Indonesia sudah tujuh kali defisit

Angka Kemiskinan Single Digit, BPS: Sebetulnya Tak Terlalu Cemerlang IDN TIMES/ Cije Khalifatullah

BPS juga menunjukkan bahwa hingga sejauh ini pada tahun 2018, sudah tujuh kali RI mengalami defisit di dalam neraca perdagangan, yang juga menjadi perhatian banyak pihak. 

Defisit terakhir kali tercatat terjadi di bulan Oktober 2018. Salah satu penyebab defisit neraca itu adalah tingginya impor dari sektor minyak dan gas.  

"Defisit (total) US$1,82 miliar. Itu berasal dari defisit migas US$1,4 miliar," kata Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (15/11). Sementara itu, sektor nonmigas menyumbang defisit sebesar US$393 juta.   

Baca Juga: Neraca Perdagangan Oktober 2018 Defisit US$1,82 Miliar 

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya