52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Setelah melalui jalan berliku proses divestasi saham

Jakarta, IDN Times - Setelah melalui perjalanan panjang PT Freeport Indonesia (FI) kini memasuki usia 52 tahun. Perjalanan perusahaan tambang yang beroperasi di Papua itu dilalui dengan proses berliku yang penuh kontroversi. Hal itu termasuk proses divestasi saham setelah 50 tahun dikuasai asing.

Alot. Itulah kata yang digunakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk menggambarkan proses divestasi saham tersebut. Selama puluhan tahun, Indonesia berjuang untuk "merebut" saham mayoritas perusahaan tambang emas, PT FI yang sebelumnya disebut Freeport-McMoRan Inc itu.   

"Terutama 1,5 tahun terakhir," kata Presiden Jokowi pada 12 Juli lalu.  Kala itu, Jokowi mengungkap bahwa sudah ada titik terang divestasi saham PT FI dimana para pihak yang terkait meneken Head of Agreement/HoA. 

Bagaimana perjalanan panjang PT FI tersebut? Berikut runutan lengkapnya yang disuguhkan oleh jurnalis IDN Times Ita F Malau, Helmi Shemi, dan Rosa Folia.

1. Lewat negosiasi, Indonesia kuasai saham Freeport lewat skema divestasi

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Jelang akhir Desember 2018, Pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mengambil alih 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, hal penting dalam proses akuisisi saham Freeport ini adalah negosiasi.

"Ini kalau kita lihat dari konstitusi dan sebagainya, lalu perjanjian dengan Freeport, yang paling penting itu adalah bagaimana kita melakukan satu negosiasi," ujar Jonan dalam acara Indonesia Millennial Summit 2019 by IDN Times, di Kempinski, Jakarta Pusat, Sabtu (19/1).

Selain negosiasi, mantan Dirut PT KAI tersebut juga mencoba meyakinkan pihak Freeport McMoran, agar tetap mendapatkan bisnisnya di Tanah Air. "Kedua, juga kita menempatkan hak dan kewajiban masing-masing itu dengan baik,” imbuhnya.

Indonesia menguasai saham PT Freeport Indonesia lewat skema divestasi melalui BUMN, PT Inalum, dengan nilai mencapai US$3,85 miliar. Untuk membeli saham sebesar 51,2 persen ini sendiri, Inalum menerbitkan surat utang global senilai US$4 miliar, salah satu nilai terbesar di sepanjang sejarah Indonesia.

Baca Juga: Lika Liku Akuisisi Freeport, Akhirnya Tunduk di Bawah Jokowi 

2. Titik terang itu bernama head of agreement

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiIDN Times/Sukma Shakti

Pada 12 Juli 2018, Presiden Jokowi mengungkapkan proses divestasi ini sudah berjalan selama 3,5 tahun. Namun, prosesnya kian alot dan intens, "Terutama 1,5 tahun terakhir. Karena ini menyangkut sebuah negosiasi yang tidak mudah," kata Presiden Jokowi.  

Namun hari itu, Jokowi mendapat kabar menggembirakan. Sudah ada titik terang. Holding industri pertambangan Indonesia, Inalum, telah mencapai kesepakatan awal dengan Freeport-McMoRan.

Dalam kesepakatan yang tertuang dalam Head of Agreement/HoA, kepemilikan saham Inalum di FI akan meningkat dari sebelumnya 9,36 persen menjadi 51 persen.  Head of Corporate Communication and Government Relations Inalum, Rendi Witular menjabarkan bahwa HoA yang ditandatangani Inalum, Freeport McMoRan Inc, dan PT Rio Tinto.

Isinya, pokok-pokok kesepakatan yang selanjutnya dituangkan dalam perjanjian yang lebih rinci, yakni Sales Purchase Agreement (SPA), Shareholder Agreement (SHA), dan Exchange Agreement.  "HoA ini secercah harapan yang kemudian memberikan harapan karena bagian atau komponen terberat dalam divestasi ini itu sudah terselesaikan yaitu, harga dan struktur transaksi," kata Rendi. 

Salah satu dari tiga kesepakatan itu berisi kesepakatan Inalum akan membeli saham PT FI sebesar US$3,85 miliar. Rinciannya, US$3,5 miliar untuk membayar hak partisipasi PT Rio Tinto Indonesia dan sisanya US$350 juta untuk membeli saham PT Indocopper Investama.

3. Ini alasan mengapa ada nama Rio Tinto dan Indocopper

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Berbicara soal saham PT FI, ternyata kita tidak boleh mengesampingkan PT Rio Tinto Indonesia dan PT Indocopper Investama. Dua perusahaan ini menjadi penting karena akan terlibat dalam langkah selanjutnya yang wajib dilakukan Inalum.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin pernah menjelaskan peran dua perusahaan tersebut dalam proses divestasi saham saat ditemui media pada 17 Juli lalu.   

Rio Tinto memiliki apa yang disebut hak partisipasi (participating interest). Hak tersebut melekat setelah perusahaan multinasional berbasis di Inggris dan Australia itu sepakat membentuk usaha bersama (joint venture) dengan FCX dan FI tahun 1995 dan diteken 1996.

Dalam kerja sama itu, Rio Tinto setuju mendanai biaya eksplorasi Freeport Indonesia. Mekanisme hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat joint venture itu, kata Budi, sangat kompleks. Namun secara garis besar, Rio Tinto kemudian berhak menerima hasil produksi tambang dengan porsi 40 persen hingga tahun 2022.  Porsi 40 persen itu juga hanya berlaku jika produksi PT FI di atas 118 ribu ton per hari (metal strip) karena Rio Tinto tidak ikut serta sejak awal eksplorasi tambang PT FI.

Hak itu baru penuh setelah 2022. Kala itu, Rio Tinto baru memperoleh 40 persen hasil penjualan tambang PT FI tanpa ada batasan lagi hingga tahun 2041.  Nah, hak partisipasi Rio Tinto itulah yang akan dibeli Inalum dengan tunai.  Selain itu, pemerintah juga perlu membeli 100 persen saham Indocopper Investama.   

Sampai 2022 nanti, Inalum akan memperoleh 40 persen dari 'produksi setelah metal strip' yang merupakan eks-porsi Rio dan tambahan 18,72 persen 'dividen' eks-porsi pemerintah dan Indocopper Investama. Nantinya, mulai 2021 dividen secara bertahap akan dibagi dan mencapai puncaknya dan stabil mulai 2023.

“Mulai 2023 Inalum akan memperoleh 51 persen atas ‘dividen’ eks-porsi pemerintah,  Indocopper Investama dan Rio. Sesuai Long Term Development Plan PTFI, tahun 2019 dan 2020 tidak ada pembagian dividen,” ucap Budi kepada IDN Times.

Baca Juga: Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di Indonesia

4. Mimpi yang menjadi kenyataan

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu Pertiwi(Lokasi tambang PT Freeport) ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Momen bersejarah lainnya dalam penguasaan aset adalah tanggal 27 September 2018. Inalum dan para pihak yang terkait melanjutkan proses HoA dengan SPA. Dengan penandatanganan SPA dan perjanjian terkait tersebut, pemerintah resmi menguasai 51 persen saham PT FI.

Setelah itu, Inalum tinggal membayar US$3,85 miliar atau sekitar Rp55 triliun kepada parapihak terkait, termasuk McMoRan. Jika tidak ada halangan, uang itu akan dibayarkan akhir November 2018.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengucapkan selamat kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilalihan saham ini. Ucapan itu dia sampaikan baik kepada Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Direktur Utama Inalum Budi G Sadikin dan juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Sri Mulyani juga menambahkan perjuangan mendapatkan 51 persen saham PT FI tidaklah mudah. Mulai dari lamanya negosiasi hingga persiapan detail. Tapi dengan niat baik pemerintah Indonesia dan petunjuk dari berbagai pihak, termasuk Richard Adkerson selaku CEO Freeport McMoRan Inc, SPA bisa diteken.

“Seluruh proses ini luar biasa bagi RI, di bawah leadership Pak Jokowi yang minta kita sebagai menteri untuk negosiasikan atas nama RI dengan kepala tegak dan tahu persis apa yang kita perjuangkan, detail dan transparan. Dan kita semua sampaikan secara terbuka ke Freeport-McMoran,” kata Menkeu, di sela-sela penandatanganan SPA PT FI.  

5. Sejarah kontrak Freeport hingga akhirnya dikuasai Indonesia

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Blak-blakan, Dirut Inalum Jawab Pertanyaan Soal Freeport

6. Dimulai dengan Kontrak Karya

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu Pertiwi(Lokasi tambang PT Freeport) ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Pada 1967, pemerintah Indonesia menerbitkan Kontrak Karya I untuk PT FI. Kontrak tersebut menjadi dasar penyusunan Undang-undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Dalam perjanjian itu, PT FI berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi 10 ribu hektare lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun.

Penambangan pertama dilakukan pada 1973. PT FI dibebaskan dari kewajiban membayar pajak selama tiga tahun pertama. Tiga tahun berikutnya, PT FI dikenakan konsesi pajak 35 persen. Setelahnya, baru meningkat menjadi 41,75 persen. Royalti yang wajib diberikan kepada pemerintah adalah 1,5 - 3,5 persen untuk tembaga dan 1 persen untuk emas serta perak.

Seharusnya, Kontrak Karya I berakhir pada 1997. Namun, PT FI menemukan cadangan emas terbesar di Grasberg pada 1988. Ini membuat PT FI maju ke meja perundingan untuk mendapatkan kesepakatan baru. Pada 1991, pemerintah menerbitkan Kontrak Karya II dengan berbagai catatan untuk mereka.

Penandatangan Kontrak Karya II dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia, Ginandjar Kartasasmita dan pihak Freeport. Berdasarkan kontrak tersebut, PT FI bisa beroperasi hingga 30 tahun kemudian atau dengan kata lain pada 2021. Kemudian, PT FI juga berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun hingga 2041.

Lahan yang dikuasai PT FI pun bertambah luas dari hanya 10 ribu hektare menjadi 2,6 juta hektare atau sekitar 6,2 persen wilayah Papua (termasuk di dalamnya adalah tanah adat). Tak ada perubahan untuk royalti. Sebaliknya, poin yang wajib dipatuhi PT FI adalah melakukan divestasi sebesar 10 persen paling lambat 10 tahun setelah penandatanganan Kontrak Karya II.

Lalu, sejak 2001 hingga 2021 PT FI harus menjual 41 persen saham kepada Indonesia sehingga mencapai total 51 persen. Ironisnya, hingga tahun 2018 Indonesia hanya mempunyai 9,36 persen saja melalui Inalum.

Dalam perjalanannya, beberapa masalah muncul dalam Kontrak Karya II. Misalnya, tidak ada kejelasan mengenai apakah proses peleburan dan pemurnian wajib dilakukan di Indonesia. Sejauh ini, 29 persen pemurnian dan pengolahan PT FI ada di dalam negeri. Sisanya ada di luar negeri yang tak bisa diawasi pemerintah.

Kemudian, pemerintah juga tak bisa mengakhiri kontrak dengan PT FI, tapi yang sebaliknya bisa terjadi bila perusahaan tersebut tak merasa ada keuntungan lagi. Pemerintah Indonesia juga disebutkan tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar.

7. Berbagai masalah yang muncul dalam masa berlakunya Kontrak Karya

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dalam perjalanannya, beberapa masalah muncul dalam Kontrak Karya II. Misalnya, tidak ada kejelasan mengenai apakah proses peleburan dan pemurnian wajib dilakukan di Indonesia. Sejauh ini, 29 persen pemurnian dan pengolahan PT FI ada di dalam negeri. Sisanya ada di luar negeri yang tak bisa diawasi pemerintah.

Kemudian, pemerintah juga tak bisa mengakhiri kontrak dengan PT FI, tapi yang sebaliknya bisa terjadi bila perusahaan tersebut tak merasa ada keuntungan lagi. Pemerintah Indonesia juga disebutkan tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar. Artinya, selama FCX menilai bisa meraup untung, maka perpanjangan operasional sudah tak perlu dipertanyakan lagi.

Masalah tak berhenti sampai di sini. Apalagi, pada 1994, Indonesia menerbitkan PP Nomor 20 tentang Kepemilikan Modal Asing. Aturan ini mengizinkan PT FI boleh dimiliki sepenuhnya oleh asing dan meringankan kewajiban divestasi 51 persen saham.

Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Di dalamnya diatur tentang badan usaha asing yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi hingga 51 persen kepada Indonesia setelah lima tahun berproduksi.

Jika memakai aturan ini, maka FCX sudah seharusnya menyerahkan 51 persen saham pada 2014. Namun, ini tidak terjadi. Lagi-lagi FCX menemukan celah dengan mendasarkan bantahannya menggunakan PP Nomor 20 Tahun 1994 sebagai payung hukum. Apalagi UU Minerba mengizinkan FCX untuk tetap menggunakan Kontrak Karya.

Indonesia lalu menerbitkan PP Nomor 77 Tahun 2014, salah satu isinya adalah menurunkan kewajiban divestasi menjadi hanya 30 persen. Aturan ini berubah lagi ketika pemerintah meresmikan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mengembalikan kewajiban divestasi sebesar 51 persen.

Tahap-tahapnya adalah 20 persen pada tahun keenam, 30 persen pada tahun ketujuh, 37 persen pada tahun kedelapan, 44 persen pada tahun kesembilan, dan 51 persen pada tahun kesepuluh.

Baca Juga: Jokowi Pastikan Masyarakat Papua Dapat 10 Persen dari Saham Freeport

8. Proses pengubahan Kontrak Karya ke IUPK diwarnai kecurigaan

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiANTARA/Moch Asim

Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), ada aturan tentang badan usaha asing yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi hingga 51 persen kepada Indonesia setelah lima tahun berproduksi.

Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said, melakukan perundingan untuk proses pengubahan Kontrak Kerja menjadi IUPK. Staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2014-2016, Muhammad Said Didu mengungkapkan lika-liku dalam proses pengubahan kontrak tersebut. Sejumlah pihak termasuk, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sempat mempertanyakan dan cenderung tidak setuju dengan perpanjangan kontrak Freeport.

“Benar juga, mengapa harus dilakukan perpanjangan kontrak dengan Freeport? Banyak yang mendukung agar kontrak dengan Freeport diakhiri, tak perlu dinego-nego segala, langsung kita kuasai 100 persen. Luhut Binsar Panjaitan (LBP) juga berpendapat begitu, katanya Sudirman tak berkonsultasi dengan Presiden,” tulis Said Didu dalam kuliah Twitter (kultwit) yang berjudul #simalakama2 di akun @saididu

Said Didu mengatakan Mahfud awalnya berpendapat bahwa perundingan yang dilakukan Sudirman Said adalah permainan untuk mendapatkan sesuatu, "karena bisa diperoleh secara gratis setelah 2021. Alasan mereka menyebut bisa diperoleh secara gratis karena berpikir, bahwa setelah otomatis 2021 kembali ke Indonesia seperti migas dan kontrak tambang lain, kontraknya tidak perlu diperpanjang."

Said lantas mengatur sebuah pertemuan antara Sudirman dan Mahfud untuk memperjelas duduk persoalan. Dalam pertemuan itu, Mahfud MD mengaku terkejut dengan adanya undang-undang dan isi dokumen Kontrak Karya dengan Freeport yang tak secara hukum kuat dan tidak bisa diputus begitu saja.

"Akhirnya clear,” kata Said Didu.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Gatot Ariyano dalam pemaparannya mengatakan, ada 3 pasal yang menyebabkan Freeport tidak berakhir di 2021. Ketiga pasal itu adalah Pasal 169 UU NO 4 Tahun 2009, Pasal 31 KK Tahun 1991, dan Pasal 22 KK Tahun 1991.

Pasal 169 UU NO 4 Tahun 2009 mengatakan, Kontrak Karya (KK) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap  diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak. Sementara itu Pasal 31 KK Tahun 1991 menyebut persetujuan ini akan mempunyai jangka waktu 30 tahun, dan perusahaan akan diberikan hak untuk memohon 2 kali  perpanjangan masing-masing 10 tahun secara berturut-turut,  dengan syarat disetujui pemerintah.

Apabila kontrak berakhir, semua kekayaan Kontrak Karya milik perusahaan yang bergerak maupun tidak bergerak, yang terdapat di dalam wilayah proyek dan pertambangan, harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga buku atau nilai pasar.

Ketiga adalah Pasal 22 KK Tahun 1991. Pemerintah mempunyai kesempatan selama 30 hari untuk membeli atau menerima. Namun apabila menolak penawaran itu, maka  perusahan boleh menjual atau dengan cara lain menyingkirkan selama 12 bulan dari wilayah tersebut.

Dengan demikian, Kontrak Karya dengan Freeport tidak bisa diputus sembarangan. Di dalamnya dicantumkan pemberian keistimewaan kepada Freeport, sehingga memungkinkan mereka membawa kasus itu ke Arbitrase Internasional. Ada tiga hal yang tercantum dalam Kontrak Karya generasi II yang memuat keistimewaan itu.

Pertama pihak Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak 2x10 tahun setelah kontrak habis. Kedua, pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan rasional. Ketiga, kontrak hanya tunduk pada undang-undang yang sudah berlaku saat kontrak ditandatangani.

"Posisi Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah Indonesia tahun 1991 'setara' dengan Undang-Undang karena mendapatkan persetujuan dari DPR, menjadikan alternatif penyelesaian kontrak setelah 2021 menjadi terbatas, kecuali kita siap berperkara di Arbitrase,” ujar Said Didu.

9. Risiko jika Freeport sampai membawa kasus ke Arbitrase Internasional

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiANTARA/Yusran Uccang

Menurut Said Didu, Indonesia tidak bisa sembarangan maju dalam Arbitrase Internasional karena jika itu terjadi, tambang akan berhenti beroperasi. “Jika berhenti sekitar sebulan saja, maka perkiraan saya Freeport sangat sulit atau tidak mungkin lagi dibuka dan dioperasikan selamanya, karena ada persoalan teknis dan non-teknis muncul,” ucapnya.

Permasalahan nonteknis yang muncul adalah kemungkinan diambilalihnya Freeport oleh suku-suku Papua yang merasa berhak, dan kemungkinan masuknya Organisasi Papua Merdeka (OPM) menguasai lokasi. Sedangkan, masalah teknis yakni terowongan tambang yang panjangnya sudah sekitar 600 km, akan runtuh karena tidak dipelihara lagi.

Selain itu, jika Freeport berhenti beroperasi maka ekonomi Papua diperkirakan akan menghadapi masalah serius, karena peran Freeport terhadap ekonomi Papua sangat dominan. “Jika ini terjadi, dikhawatirkan akan terjadi gejolak sosial yang membuat masalah makin rumit,” jelas Said Didu.

Dengan adanya kemungkinan Arbitrase Internasional, sikap pemerintah kala itu adalah tidak mau berunding solusi kontrak yang berakhir 2021, yang dikemukakan berkali-kali oleh Freeport.

“Saya katakan, jika lewat jalur Arbitrase maka yang terjadi adalah 'menang jadi arang dan kalah jadi abu'. Nasionalisme saya adalah bahwa tambang tersebut harus memberikan manfaat buat rakyat,” jelasnya.

10. Kapan Indonesia mendulang untung?

52 Tahun Freeport, Jalan Berliku ke Pangkuan Ibu PertiwiInstagram/@BudiGSadikin

Kepada IDN Times, PT Freeport Indonesia  (PTFI) membuat perjanjian di mana hak partisipasi Rio Tinto 40 persen setelah 2022 akan dikonversi menjadi saham. “Karena itu, hak dan kewajiban PI Rio Tinto, yang sudah dibeli Inalum,  tetap melekat hingga kontrak mereka dengan Freeport berakhir di 2022,” papar Budi.

Sebagai catatan, hak dan kewajiban tersebut meliputi pendapatan 40 persen jika produksi PTFI melampaui batasan tertentu. “Jika PI tsb tidak diserap dan dikonversi menjadi saham, maka setelah 2022 Rio Tinto akan langsung mendapatkan 40 persen dari produksi PTFI tanpa batas,” kata Budi.

Proyeksinya, dari hak partisipasi Rio Tinto itu, Inalum akan mendapatkan keuntungan karena ada produksi yang melampau batas antara 2019 dan 2022.

“Secara dividen memang akan kecil karena dividen PTFI akan turun drastis antara 2019 hingga 2021 akibat dari peralihan tambang terbuka ke tambang bawah tanah. Namun penghasilan dari PI, langsung mendapatkan 40 persen dari produksi, akan mengompensasi kecilnya pendapatan dari dividen antara 2019-2022,” ujarnya.

Sampai 2022 nanti, Inalum akan memperoleh 40 persen dari 'produksi setelah metal strip' yang merupakan eks-porsi Rio dan tambahan 18,72 persen 'dividen' eks-porsi pemerintah dan Indocopper Investama. Nantinya, mulai 2021 dividen secara bertahap akan dibagi dan mencapai puncaknya dan stabil mulai 2023.

“Mulai 2023 Inalum akan memperoleh 51 persen atas ‘dividen’ eks-porsi pemerintah,  Indocopper Investama dan Rio. Sesuai Long Term Development Plan PTFI, tahun 2019 dan 2020 tidak ada pembagian dividen,” ucap Budi.

Baca Juga: 81 Persen Keuntungan Didapat Freeport McMoran, Apa Jawaban CEO Inalum?

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya