Mitos Predatory Pricing di Pasar Digital Rugikan Banyak Pihak

Tanggapan pemerintah bisa rugikan bisnis dan konsumen

Jakarta, IDN Times – Pemerintah Indonesia berencana membatasi impor sebagai tanggapan untuk merespons kekhawatirannya atas praktik predatory pricing atau tarif predator di pasar digital Indonesia yang merugikan banyak pihak.

Namun, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu mengatakan kebijakan pemerintah membatasi impor itu tidak tepat karena tidak hanya akan merugikan konsumen tetapi juga penjual eceran domestik.

Baca Juga: Atasi Predatory Pricing, Mendag Siapkan Peraturan Menteri

1. Tidak ada bukti predatory pricing di pasar digital Indonesia

Mitos Predatory Pricing di Pasar Digital Rugikan Banyak PihakIlustrasi Belanja E-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Setelah menurunkan ambang batas bea masuk untuk transaksi lintas negara di awal tahun 2020, pemerintah kini mewacanakan pembatasan perdagangan barang impor secara online demi mencegah produsen asing menguasai pasar dengan menjual dengan tarif predator atau jauh di bawah biaya produksi.

Namun Thomas berpendapat kesalahan mendasar dalam memutuskan pembatasan tersebut melalui revisi Peraturan Kementerian Perdagangan tahun 2020, adalah karena pemerintah tidak memiliki bukti bahwa benar telah terjadi praktek tarif predator di pasar digital di Indonesia.

“Pengurangan harga oleh penjual dengan cara memangkas biaya produksi yang tidak efisien adalah hal yang bukan hanya fair, tetapi justru diharapkan untuk memicu efisiensi pada skala yang lebih besar melalui proses kompetisi. Demikian juga halnya dengan peningkatan volume produksi untuk menurunkan biaya produksi per unit yang bukan merupakan tarif predator,” jelasnya dalam rilis yang diterima IDN Times, Sabtu (12/6/2021).

2. Preseden buruk bagi ekonomi

Mitos Predatory Pricing di Pasar Digital Rugikan Banyak PihakIlustrasi Belanja (IDN Times/Arief Rahmat)

Ia lebih lanjut mengatakan bahwa mengkategorikan sebagai “predator” produsen yang berhasil memperluas porsi pasarnya dengan produktivitas yang tinggi atau pengelolaan biaya yang baik, merupakan preseden buruk bagi ekonomi karena justru akan menghambat kompetisi dan inovasi di pasar.

Menurut Thomas pada prinsipnya, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai praktik tarif predator apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu perusahaan predator menetapkan harga di bawah biaya produksi, mengalahkan pesaing untuk mendominasi pasar dan setelahnya menetapkan harga yang sangat tinggi untuk menutup kerugian mereka. Ketiadaan unsur-unsur ini membuat pelabelan tarif predator pada pelaku usaha menjadi tidak berdasar.

Ia juga menyebut bahwa upaya membedakan antara harga predator dan harga kompetitif memang tidak mudah. Namun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengeluarkan pedoman dengan berbagai opsi pengujian untuk menentukan apakah predatory pricing berada dibalik rendahnya suatu harga, katanya.

Thomas juga menyatakan pangsa pasar yang kecil dari pelaku usaha asing dengan sendirinya mengurangi kemungkinan terjadinya praktik tarif predator, karena akan sangat tidak efisien bagi mereka untuk memaksa mendorong para pelaku usaha lokal keluar dari pasar hanya dengan instrumen harga.

“Selanjutnya, tingginya partisipasi pelaku usaha eceran pada pasar digital juga menandakan bahwa pembatasan kuota terhadap peredaran barang asing juga akan melukai tidak hanya para pembeli, tetapi juga para UKM eceran tersebut. Karenanya, opsi ini harus diberikan prioritas yang paling rendah,” jelas Thomas.

Baca Juga: Mengenal Predatory Pricing, Praktik yang Dibenci Jokowi

3. Tindakan yang dapat merugikan konsumen

Mitos Predatory Pricing di Pasar Digital Rugikan Banyak PihakIlustrasi Belanja E-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Thomas menyampaikan bahwa pemerintah justru harus melakukan hal sebaliknya, yaitu dengan menjadikan dukungan terhadap UKM sebagai prioritas revisi Permen No. 50/2020. Mengurangi hambatan dalam memasuki pasar digital dengan menimbang ulang pemberlakuan persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online adalah awal yang baik yang dapat mendorong lebih banyak UKM memasuki pasar digital dan menarik manfaat darinya, sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku predator. 

Dengan itu, perusahaan predator akan sulit membebani konsumen dengan harga tinggi untuk menutup kerugian mereka, karena ini hanya akan menarik pemain baru yang dapat menawarkan harga yang lebih rendah.

“Apabila Kementerian Perdagangan tidak dapat membuktikan adanya predatory pricing, menghukum produsen dengan harga rendah akan menjadi manuver yang berbahaya yang tidak hanya merugikan konsumen dan UKM dalam negeri, tetapi juga akan mengakibatkan berlakunya harga pasar yang lebih mahal dari harga optimal,” terangnya.

Baca Juga: Bela UMKM, Mendag Siap Libas Praktik Predatory Pricing

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya