Anak Buah Sri Mulyani Beberkan Alasan Sembako Dipungut PPN

Pajak sembako tidak akan diterapkan dalam waktu dekat

Jakarta, IDN Times - Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Perpajakan, Yustinus Prastowo memastikan bahwa pemerintah tidak akan serta merta langsung memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok alias sembako dalam waktu dekat ini.

Hal itu berkaitan dengan situasi dan kondisi saat ini yang masih dilanda pandemik COVID-19. Menurut dia, pemerintah tidak akan merusak upaya pemulihan ekonomi yang sudah dilakukan sejak lama.

"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemik. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati-matiaan justru dibunuh sendiri. Mustahil!" tulis Yustinus, melalui akun Twitter pribadinya (@prastow), seperti dikutip IDN Times, Kamis (10/6/2021).

Yustinus memastikan, pemerintah tidak memiliki niat untuk mengeksekusi rencana pungutan PPN terhadap sembako dalam waktu dekat ini.

Namun, pemerintah justru merasa bahwa pandemik COVID-19 menjadi saat tepat untuk memikirkan dan merancang segenap kebijakan yang berkaitan untuk menambah pendapatan dari sektor penerimaan perpajakan.

"Maka sekali lagi, ini saat yg tepat merancang dan memikirkan, bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini," ungkap Yustinus.

Baca Juga: Waduh! Sembako Bakal Kena PPN 12 Persen

1. Alasan pemerintah wacanakan kenaikan tarif PPN

Anak Buah Sri Mulyani Beberkan Alasan Sembako Dipungut PPNIlustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Yustinus pun mengaku maklum terhadap kekecewaan masyarakat terkait rencana pemerintah yang ingin menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen.

Di sisi lain, dia mengungkapkan bahwa pemerintah memang harus mengoptimalkan penerimaan pajak, terutama ketika pandemik COVID-19 benar-benar bisa diatasi dan hilang dari muka bumi.

"Maka pemerintah mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR untuk bersama-sama memikirkan, jika saat pandemik kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemik? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak," jelas Yustinus.

Terkait optimalisasi penerimaan pajak, Yustinus membeberkan fakta bahwa kinerja perpajakan Indonesia selama lima tahun terakhir tidaklah optimal kendati nominalnya terus meningkat.

"Meski 5 tahun terakhir secara nominal naik, tapi belum optimal untuk membiayai banyak target belanja publik agar kita transform lebih cepat. Terlebih 2020, karena pandemik penerimaan pajak tergerus cukup dalam. Kita justru kasih insentif," sambungnya.

Baca Juga: Pemerintah Bakal Kenakan Sembako PPN 12 Persen, Ini Daftarnya

2. Penerimaan PPN juga belum optimal

Anak Buah Sri Mulyani Beberkan Alasan Sembako Dipungut PPNIlustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Yustinus pun turut mengungkapkan alasa dibalik belum optimalnya penerimaan PPN. Salah satu halnya adalah karena Indonesia terlalu banyak memberikan pengecualian dan fasilitas.

Di satu sisi, Yustinus mengakui itu sebagai suatu hal yang baik, tetapi di sisi lainnya hal itu justru kerap kali distortif dan tidak tepat serta sering menjadi ruang penghindaran pajak.

"Saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" tulis dia.

Kebijakan seperti itu, lanjut Yustinus, kemudian membuat tujuan pemajakan tidak bisa tercapai lantaran si kaya tidak membayar akibat mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenai PPN.

"Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair. Caranya? Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong," jelasnya.

3. Beberapa negara di dunia juga mulai memikirkan skema optimalisasi penerimaan pajak

Anak Buah Sri Mulyani Beberkan Alasan Sembako Dipungut PPNIlustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Berkaitan dengan itu semua, Yustinus mengajak masyarakat untuk melihat negara-negara lain di dunia yang juga tengah berencana mengoptimalkan penerimaan pajaknya.

Yustinus menyampaikan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21 persen menjadi 28 persen.

Kemudian, ada Inggris yang juga berupaya untuk menaikkan tarif PPh badan menjadi 23 persen dari sebelumnya hanya 19 persen.

"Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk memikirkan optimalisasi pajak untuk sustainabilitas," imbuh Yustinus.

Adapun, dari sisi PPN, Yustinus menerangkan bahwa ada 15 negara yang menyesuaikan tarif PPN guna membantu pembiayaan penanganan pandemik. Tak heran jika kemudian rerata tarif PPN di 127 negara mencapai 15,4 persen, berbanding terbalik dengan Indonesia yang masih 10 persen.

Bukan hanya itu, ada beberapa negara di dunia yang juga telah menerapkan kebijakan multitarif PPN atau tarif yang diberikan tidaklah tunggal atau tidak pasti.

Negara-negara tersebut di antaranya adalah Austria sebesar 13-20 persen, Kolombia 5-19 persen, Republik Ceko 15-21 persen, Prancis 10-20 persen, dan Yunani 13-24 persen serta beberapa negara lainnya.

"Ternyata banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dengan adagium lama 'semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil', dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil," kata Yustinus.

Baca Juga: Sembako Kena PPN 12 Persen? Pedagang Pasar dan Peritel Gak Setuju!

Topik:

  • Hana Adi Perdana
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya