Kemenkeu: Biaya Global Dibutuhkan untuk Atasi Perubahan Iklim

Indonesia punya kepentingan dalam agenda perubahan iklim

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu), Febrio Kacaribu, meminta pemerintahan di seluruh dunia menyiapkan biaya penanganan perubahan iklim. Sebab isu perubahan iklim atau climate change telah menjadi agenda global.

"Nah karena ini adalah global public goods, dengan demikian biaya yang kita butuhkan untuk melakukan climate change agenda harusnya adalah biaya global, bukan hanya biaya Indonesia saja," kata Febrio, dalam Seminar on Strategic Issue in G20: Exit Strategy and Scarring Effect, Kamis (17/2/2022).

Adapun global public goods yang dimaksud Febrio berkaitan dengan emisi karbon yang berhasil direduksi di Indonesia akan sama dengan reduksi emisi karbon secara global.

"Emisi yang kita kurangi di Indonesia memperlambat pemanasan global dan seluruh dunia diuntungkan," ujar dia.

1. Sustainable finance dibentuk untuk biaya global penanganan perubahan iklim

Kemenkeu: Biaya Global Dibutuhkan untuk Atasi Perubahan IklimIndonesia Menjadi Presidensi G20 di Tahun Ini dengen Tema "Recover Together, Recover Stronger" (www.kemenkeu.go.id)

Febrio menambahkan, logika tersebut yang saat ini dibangun dalam Presidensi G20 Indonesia 2022. Seluruh negara yang menjadi anggota G20 kemudian membentuk kelompok kerja atau working group yang diberi nama Sustainbale Finance.

"Jadi memang namanya finance track karena kemana pun logika kita, konsensus terjadi mau masalah kesehatan, digital economy, apalagi transisi energi buntut-buntutnya masalah uang," katanya.

Baca Juga: Ngeri, Ini Efek Domino Perubahan Iklim bagi Sektor Pertanian

2. Indonesia punya kunci penanganan perubahan iklim

Kemenkeu: Biaya Global Dibutuhkan untuk Atasi Perubahan IklimIlustrasi hutan (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Di sisi lain, Febrio menjelaskan bahwa Indonesia memiliki kunci penanganan perubahan iklim yang sangat diandalkan dunia.

Hal itu adalah keberadaan hutan di dalam negeri. Indonesia tercatat sebagai negara dengan luas hutan terbesar di dunia bersamaan dengan Brasil dan Kongo.

"Indonesia punya resources yang sangat diandalkan dunia untuk mengendalikan perubahan iklim tersebut, tapi Indonesia juga menjadi salah satu negara yg menyumbang polusi walaupun secara per kapita rendah, tapi secara total relatif cukup besar," ujar Febrio.

Guna mencapai 29 persen penurunan emisi karbon pada 2030 nanti, sektor kehutanan berkontribusi lebih dari 50 persen target yang dicanangkan oleh pemerintah.

"Itu sekitar 500-an juta ton CO2 untuk kita kurangi. Lalu sektor kedua yang terbesar sekitar 300-an juta ton untuk komitmen kita sekarang itu adalah sektor energi dan transportasi. Dua sektor ini saja sudah 97 persen dari target kita," ucap Febrio.

3. Indonesia jadi negara dengan risiko perubahan iklim terbesar

Kemenkeu: Biaya Global Dibutuhkan untuk Atasi Perubahan IklimIlustrasi aksi perubahan iklim (IDN Times/Dhana Kencana)

Dalam kesempatan tersebut, Febrio menekankan bahwa Indonesia menjadi satu dari sekian banyak negara di dunia yang menghadapi risiko perubahan iklim terbesar.

Oleh karena itu, Indonesia sangat berkepentingan untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam agenda perubahan iklim tiap forum global yang salah satunya adalah Presidensi G20.

Dampak perubahan iklim pun bakal dirasakan oleh semua kalangan, tak terkecuali nelayan dan petani.

"Apa hubungannya pemanasan global petani, nelayan? Oh sangat. Ketika pemanasan global terjadi, sea level naik, permukaan laut meningkat, lahan yang ada di pesisir hilang, pulau-pulau bisa tenggelam. (Perubahan iklim) berdampak pada perekonomian seperti Indonesia yang adalah kepulauan. Belum lagi perubahan iklim menciptakan iklim yang semakin tidak bisa diprediksi, panen kemudian menjadi sangat eratik," kata Febrio.

Baca Juga: 5 Kota Peduli Perubahan Iklim Versi ITB

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya