Menelaah Ketentuan Pajak Karbon dalam UU HPP yang Baru Disahkan

Ketentuan pajak karbon terdapat dalam Pasal 13 Bab IV UU HPP

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada awal Oktober silam. Ketentuan soal pajak karbon menjadi satu di dalam undang-undang ini.

Penerapan pajak karbon adalah hal baru di Indonesia bahkan dunia. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, pada saat konferensi pers setelah pengesahan UU HPP mengatakan, pengaturan pajak karbon di dalam UU HPP merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional.

"Perlu pengendalian peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi sehingga akan menurunkan risiko perubahan iklim dan bencana di Indonesia," ucap Sri Mulyani, 7 Oktober lalu.

Berikut ini beberapa ketentuan terkait pajak karbon yang terdapat di dalam Pasal 13 Bab IV tentang Pajak Karbon di UU HPP.

Baca Juga: Mengenal Pajak Karbon yang Siap Diterapkan Pemerintah Tahun Depan

1. Pengenaan pajak karbon memperhatikan peta jalan pasar karbon

Menelaah Ketentuan Pajak Karbon dalam UU HPP yang Baru Disahkanilustrasi emisi karbon dioksida (pexels.com/Pixabay)

Pada Bab IV UU HPP, di dalam Pasal 13 ayat 2, pengenaan pajak karbon yang dikenakan atas emisi karbon dengan dampak negatif bagi lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan roadmap atau peta jalan pasar karbon.

Dalam paparannya, Sri Mulyani menjelaskan, peta jalan pajak karbon yang disusun pemerintah dimulai sejak tahun ini hingga 2025 mendatang.

Peta jalan pajak karbon tahun ini dimulai dengan pembahasan dan penetapan UU HPP dengan salah satu klausulnya adalah pajak karbon. Setelah itu, pemerintah akan melakukan finalisasi terhadap rancangan peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon dan kemudian melakukan pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon.

Terakhir adalah dengan melakukan piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan harga rata-rata Rp30 ribu per ton carbon dioxide equivalen (CO2e).

Sementara itu, peta jalan pajak karbon pada 2022 dimulai dengan penetapan cap untuk sektor pembangkit listrik batu bara oleh Kementerian ESDM. Selanjutnya pada 1 April 2022, memulai penerapan pajak karbon (cap & tax) secara terbatas pada PLTU batu bara dengan tarif Rp30 ribu per ton CO2e.

Kemudian pada 2025, pemerintah bakal mengimplementasikan perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon. Berikutnya adalah dengan memperluas sektor pemajakan pajak karbon dengan pentahapan sesuai dengan kesiapan sektor dan terakhir adalah dengan menetapkan aturan pelaksana pajak karbon (cap & tax) untuk sektor lainnya.

Adapun peta jalan pajak karbon tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR seperti tertulis di dalam ayat 4.

"Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi ayat tersebut.

Baca Juga: Peraturan Pajak Karbon di UU HPP Dinilai Masih Belum Jelas

2. Subjek pajak karbon

Menelaah Ketentuan Pajak Karbon dalam UU HPP yang Baru DisahkanIlustrasi industri pabrik (IDN Times/Arief Rahmat)

Pasal 13 pun turut menjelaskan soal subjek pajak karbon. Hal itu tertuang di dalam ayat 5 yang berbunyi seperti berikut.

"Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon."

Subjek pajak karbon yang masuk dalam kriteria tersebut nantinya akan dikenakan pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Hal ini tercantum di dalam Pasal 13 ayat 6 UU HPP.

Kapan subjek pajak akan terutang pajak karbon?

Saat terutang pajak karbon dimulai dari tiga momen seperti tercantum di dalam Pasal 13 ayat 7 UU HPP. Saat terutang pajak karbon pertama adalah pada saat pembelian barang yang mengandung karbon. Kedua adalah pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Atau, saat lain yang diatur lebih lanjut dengan berdasarkan peraturan pemerintah.

Baca Juga: Kementerian ESDM: Belum Ada Jaminan Pajak Karbon Khusus untuk Emisi

3. Penerimaan dari pajak karbon

Menelaah Ketentuan Pajak Karbon dalam UU HPP yang Baru DisahkanIlustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Keputusan pemerintah untuk mengatur soal pajak karbon di dalam UU HPP didasari oleh komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, idealnya penerimaan dari pajak karbon digunakan untuk berpartisipasi dalam pengendalian perubahan iklim.

Namun, alih-alih menjadi sebuah kewajiban, alokasi penerimaan pajak untuk pengendalian perubahan iklim masih menjadi sebuah pilihan seperti apa yang tertulis di dalam Pasal 13 ayat 11 UU HPP.

"Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," bunyi ayat tersebut.

Alokasi penerimaan pajak untuk pengendalian perubahan iklim pun harus diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Ketetapan tersebut tercantum dalam ayat 14 b Pasal 13 UU HPP.

4. Pemerintah siapkan aturan lain guna mendukung kebijakan pajak karbon di UU HPP

Menelaah Ketentuan Pajak Karbon dalam UU HPP yang Baru DisahkanGedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu). (IDN Times/Helmi Shemi)

Pajak karbon merupakan suatu hal yang kompleks mengingat bakal melibatkan banyak pihak dalam pengaplikasiannya tahun depan. Oleh karena itu, pemerintah akan menyiapkan sejumlah aturan turunan guna mendukung poin-poin yang saat ini ada di dalam Pasal 13 UU HPP.

Beberapa Peraturan Pemerintah bakal disiapkan untuk mengatur penetapan dan perubahan tarif pajak karbon, penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon, dasar pengenaan pajak karbon, alokasi penerimaan pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim, dan saat terutang pajak karbon.

Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) juga bakal disiapkan guna mengatur ketentuan mengenai tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran, atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya