Apa itu Pajak Karbon yang Diandalkan Jadi Pengendali Krisis Iklim

Penerapan pajak karbon molor dua tahun

Jakarta, IDN Times - Wacana tentang pajak karbon sudah disampaikan pemerintah sejak 2021. Bahkan, pemerintah sempat menyampaikan akan menerapkan pajak karbon mulai April 2022. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 13 pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Meski demikian, implementasi pajak karbon belum diterapkan hingga kini. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan semuanya masih dalam perhitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Itu lagi yang sedang dihitung, tadi sama Pak Suahasil (Wakil Menteri Keuangan). Semua ini masih paralel," kata Luhut saat peluncuran Bursa Karbon Indonesia di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Pajak karbon merupakan instrumen perpajakan baru yang ada di Indonesia. Pemerintah mengklaim pajak karbon juga akan menjadi instrumen pengendali perubahan iklim.

Namun apa sebenarnya pajak karbon dan bagaimana mekanismenya? Banyak pihak termasuk pelaku usaha dan masyarakat umum yang belum memahami secara utuh bagaimana pajak karbon akan diterapkan.

Berikut ini IDN Times sajikan sejumlah informasi agar bisa membuat kamu memahami apa itu pajak karbon.

Baca Juga: Bursa Karbon Resmi Meluncur Hari Ini, Apa Kabar Pajak Karbon?

1. Apa itu pajak karbon

Apa itu Pajak Karbon yang Diandalkan Jadi Pengendali Krisis IklimIlustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Pajak karbon merupakan salah satu instrumen untuk memitigasi peningkatan emisi karbon atau CO2 di Indonesia. Namun sebelum membahas pajak karbon, ada baiknya jika kamu memahami bahwa ada yang disebut sebagai carbon pricing atau jika di Indonesia disebut sebagai Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Board Member of Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Group, Megain Widjaja menjelaskan, NEK adalah sebuah mekanisme pemberian dana atau valuation terhadap gas rumah kaca atau karbon yg dihasilkan.

"NEK ini sebenarnya memperhitungkan externality cost yang maksudnya adalah bagi para polluter (pelaku usaha yang menghasilkan karbon) bahwa harga polutan itu masuk dalam cost structure," kata Megain, dalam acara "Ngobrol Seru: Kontroversi Pajak" yang digelar IDN Times, Jumat (15/10/2021).

Dia kemudian menganalogikan karbon tersebut seperti sampah yang dihasilkan oleh perusahaan atau individu. Perusahaan atau individu biasanya membayar orang untuk menyingkirkan sampah dari lingkungan mereka karena jika tidak membayar maka konsekuensi yang diterima tidaklah menyenangkan.

Lingkungan akan menjadi bau, tidak higienis, dan tidak enak dilihat mata. Megain menyatakan, hal itu sama dengan karbon. Namun, perbedaannya adalah karbon yang merupakan polusi saat ini dibayar oleh masyarakat, bukan perusahaan yang menghasilkan karbon tersebut.

"Kalau misalnya kita mengeluarkan polusi karbon atau gas rumah kaca, pertanyaannya siapa yang bayar selama ini? Yang bayar selama ini adalah publik atau social. Jadi, semua perusahaan yang menimbulkan polusi ini mereka bisa mendapatkan profit tapi at the expense of other people. Itu kan berarti biaya eksternalitas yang harus dipertanggungjawabkan oleh para polluter ini," ujar dia.

Dengan demikian, pajak karbon dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat pelaku usaha bertanggung jawab secara signifikan terhadap karbon yang dihasilkan dari sistem produksi mereka.

"Misalkan ada perusahaan atau pabrik tertentu, mereka menimbulkan polusi bagi air. Polusi air ini misalnya selama ini dilakukan begitu saja, tetapi kalau misalnya mereka harus membayar polusi tersebut, mereka akan berpikir bagaimana caranya melakukan efisiensi terhadap limbahnya atau mungkin juga mengurangi polusi atau menggunakan cost itu untuk membantu village atau orang-orang yang terkena impact dari polusi tersebut," papar Megain.

2. Fungsi pajak karbon

Apa itu Pajak Karbon yang Diandalkan Jadi Pengendali Krisis IklimIlustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Pajak karbon merupakan upaya membuat pengusaha bertanggung jawab terhadap polusi atau karbon yang dihasilkan. Selain itu, pajak karbon menjadi strategi Indonesia untuk mewujudkan target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca pada 2030 nanti.

Indonesia sebagai negara yang tergolong rawan terhadap perubahan iklim telah berkomitmen dalam Paris Agreement untuk terlibat penuh dalam upaya global mengurangi dampak perubahan iklim.

Target Indonesia pada 2030 mendatang adalah berhasil menurunkan 29 persen emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri dan 41 persen berkat dukungan internasional.

"Indonesia punya komitemne menurunkan emisi, tetapi menurunkan emisi ini kan butuh effort luar biasa dan harus ada strateginya. Jadi, salah satu strategi yang selama ini sudah diperbincangkan sejak beberapa tahun lalu adalah mengenai mekanisme carbon pricing atau pajak karbon," kata Megain.

Baca Juga: Pajak Karbon Molor Setahun, Sri Mulyani: Masih Siapkan Instrumen 

2. Besaran nilai tarif pajak karbon di Indonesia terlalu murah?

Apa itu Pajak Karbon yang Diandalkan Jadi Pengendali Krisis IklimIlustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Berangkat dari definisi dan tujuan tersebut, pemerintah kemudian memasukkan pajak karbon ke dalam UU HPP sebagai instrumen perpajakan baru. Untuk tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).

Tarif Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan, sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, satu poin tentang pajak karbon dalam UU HPP yang bisa menjadi persoalan adalah mengenai harga Rp30 ribu per ton CO2e. Fabby menilai harga yang ditetapkan pemerintah tersebut sangat rendah dan jauh dari rekomendasi dari Commision on Carbon Prices.

"Itu kemurahan karena kalau kita ambil rekomendasi Commision on Carbon Prices untuk global carbon price adalah 40 dolar per ton, kemudian naik menjadi 80 dolar per ton pada 2030," kata Fabby.

Harga yang murah diyakini Fabby tidak akan memberikan efek yang diharapkan dari penerapan pajak karbon. Adapun, efek tersebut adalah perubahan perilaku dari para pelaku usaha untuk mengurangi atau bahkan tidak memproduksi polusi atau karbon.

"Karena ini merefleksikan social cost of carbon. Kalau emisi itu naiknya tinggi efeknya pada GDP misalnya itu bisa dihitung dan cost untuk mengatasi bencana lingkungnan, bencana alam karena kenaikan emisi gas rumah kaca dan pemanasan global itu harus dicegah sehingga dikasihlah harga itu (rekomendasi Commision on Carbon Prices)," kata dia.

Senada dengan Fabby, Megain juga menyampaikan bahwa harga Rp30 per kilogram CO2e tidaklah ideal. Namun, dia memaklumi hal tersebut dan menganggap itu sebagai strategi pemerintah agar tidak menimbulkan efek kejut terlalu besar di pasar.

"(Harga) 30 apakah ideal? Maybe not, but could be better. Jadi, mungkin ini salah satu pertimbangan pemerintah bagaimana caranya melakukan transisi supaya tida ada shock di dalam market," ujar Megain.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara pun pernah menanggapi pernyataan media terkait penerapan harga pajak karbon tersebut. Menurut dia, tarif Rp30 per kilogram CO2e yang ada dalam UU HPP adalah tarif minimal. Tarif tersebut perlu disesuaikan dengan harga karbon.

4. Pajak karbon bukan untuk hasilkan revenue

Apa itu Pajak Karbon yang Diandalkan Jadi Pengendali Krisis IklimInfografis Tarik Ulur Pajak Karbon di Indonesia (IDN Times/Aditya Pratama)

Kementerian Keuangan mengaku masih menyiapkan instrumen pajak karbon yang hingga kini belum juga diberlakukan. Pada Mei 2023, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan pihaknya  

Instrumen ini sedianya akan diberlakukan pada April 2022, namun kemudian targetnya mundur ke Juli 2022. Pelaksanannya kembali molor dan hingga kini belum jelas kapan pajak karbon akan diterapkan.

Dia mengatakan pajak karbon bukan sekadar instrumen untuk menambah penerimaan negara. Pajak karbon merupakan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca atau untuk mencapai target net zero emission di 2060.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan, penerapan pajak karbon memang perlu disinkronkan dengan keseluruhan sistem perpajakan Indonesia. Hal itu lantaran peran dari pajak karbon bukan untuk menghasilkan revenue atau penerimaan negara.

"Agak beda dengan pajak yang lain, tapi justru untuk menjadi insentif dan disinsentif objek pajak untuk memperoleh unit pengurangan emisi karbon. Jadi esensinya itu. Bukan untuk revenue. Beda kalau dengan pajak-pajak lain yang targetnya untuk pendapatan negera dan kemudian menjadi sumber belanja negara di APBN," papar Mahendra saat peluncuran Bursa Karbon Indonesia di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Baca Juga: Ada Pajak Karbon, Pemukim Dekat Pabrik Dapat Kompensasi yang Adil

5. Kesiapan pemerintah terapkan pajak karbon

Apa itu Pajak Karbon yang Diandalkan Jadi Pengendali Krisis IklimIlustrasi pajak karbon. (sumber: itep.org)

Mahendra berharap implementasi pajak karbon bisa sesuai dengan peta jalan alias roadmap yang telah diluncurkan pemerintah.

"Lagi lagi itu kewenangan dari Bu Menteri Keuangan. Kita harapkan dalam waktu yang bisa masuk dalam roadmap itu sehingga orang bisa melihat bagaimana prospek perkembangan ke depan komitmen kita," tutur Mahendra.

Secara keseluruhan, banyak hal yang perlu disiapkan pemerintah sebelum menerapkan pajak karbon di Indonesia. IESR menilai aturan mengenai pajak karbon di dalam UU HPP masih dianggap belum jelas. 

"Jadi menurut saya memang apa yang tertulis di undang-undang sekarang belum jelas. Nanti akan tergantung lewat roadmap yang harus dapat persetujuan DPR dan lain-lain. Menurut saya nanti akan lebih kelihatan kalau pemerintah sudah menyusun PP-nya, kemudian mungkin PMK-nya," ujar Fabby.

Menurut Fabby, pemerintah perlu segera mempersiapkan segala peraturan pendukung tersebut mengingat waktu penerapan pajak karbon tidak akan lama lagi. Peraturan pendukung juga penting agar tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon atau gas rumah kaca bisa terealisasi.

Selain itu, peraturan pendukung tersebut juga penting agar para pelaku usaha yang memproduksi karbon bisa dengan jelas mendapatkan informasi dan ketentuan perihal pajak karbon. Alasan lainnya agar peraturan pendukung segera dirilis adalah berkaitan dengan pihak-pihak yang mungkin terlibat dalam penerapan pajak karbon ini.

"Misalnya urusan penarikan pajak, itu kan ditariknya oleh Ditjen Pajak di bawah Kemenkeu, kemudian kalau itu dikaitkan dengan target penurunan emisi gas rumah kaca maka itu ada di bawah kendali KLHK. Nah kalau berkaitan dengan misalnya sektor ketenagakerjaan kelistrikan dalam hal ini PLTU itu adalah ESDM dan kalau nanti mau diaplikasikan ke sektor industri ada Kemenperin," ujar Fabby.

Demikian penjelasan mengenai apa itu pajak karbon, semoga bermanfaat!

Topik:

  • Hana Adi Perdana
  • Anata Siregar
  • Mohamad Aria

Berita Terkini Lainnya