Rekam Jejak Perekonomian Era Soeharto, Presiden Favorit versi Survei

Kondisi perekonomian Indonesia naik turun selama tiga dekade

Jakarta, IDN Times - Tepat setahun yang lalu lembaga survei Indo Barometer merilis daftar presiden paling disukai masyarakat. Hasilnya, Soeharto menjadi presiden nomor satu favorit masyarakat dengan raihan presentase 23,8 persen.

Posisinya diikuti Joko Widodo 23,4 persen, Soekarno 23,3 persen, Susilo Bambang Yudhoyono 14,4 persen, BJ Habibie 8,3 persen, Abdurrahman Wahid 5,5 persen, dan terakhir Megawati Soekarnoputri 1,2 persen.

Pemerintahan Soeharto yang kala itu diklaim mampu menjaga perekonomian lewat ketersediaan dan stabilitas harga bahan pokok, dinilai Indo Barometer sebagai salah satu kunci Soeharto masih disukai masyarakat Indonesia.

Pada dasarnya perekonomian selama Orde Baru atau masa pemerintahan Soeharto dibagi dalam tiga periode yang masing-masing periode memiliki kebijakan spesifik.

1. Periode 1966-1973

Rekam Jejak Perekonomian Era Soeharto, Presiden Favorit versi SurveiIDN Times/Vanny El Rahman

Orde Baru pemerintahan Soeharto dimulai pada 1966 dan misi dasarnya adalah melakukan pembangunan atau pemulihan ekonomi.

Langkah awalnya adalah dengan bergabung kembali dengan International Monetery Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Bank Dunia setelah pada periode kepemimpinan Soekarno Indonesia keluar dari seluruh keanggotaan organisasi tersebut. Begitu langkah tersebut direalisasikan, aliran bantuan keuangan dari negara-negara Barat dan juga Jepang mulai masuk ke Indonesia.

Langkah berikutnya adalah dengan mengatasi hiperinflasi lewat bantuan sejumlah teknokrat ekonomi didikan Amerika Serikat (AS) yang diminta Soeharto membuat rencana pemulihan ekonomi.

Pada medio akhir 1960-an, Soeharto menciptakan stabilitas harga dengan kebijakan yang melarang pendanaan dalam bentuk hutang domestik maupun pencetakan uang. Selain itu mekanisme pasar bebas dan Undang Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mulai diimplementasikan pada 1967 dan 1968.

Imbasnya, investor mulai banyak berinvestasi di Indonesia sehingga ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan 10 persen pada 1968.

2. Periode 1974-1982

Rekam Jejak Perekonomian Era Soeharto, Presiden Favorit versi SurveiIlustrasi Soeharto (IDN Times/Mardya Shakti)

Pada periode ini, pemerintahan Soeharto terus menjaga pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan batas minimum 5 persen, setidaknya hingga akhir 1982. Pertumbuhan ekonomi cepat nan stabil tersebut tak terlepas dari dua peristiwa oil boom yang berlangsung selama periode 1970-an.

Oil boom pertama terjadi pada 1973/1974 saat Organization of Petroleum-Exporting Countries (OPEC) memotong ekspornya secara drastis dan menimbulkan kenaikan harga minyak yang gila-gilaan.

Sementara oil boom kedua terjadi pada 1978/1979 akibat Revolusi Iran yang mengganggu produksi minyak dunia. Kedua oil boom ini kemudian berimbas pada besarnya pendapatan ekspor Orde Baru sehingga pendapatan pemerintah pun ikut meningkat tajam.

Pencapaian tersebut membuat segala sektor publik mulai bisa mengambil peran lebih banyak lewat investasi dalam pembangunan daerah, pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial, dan pendirian industri-industri skala besar. Pada saat itu juga, pemerintah sudah banyak mengimpor bahan-bahan mentah dan barang modal lantaran pendapatan devisa yang juga turut mengalami kenaikan signifikan.

Satu kejadian yang dikenal sebagai Peristiwa Malari pada 1974 sempat memukul ekonomi dalam negeri. Kerusuhan besar itu diawali dengan adanya anggapan bahwa investasi asing di Indonesia sudah semakin besar dan menyingkirkan masyarakat Indonesia yang tidak bisa merasakan pertumbuhan ekonomi cepat nan stabil saat itu.

Selepas peristiwa itu, pemerintahan Soeharto mengatur kembali kebijakan tentang investasi asing dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat pribumi.

Baca Juga: 5 Warisan Presiden Soeharto untuk Indonesia Kala 31 Tahun Berkuasa

3. Periode 1983-1996

Rekam Jejak Perekonomian Era Soeharto, Presiden Favorit versi SurveiWikimedia.org/ The Office of the Vice President of the Republic of Indonesia

Memasuki periode akhir kepemimpinan Soeharto, perekonomian Indonesia cukup babak belur imbas dari harga minyak yang mulai jatuh kembali pada awal 1980-an. Selain itu, utang luar negeri Indonesia juga turut bertambah imbas dari reposisi mata uang pada 1985.

Tak ayal jika kemudian Soeharto dengan segenap tenaga bersama dengan kabinetnya berupaya memulihkan stabilitas makroekonomi dalam negeri. Soeharto kemudian mendevaluasi nilai rupiah pada 1983 guna mengurangi defisit transaksi berjalan yang terus tumbuh.

UU Pajak baru kemudian diterapkan untuk menambah pendapatan negara dari pajak non-minyak. Beberapa tindakan deregulasi perbankan juga dilakukan seperti penghapusan credit ceilings untuk suku bunga dan pemberian izin bagi bank untuk bebas menentukan tingkat suku bunga.

Segala macam deregulasi kebijakan dilakukan oleh Soeharto yang bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi bagi para investor swasta.

Kebijakan yang dikeluarkan Soeharto saat itu pada awalnya memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Hasilnya pada periode antara 1988 hingga 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh dengan rata-rata 9 persen setiap tahunnya meski kemudian mengalami perlambatan menjadi rata-rata 7,3 persen pada selama 1991-1994.

Di sisi lain, sektor keuangan pun tak luput dari tindakan deregulasi yang dilakukan oleh Soeharto. Bank-bank swasta baru diberikan izin untuk berdiri, sedangkan bank-bank yang sudah berdiri diberikan kebebasan untuk mendirikan cabang-cabang di penjuru negeri dan bank asing pun memiliki kebebasan untuk beroperasi di luar Jakarta.

Hal itu yang kemudian nantinya berujung pada krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan hingga akhir 1990-an dan puncaknya krisis moneter pecah jelang kejatuhan Soeharto pada 1998.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya