UU Ciptaker Lagi Direvisi, Ini Poin Krusial Turunannya soal Pengupahan

MK putuskan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) alias Omnibus Law bertentangan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Atas putusan tersebut, MK meminta pemerintah untuk merevisi UU Ciptaker dalam kurun waktu dua tahun terakhir atau berstatus inkonstitusional.

MK juga melarang pemerintah untuk membuat peraturan turunan dari UU tersebut. Namun, bagi peraturanan turunan yang sudah ada masih akan berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan ada sejumlah aturan turunan yang masih berlaku seiring dengan adanya putusan MK tersebut.

Aturan turunan yang masih berlaku tersebut salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan bagi pekerja atau buruh. Beleid tersebut diteken Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 2 Februari 2021.

Keberadaan PP 36/2021 turut membatalkan peraturan lama tentang pengupahan yang sebelumnya ada di dalam PP 78/2015.

Lantas, apa saja hal-hal yang masih berlaku dari sisi pengupahan seiring putusan MK soal UU Ciptaker? Berikut ulasannya.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Revisi UU Ciptaker Akan Dituntaskan Kurang 2 Tahun 

1. Pemerintah pusat bisa mengatur pengupahan dan sanksi bagi pemerintah daerah

UU Ciptaker Lagi Direvisi, Ini Poin Krusial Turunannya soal PengupahanDok. Biro Pers Kepresidenan

Di dalam Pasal 4 beleid tersebut dikatakan, pemerintah pusat bisa menetapkan kebijakan pengupahan. Kebijakan pengupahan ini merupakan program strategis nasional.

Pada ayat 3 Pasal 4 disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kebijakan pengupahan wajib berpedoman pada kebijakan Pemerintah Pusat. Nah, kalau Pemerintah Daerah tidak menetapkan pengupahan minimum sesuai Pasal 25 hingga 27 dapat dikenakan sanksi adminstrati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.

Padahal dalam aturan yang lama, yakni PP 78/, tidak tertulis adanya kewajiban pemerintah daerah mengikuti acuan pengupahan dari pemerintah pusat.

2. Adanya batas atas dan batas bawah upah minimum

UU Ciptaker Lagi Direvisi, Ini Poin Krusial Turunannya soal PengupahanIlustrasi gaji (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada Pasal 25 hingga 30 dijelaskan berbagai aturan penetapan upah minumum baik itu provinsi atau kabupaten/kota yang dilakukan tiap tahunnya.

Selain itu, pada Pasal 25 ayat 2 dijelaskan adanya batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan.

Batas atas upah minimum sebagaimana dimaksud ayat 2 merupakan acuan nilai upah minimum tertinggi yang dapat ditetapkan dan dihitung menggunakan formula sebagai berikut:

Batas atas upah minimum = (rata-rata konsumsi per kapita x rata-rata banyaknya anggota rumah tangga)/rata-rata banyaknya ART bekerja pada setiap rumah tangga.

Sementara rumus batas bawah upah minimum adalah sebagai berikut:

Batas bawah upah minimum = batas atas upah minimum x 50 persen.

Baca Juga: Putusan MK soal UU Ciptaker, Partai Buruh: UMP 2022 Harus Dibatalkan!

3. Aturan baru soal upah di usaha mikro dan usaha kecil

UU Ciptaker Lagi Direvisi, Ini Poin Krusial Turunannya soal PengupahanIlustrasi UMKM. (IDN Times/Aditya Pratama)

Jika sebelumnya tidak ada aturan upah pada usaha mikro dan usaha kecil, pada PP 36/2021 ada aturan yang mengecualikan batasan upah minimum bagi usaha mikro atau kecil seperti yang dijelaskan di atas.

Khusus usaha kecil atau mikro, Pasal 36 PP 36/2021 menyatakan bajwa upah usaha mikro ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, syaratnya:

1. Paling sedikit sebesar 50 persen dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi
2. Nilai upah yang disepakati paling sedikit 25 persen di atas garis kemiskinan tingkat provinsi

4. Hitungan upah untuk pekerja yang dibayar per jam, harian dan bagi hasil

UU Ciptaker Lagi Direvisi, Ini Poin Krusial Turunannya soal PengupahanIlustrasi Upah (IDN Times/Arief Rahmat)

Bagi kamu pekerja yang dibayar per jam, PP 36/2021 juga mengatur soal upah yang berhak kamu dapatkan seperti yang ada pada Pasal 16. Aturan upah per jam ini tidak diatur dalam PP 78/2015. Apa isinya?

Pasal 16 ayat 1 menyatakan penetapan upah per jam ini hanya diperuntukkan untuk pekerja atau buruh yang bekerja secara paruh dan dibayarkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau buruh dan tidak boleh lebih rendah dari hasil perhitungan formula upah per jam dengan rumus sebagai berikut:

Upah per jam = upah sebulan dibagi 126

Angka penyebut, untuk kasus di atas adalah 126, dalam formula perhitungan upah per jam dapat dilakukan peninjauan apabila terjadi perubahan media jam kerja pekerja atau buruh paruh waktu secara signifikan.

Untuk upah harian, diatur sebagai berikut:

  • Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja enam hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 25, atau
  • Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja lima hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 21

Untuk kamu yang bekerja dengan upah berdasarkan satuan hasil, seperti diatur Pasal 18, dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemberi kerja atau pengusaha.

"Penetapan upah sebulan berdasarkan satuan hasil sebagaimana dalam Pasal 14 huruf b untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terakhir yang diterima pekerja atau buruh," tulis aturan tersebut.

Baca Juga: Said Iqbal: Pemerintah Jangan Propagandakan Putusan MK soal Ciptaker

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya