Jejak Kontroversi IMF di Indonesia

Ada spekulasi IMF jadi alat untuk melengserkan Suharto

Bali, IDN Times - "Negara terbesar keempat di dunia memulai sebuah bagian baru dan berisiko dalam sejarahnya hari ini saat Presiden Suharto setuju dengan reformasi ekonomi menyeluruh yang jika dilaksanakan akan membalikkan cara negara itu menjalankan bisnis yang sudah mengakar dalam dan menghambat pertumbuhan ekonominya."

Begitu bunyi paragraf pembuka koran New York Times pada 16 Januari 1998. Saat itu adalah periode yang menancap sangat kuat di ingatan masyarakat Indonesia. Salah satunya karena beredarnya foto fenomenal di mana Suharto menandatangani paket pinjaman US$40 miliar dan disaksikan oleh Direktur Jenderal International Monetary Fund (IMF) Michel Camdessus dengan gaya mengawasi.

1. Negosiasi pertama antara Indonesia dan IMF tidak berhasil

Jejak Kontroversi IMF di IndonesiaANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Puspa Perwitasari

Sebenarnya itu bukan kali pertama Indonesia bernegosiasi dengan IMF. Beberapa bulan sebelumnya, yaitu pada Oktober 1997, IMF dan pemerintah membicarakan tentang program bantuan yang diumumkan sebulan kemudian. Salah satu kesepakatan yang diraih adalah penutupan sebanyak 16 bank. Parahnya, ini justru menimbulkan kepanikan.

Steven Radelet dan Jeffrey Sachs menuliskan dalam bukunya, The Onset of the East Asian Financial Crisis, bahwa kepanikan itu muncul karena IMF tak punya rencana jelas tentang mekanisme penjamin simpanan para nasabah. Apalagi menjelang akhir tahun kondisi kesehatan Suharto menurun. Ini berdampak besar pada anjloknya rupiah.

2. Krisis finansial tak juga selesai, Indonesia dan IMF memasuki negosiasi babak kedua

Jejak Kontroversi IMF di Indonesiawww.seasite.niu.edu

Kesepakatan antara Suharto dan Camdessus pada Januari 1998 itu menandai dimulainya babak kedua masuknya IMF ke dalam kebijakan perekonomian Indonesia yang lebih dalam. Jumlah dana yang sempat disebut sebagai pinjaman terbesar dalam sejarah IMF kala itu, diberikan dengan sederetan syarat-syarat mengikat. 

Indonesia wajib mengimplementasikan, misalnya, reformasi dan privatisasi perbankan serta penghapusan tarif barang-barang impor. Di saat bersamaan, dana subsidi untuk petani dan kelompok miskin dipangkas atau dihapus. Hasilnya tentu mengejutkan bagi sebuah bangsa yang terbiasa mendapatkan keringanan harga bahan-bahan pokok. 

Harga beras, telur dan bahan bakar meroket. Di sisi lain, tingkat penghasilan masyarakat masih tidak berubah. Situasi ini melahirkan keresahan politik. 

Muncul nama-nama seperti Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais yang disebut sebagai penantang Suharto. 

Ia pun meresponsnya dengan lebih otoriter, bahkan mengambinghitamkan warga Tionghoa yang ia tuduh menjadi penyebab hancurnya perekonomian di Indonesia. Keterkaitan antara krisis finansial dan politik ini justru kian menjerumuskan negara ke dalam situasi yang lebih buruk.

3. IMF sempat mengancam batal memberi pinjaman karena kritik Suharto

Jejak Kontroversi IMF di IndonesiaICom/AM IMF-WBG/Puspa Perwitasari

Suharto sendiri menunjukkan keengganan untuk mengimplementasikan seluruh syarat yang menyertai paket pinjaman. Ia menilai prinsip liberal yang diadopsi IMF tak sesuai dengan konstitusi Indonesia. Dana US$3 miliar seharusnya cair pada Maret 1998, tapi IMF memilih menunda usai melihat gelagat pemerintah Indonesia yang dianggap tak berkomitmen.

Seperti dilaporkan Washington Post pada Februari 1998, Camdessus menyurati Suharto yang intinya IMF siap membatalkan paket pinjaman jika ia tak menurut. Camdessus merasa tersinggung dengan pernyataan Suharto yang ingin agar Indonesia mengadopsi sistem moneter Hong Kong yang berlawanan dengan kepentingan lembaganya.

Presiden Amerika Serikat kala itu, Bill Clinton, langsung menghubungi Suharto. Ia membujuk agar Suharto tetap menerima paket pinjaman beserta persyaratan yang diajukan IMF, termasuk di antaranya adalah menyudahi monopoli sejumlah bisnis oleh anak-anak serta keluarganya.

4. Muncul spekulasi Amerika Serikat menggunakan IMF sebagai alat untuk mendepak Suharto

Jejak Kontroversi IMF di IndonesiaANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Jefri Tarigan

Walau berusaha bertahan, tapi situasi memaksa Suharto untuk lengser pada 21 Mei 1998. Suharto turun setelah terjadi kerusuhan di beberapa kota utama Indonesia, termasuk Jakarta. 

Penggantinya, BJ Habibie, dinilai lebih bersedia untuk menjalankan persyaratan dari IMF. Hingga 1999, Indonesia sudah mendapatkan pinjaman US$8,7 miliar. Dikutip dari New York Times, pada Maret tahun itu, IMF kembali menggelontorkan US$460 juta kepada Indonesia.

Spekulasi pun muncul tentang kekuatan eksternal yang tak hanya membuat Suharto harus meninggalkan kursi kekuasaan yang didudukinya selama tiga dekade, tapi juga meruntuhkan perekonomian Indonesia tersebut.

Asia Times menyebut Amerika Serikat menggunakan IMF sebagai alat untuk menjatuhkan rezim Suharto. Ini yang juga diyakini oleh Perdana Menteri Australia saat itu, Paul Keating. Ia melihat Departemen Keuangan Amerika Serikat "cukup sengaja menggunakan keruntuhan ekonomi sebagai sebuah alat untuk mendepak Suharto". 

Kemudian, bekas Menteri Luar Negeri era George HW Bush, Lawrence Eagleburger, mengatakan bahwa, "Kami cukup cerdik saat mendukung IMF sebab lembaga itu menggulingkan [Suharto]. Apakah itu sebuah cara yang bijaksana adalah perkara lain." Bahkan, setelah pensiun Camdessus berujar, "Kami menciptakan kondisi yang mewajibkan Suharto meninggalkan jabatannya."

5. Ada faktor-faktor tertentu yang membuat Suharto akhirnya menuruti IMF

Jejak Kontroversi IMF di IndonesiaANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Veri Sanovri/hp/2018

Menurut Bhima Yudhistira dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ada tiga hal yang bisa dianggap sebagai pendorong mengapa Suharto akhirnya menurut kepada IMF. Hal pertama adalah ketakutan Suharto untuk mundur sebagai presiden bila situasi makin buruk.

"Artinya ada kekhawatiran kalau tidak segera di-bailout kondisi politik semakin buruk, Indonesia chaos, Suharto mundur. Padahal Suharto mundur juga kan pada akhirnya," ujarnya kepada IDN Times. Hal kedua adalah "kuatnya lobi-lobi dari Amerika Serikat untuk meyakinkan Indonesia [agar] mengambil bantuan dari IMF".

Pendorong ketiga adalah keberadaan kelompok yang dinamai "Mafia Berkeley" di mana Emil Salim dan Widjojo Nitisastro dikategorikan sebagai bagian di dalamnya. "[Mereka] orang-orang yang di sekitar Suharto yang berpikiran liberal. Ya, mereka orientasinya melihat bahwa IMF merupakan lembaga yang suci, lembaga yang menjadi malaikat di saat Indonesia terpuruk dalam krisis."

6. Meski utang akhirnya lunas, tapi formula yang diadopsi IMF untuk Indonesia menuai kritikan

Jejak Kontroversi IMF di IndonesiaICom/AM IMF-WBG/Puspa Perwitasari

IMF sendiri mendapatkan banyak kritikan terkait persyaratan yang diberikan kepada Indonesia. Dr Stephen Sherlock dari Foreign Affairs, Defence and Trade Group Australia kala itu menulis bahwa formula yang digunakan IMF—yaitu dengan menggabungkan paket pinjaman finansial dan program reformasi ekonomi—tidak cocok bagi Indonesia.

IMF juga dinilai menciptakan "risiko moral". Ini karena IMF meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa pihaknya siap memberikan pinjaman jika program yang disepakati ternyata tidak membawa hasil positif. Artinya, IMF mendorong negara untuk merasa aman ketika membuat keputusan buruk.

Bhima sendiri membandingkan dengan Malaysia yang menolak pinjaman dari IMF dan ternyata tetap bisa bertahan, bahkan BUMN seperti Petronas menjadi salah satu andalan negara. Indonesia, kata Bhima, justru berada dalam kondisi yang relatif berlawanan.

"Ketika Indonesia mendapatkan bailout dari IMF beserta syarat-syaratnya yang tentunya yang mengikat seperti liberalisasi [ekonomi], BUMN diprivatisasi, BULOG juga dilemahkan. Itu ternyata sampai sekarang, sampai hari ini, ekonomi kita masih bisa dibilang tidak mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, masih ada defisit transaksi berjalan."

7. Alternatif lain yang mungkin bisa diambil saat itu adalah capital control

Jejak Kontroversi IMF di IndonesiaANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Wisnu Widiantoro

Bhima sendiri menilai paket pinjaman IMF bukan satu-satunya pilihan saat itu. Jika melihat kembali dampaknya hingga saat ini, ia melihat ada alternatif lain yang bisa diambil oleh Suharto. Seperti Mahathir Mohamad di Malaysia, Indonesia bisa saja melakukan capital control.

"Malaysia saja tahu bahwa yang waktu itu yang harus dibenerin  adalah sistem devisanya yang terlalu liberal sehingga Malaysia melakukan capital control. Thailand pun melakukan capital control. Itu ditentang berat oleh IMF," ujarnya.

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur~

Baca Juga: Mengenal IMF, "Dokter" Bagi Negara yang Dilanda Krisis Ekonomi

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya