Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di Indonesia

Sebuah isu problematik yang terus melahirkan perdebatan

Jakarta, IDN Times - Jika ada satu korporasi asing di Indonesia yang secara konsisten menimbulkan kontroversi barangkali itu adalah Freeport-McMoRan Inc. Urusan kontrak antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan berkode FCX di bursa New York Stock Exchange (NYSE) itu menjadi bahan perdebatan selama bertahun-tahun.

Terakhir, pada 12 Juli lalu pemerintah Indonesia menandatangani Head of Agreement (HoA) dengan pihak FCX di Kementerian Keuangan. Indonesia diwakili oleh Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin, sementara FCX diwakili oleh Richard Adkerson selaku Presiden Direktur.

1. Indonesia perlu mengeluarkan uang untuk divestasi 51 persen saham FCX

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di IndonesiaANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Dalam HoA, kedua pihak setuju bahwa Inalum nantinya bisa mendapatkan 51 persen dari seluruh saham PT Freeport Indonesia (PT FI). Selain perkara divestasi yang alot, keduanya juga sepakat PT FI berhak melakukan perpanjangan operasional dua kali 10 tahun hingga 2041.

Artinya, Indonesia dan PT FI menjalankan isi Kontrak Karya (KK) II yang ditandangani pada 1991. Selanjutnya, jenis izin operasional PT FI akan diubah dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Salah satu kewajiban PT FI yang diatur dalam IUPK adalah membangun smelter di Indonesia.

Perdebatan pertama yang muncul adalah tentang status HoA. Sejumlah pihak mengingatkan pemerintah untuk lebih cermat dalam berurusan dengan FCX dan anak perusahaannya, PT FI, dalam membahas segala kesepakatan.

HoA sendiri merupakan perjanjian yang sebenarnya tidak mengikat secara legal. Ini "hanya" pintu masuk sebelum melangkah ke poin-poin yang berkekuatan hukum. Dalam HoA juga disebutkan tahapan yang perlu dilakukan pemerintah untuk divestasi.

Baca juga: Jalan Berliku Indonesia "Rebut" Freeport dari Asing

2. FCX sudah beroperasi di Indonesia selama lebih dari 50 tahun

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di IndonesiaANTARA FOTO/Jeremias Rahadat

Perjalanan panjang FCX dimulai lebih dari 50 tahun lalu. Pada 1959, nama FCX masih Freeport Sulphur.

Di ambang kebangkrutan, sang direktur, Forbes Wilson, menemui Jan Van Gruisen, petinggi East Borneo Company, untuk membicarakan soal tambang di Gunung Ersberg yang berlokasi di Papua. Kedua pihak sempat sepakat untuk melakukan kerja sama.

Namun, East Borneo Company, perusahaan tambang milik Belanda, terpaksa kehilangan hak eksplorasi ketika pada 1960-an Soekarno ingin agar Papua bergabung dengan Indonesia.

Dalam catatan investigasi jurnalis majalah Probe, Lisa Pease, Wilson tak patah arang.

Pada 1965, Soekarno digantikan oleh Soeharto. Dua tahun kemudian, keberuntungan berpihak kepada Wilson dan korporasinya. Presiden baru Indonesia menandatangani Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Freeport jadi perusahaan luar negeri pertama yang dipersilakan masuk.

3. Kontrak Karya I berakhir pada 1997, tapi sudah diperbarui pada 1991

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di IndonesiaWikimedia/Alfindra Primaldhi

Pada 1967, pemerintah Indonesia menerbitkan Kontrak Karya I untuk PT FI. Kontrak tersebut menjadi dasar penyusunan Undang-undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Dalam perjanjian itu, PT FI berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi 10 ribu hektare lahan konsesi di Kabupaten Mimika selama 30 tahun.

Penambangan pertama dilakukan pada 1973. PT FI dibebaskan dari kewajiban membayar pajak selama tiga tahun pertama. Tiga tahun berikutnya, PT FI dikenakan konsesi pajak 35 persen.

Setelahnya, baru meningkat menjadi 41,75 persen. Royalti yang wajib diberikan kepada pemerintah adalah 1,5 - 3,5 persen untuk tembaga dan 1 persen untuk emas serta perak.

Seharusnya, Kontrak Karya I berakhir pada 1997. Namun, PT FI menemukan cadangan emas terbesar di Grasberg pada 1988. Ini membuat PT FI maju ke meja perundingan untuk mendapatkan kesepakatan baru. Pada 1991, pemerintah menerbitkan Kontrak Karya II dengan berbagai catatan untuk mereka.

4. Kontrak Karya II mencantumkan kewajiban divestasi 51 persen saham kepada Indonesia

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di IndonesiaANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Penandatangan Kontrak Karya II dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia, Ginandjar Kartasasmita dan pihak FCX. Berdasarkan kontrak tersebut, PT FI bisa beroperasi hingga 30 tahun kemudian atau dengan kata lain pada 2021.

Kemudian, PT FI juga berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun hingga 2041. Lahan yang dikuasai PT FI pun bertambah luas dari hanya 10 ribu hektare menjadi 2,6 juta hektare atau sekitar 6,2 persen wilayah Papua (termasuk di dalamnya adalah tanah adat). Tak ada perubahan untuk royalti.

Sebaliknya, poin yang wajib dipatuhi PT FI adalah melakukan divestasi sebesar 10 persen paling lambat 10 tahun setelah penandatanganan Kontrak Karya II. Lalu, sejak 2001 hingga 2021 PT FI harus menjual 41 persen saham kepada Indonesia sehingga mencapai total 51 persen.

Ironisnya, hingga tahun 2018 Indonesia hanya mempunyai 9,36 persen saja melalui Inalum.

5. Urusan divestasi saham diperumit dengan masalah perpanjangan operasional

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di Indonesiamining.com

Dalam perjalanannya, beberapa masalah muncul dalam Kontrak Karya II. Misalnya, tidak ada kejelasan mengenai apakah proses peleburan dan pemurnian wajib dilakukan di Indonesia. Sejauh ini, 29 persen pemurnian dan pengolahan PT FI ada di dalam negeri. Sisanya ada di luar negeri yang tak bisa diawasi pemerintah.

Kemudian, pemerintah juga tak bisa mengakhiri kontrak dengan PT FI, tapi yang sebaliknya bisa terjadi bila perusahaan tersebut tak merasa ada keuntungan lagi. Pemerintah Indonesia juga disebutkan tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar.

Artinya, selama FCX menilai bisa meraup untung, maka perpanjangan operasional sudah tak perlu dipertanyakan lagi.

Masalah tak berhenti sampai di sini. Apalagi, pada 1994, Indonesia menerbitkan PP Nomor 20 tentang Kepemilikan Modal Asing. Aturan ini mengizinkan PT FI boleh dimiliki sepenuhnya oleh asing dan meringankan kewajiban divestasi 51 persen saham.

6. Aturan pemerintah sempat berubah-ubah

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di Indonesiamining.com

Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Di dalamnya diatur tentang badan usaha asing yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi hingga 51 persen kepada Indonesia setelah lima tahun berproduksi.

Jika memakai aturan ini, maka FCX sudah seharusnya menyerahkan 51 persen saham pada 2014. Namun, ini tidak terjadi.

Lagi-lagi FCX menemukan celah dengan mendasarkan bantahannya menggunakan PP Nomor 20 Tahun 1994 sebagai payung hukum. Apalagi UU Minerba mengizinkan FCX untuk tetap menggunakan Kontrak Karya.

Indonesia lalu menerbitkan PP Nomor 77 Tahun 2014, salah satu isinya adalah menurunkan kewajiban divestasi menjadi hanya 30 persen. Aturan ini berubah lagi ketika pemerintah meresmikan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mengembalikan kewajiban divestasi sebesar 51 persen.

Tahap-tahapnya adalah 20 persen pada tahun keenam, 30 persen pada tahun ketujuh, 37 persen pada tahun kedelapan, 44 persen pada tahun kesembilan, dan 51 persen pada tahun kesepuluh.

7. FCX pernah menolak untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di IndonesiaDokuemtasi Pribadi

Mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK berarti juga mengubah kedudukan antara pemerintah Indonesia dan FCX. Jika memakai kontrak, posisi keduanya setara. Akan tetapi, jika menggunakan IUPK, status pemerintah Indonesia lebih tinggi karena sebagai pemberi izin.

Ini jadi salah satu argumen FCX menolak perubahan dari Kontrak Karya menjadi IUPK. Apalagi jika menggunakan IUPK, dikhawatirkan Indonesia bisa sewaktu-waktu menyudahi izin operasional FCX. Penolakan ini dipertegas oleh Presiden FCX Richard Adkerson pada awal 2017.

Tak mau kalah, pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mewajibkan perusahaan tambang mendapatkan IUPK jika ingin tetap melakukan ekspor. FCX pun menerima IUPK yang berlaku hingga Juni 2018 lalu yang dilanjutkan penandatanganan HoA oleh kedua pihak pekan lalu.

8. Indonesia dan FCX berbeda pandangan mengenai status HoA

Memahami Sejarah Panjang Kontrak Freeport di IndonesiaIlustrasi Freeport (IDN Times/Sukma Shakti)

Perbedaan pandangan antara Indonesia dan FCX mengenai kewajiban masing-masing pihak seakan lumrah terjadi. Meski HoA sudah disepakati, tapi keduanya masih berbeda tentang statusnya.

Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan "perjanjian ini sudah mengikat". Sedangkan Rio Tinto menyatakan sebaliknya dan menegaskan HoA hanyalah merupakan awalan.

Rini juga percaya diri bahwa proses pembayaran sesuai HoA akan selesai pada Juli 2018 ini. Kemudian, yang tak kalah penting adalah memastikan janji pemerintah bahwa 10 persen saham PT FI akan diberikan kepada masyarakat Papua bisa terwujud dengan baik.

Baca juga: Rio Tinto dan Indocopper di Balik Kerumitan Divestasi Freeport

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Ita Lismawati F Malau
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya