Curhat Pengrajin Tempe Masih Bergantung ke Kedelai Impor

Sulit mengandalkan kedelai lokal

Jakarta, IDN Times - Kedelai impor ternyata masih menjadi andalan dari mayoritas pengrajin tempe di Indonesia. Karena ketergantungan ini pula, para pengrajin tempe di Indonesia harus pintar dalam menyikapi fluktuasi harga dari kedelai mentah dunia.

Pengrajin tempe di Gang H Aom Jakarta Selatan, Joko Asori, mengakui selama ini selalu menggunakan kedelai yang diimpor dari tiga negara, yakni Argentina, Amerika Serikat, dan China. Sebab, secara kuantitas kedelai lokal belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Jujur saja, saya selalu pakai kedelai impor. Kalau kedelai lokal, umumnya tiga hingga empat bulan sudah tak mencukupi kebutuhan. Saya memang tak pernah pakai yang lokal," ujar Joko saat ditemui IDN Times baru-baru ini.

Baca Juga: Kisah Keripik Tempe Martinah: dari Gang Kecil ke Mancanegara

1. Harga kedelai impor jadi tantangan

Curhat Pengrajin Tempe Masih Bergantung ke Kedelai ImporPara pengrajin tempe di Gang Tempe kawasan Gang H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan (IDN Times/Satria Permana)

Masalah yang sering dialami Joko selama menggunakan kedelai impor adalah harganya tak pasti. Kenaikan harga kedelai impor, diakui Joko, selalu menjadi momok buat para pengrajin.

Dalam kondisi itu, mereka dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumen, tanpa harus menaikkan harga.

"Tempe sudah kebutuhan pokok, semua kalangan cari. Ketika harga naik, kami harus berpikir keras. Contoh, ketika pandemik COVID-19, harga kedelai impor bisa Rp9.000 hingga Rp12.500 per kilonya. Dari situ, kami harus pintar supaya konsumen tak protes," kata Joko.

2. Punya trik khusus

Curhat Pengrajin Tempe Masih Bergantung ke Kedelai ImporProduk Tempe yang diproduksi oleh pengrajin tempe di Gang Tempe kawasan Gang H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan (IDN Times/Satria Permana)

Trik yang sering dipakai Joko dan pengrajin lain di Gang Tempe (sebutan buat Gang H Aom) adalah dengan mengurangi sedikit beratnya, namun harganya tetap. Misal, yang tadinya berat satu kilogram, Joko menguranginya menjadi 900 atau 850 gram.

"Kami jaga konsumen, pun tidak rugi. Memang, dalam kondisi seperti itu, kami harus bersikap. Kalau kembali normal harga kedelai mentah, ya balik lagi seperti semula," ujar Joko.

3. Joko sudah lakukan diversifikasi bisnis

Curhat Pengrajin Tempe Masih Bergantung ke Kedelai ImporProduk Tempe yang diproduksi oleh pengrajin tempe di Gang Tempe kawasan Gang H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan (IDN Times/Satria Permana)

Sebenarnya, Joko sudah mulai melakukan diversifikasi bisnis. Usaha kerajinan tempe konvensional masih dijalaninya, tapi dia juga mengolahnya menjadi bentuk yang lain.

Joko mengolah tempe buatannya menjadi keripik pula. Justru, dengan keripik tempe, usaha Joko kian berkibar.

"Saya masih bikin tempe konvensional. Tapi, keripik tempe memang jadi jagoannya. Langganan sudah banyak. Bahkan, satu hari produksi bisa 60 sampai 70 kilogram. Ketika puasa atau lebaran, mencapai satu sampai dua kuintal," kata Joko.

Usaha keripik tempe memang menjadi mata pencaharian buat warga di Gang Tempe. Ada 25 kepala keluarga yang mencari nafkah dari usaha ini.

Mereka pun tergabung dalam klaster UMKM BRI. Awalnya, mereka mendapat bantuan berupa 10 drum stainles, 10 mesin pemotong, mesin press kemasan, dan kompor gas.

"Ada juga yang menawarkan kredit usaha rakyat (KUR). Saya juga memakainya, Rp500 juta. Untuk apa? Beli aset berupa rumah dan tanahnya demi tempat produksi. Dari situ bisa berkembang. Kini, saya punya enam karyawan dengan berbagai macam tugasnya," ujar Joko.

Baca Juga: Praktisnya QRIS dan Tantangan Mendobrak Pola Pikir

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya