Saat 10 Drum Besi Gairahkan Satu Kampung

Gang tempe menyimpan banyak potensi

Jakarta, IDN Times - Sebuah kampung kecil yang terkepung dalam hiruk pikuk Jakarta ternyata menyimpan sebuah potensi yang begitu besar. Kawasan H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan, ternyata hidup lewat usaha kerajinan tempe yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Setidaknya, terdapat 40 pengrajin tempe di sini. Maka, tak heran kawasan tersebut sebagai Gang Tempe.

Ketika di mulut gang, kita memang sudah disajikan oleh pemandangan dari rumah-rumah yang menggantung tempe di terasnya.

"Rata-rata penduduk di sini asal Pekalongan. Mereka memang pengrajin tempe. Sudah puluhan tahun usaha ini berkembang di sini. Kalau saya, mulai dari 1982," kata Ketua Paguyuban Pengusaha Tempe Gang Aom, Joko Asori, saat ditemui IDN Times baru-baru ini.

Baca Juga: Direktur BRI: Inovasi Kunci Keberhasilan Transformasi Digital BRI

1. Usaha yang melegenda

Saat 10 Drum Besi Gairahkan Satu KampungPara pengrajin tempe di Gang Tempe kawasan Gang H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan (IDN Times/Satria Permana)

Joko mengakui dari usaha tempe inilah masyarakat di Gang Aom bisa hidup. Usaha yang mereka jalani sudah melegenda, dan turun temurun diwariskan ke keluarganya.

Terlihat receh, tapi sebenarnya usaha tempe ternyata menjanjikan jika digeluti dengan baik. Sebenarnya wajar, karena pada dasarnya tempe merupakan favorit dari semua kalangan dan pastinya dikonsumsi setiap hari.

"Siapa gak suka tempe. Semua kalangan suka. Makanya, usaha ini gak akan mati. Yang membedakan cuma bagaimana kualitas dari masing-masing pengrajin. Walau warganya sama, usahanya tempe, tapi ada rezekinya sendiri," ujar Joko.

2. Bukan tempe konvensional, tapi sudah diolah

Saat 10 Drum Besi Gairahkan Satu KampungProduk Tempe yang diproduksi oleh pengrajin tempe di Gang Tempe kawasan Gang H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan (IDN Times/Satria Permana)

Sebenarnya, usaha tempe di sini berbeda dengan kebanyakan. Ada yang masih menjadi pengrajin tempe konvensional, mayoritas justru menggeluti bisnis kripik tempe.

Pengrajin kripik tempe justru yang paling banyak di sini. Sebab, kripik tempe buatan warga Gang Tempe memang enak rasanya.

IDN Times berkesempatan mencobanya. Benar saja, kripiknya begitu renyah, rasanya tak kelewat gurih dan pas di lidah. Ini tentu menggoda konsumen untuk mengunyah di setiap waktu.

"Masing-masing punya cita rasa sendiri. Kalau saya, bikin rasanya ada empat, original, balado, sapi panggang, dan barbeque. Memang saya yang memulainya, lalu orang lain di sini ikut dan bikin merek sendiri. Gak masalah," ujar Martinah, perintis usaha kripik tempe di Gang Aom.

Usaha kripik tempe di Gang Aom ini dimulai oleh Martinah sejak 2011. Selama beberapa bulan, Martinah terus mencoba resep yang pas agar kripik tempe buatannya sempurna.

Hingga akhirnya, dia menemukan racikan yang pas. Kripik tempenya mulai laris dan dipasarkan ke sejumlah tempat.

"Awalnya, ada pelanggan yang sampai gak bilang apa-apa ini kripiknya enak atau nggak. Saya selama tiga bulan cari resep yang pas dan ketemu. Anak saya yang bilang pertama kali, kalau kantornya pesan dan ludes waktu itu. Akhirnya, usaha ini berkembang," kata Martinah.

Baca Juga: Dulu Tidur di Pasar, Kini Jadi Juragan Kopi

3. 10 drum besi diberikan, usaha makin bergairah

Saat 10 Drum Besi Gairahkan Satu KampungPara pengrajin tempe di Gang Tempe kawasan Gang H Aom, Gandaria, Jakarta Selatan (IDN Times/Satria Permana)

Selama sembilan tahun, usaha kripik tempe di Gang Aom berdiri sendiri. Sebelum 2020, bantuan buat warga dalam mengembangkan usahanya masih minim.

Hingga akhirnya, BRI datang dengan menawarkan bantuan. Awalnya, mereka mengucurkan bantuan berupa 10 drum stainless, 10 alat pemotong, dan kompor gas.

Dari sini, para pengrajin tempe di Gang Aom mulai mampu mengembangkan usahanya. Proses pengolahan tempe, dijelaskan Joko, menjadi lebih higienis. Sebab, menurut pengakuan Joko, sebelumnya mereka mengolah tempenya dengan drum seadanya.

"Dulu pakai drum bekas. Sekarang, sudah ada drum stainless. Jadi, saya jamin kualitas tempe kami bagus, bersih, karena prosesnya higienis. Apalagi, ada alat pemotong yang diberikan. Kami sangat butuh, dan itu membuat pekerjaan jadi lebih ringkas. Kalau kompor, kami tak pakai. Soalnya dapat yang kecil, sedangkan butuhnya ukuran besar. Setelah BRI datang dengan membangun klaster, kami juga dapat bantuan berupa KUR," ujar Joko.

Efek dari bantuan itu memang sangat terasa. Joko mengaku awalnya hanya bisa memproduksi dan menjual kripik tempe 30 hingga 40 kilogram per hari. Namun, jumlahnya meningkat sampai dua kali lipat.

"Paling ramai itu pesanan saat lebaran. Sehari bisa satu sampai dua kuintal. Aduh, sudah kewalahan buat layani pesanan. Semua sibuk di gang ini, karena kan sudah punya langganan masing-masing," kata Joko.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya