Bantahan Pemerintah yang Dituding Utang Sampai Rp17.500 Triliun

Berapa utang pemerintah yang sebenarnya?

Jakarta, IDN Times - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membantah tudingan bahwa utang pemerintah saat ini tembus Rp17.500 triliun. Tudingan itu mencuat di Twitter dan langsung ditepis oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo.

"Utang pemerintah sebenarnya sebesar Rp17.500T? Bombastis dan menyesatkan! Faktanya, jumlah utang pemerintah tidak sebesar itu," kata Prastowo melalui akun Twitternya @prastow, dikutip IDN Times, Sabtu (13/5/2023).

Baca Juga: Rilis Utang Buat Bayar Utang, PGE Disebut Bisa Kena Bunga Lebih Tinggi

1. Utang pemerintah saat ini Rp7.879,07 triliun

Bantahan Pemerintah yang Dituding Utang Sampai Rp17.500 Triliunilustrasi utang negara (IDN Times/Aditya Pratama)

Prastowo menyebutkan posisi utang pemerintah per 31 Maret 2023 adalah Rp7.879,07 triliun. Itu berdasarkan data dari publikasi APBN pada April 2023. Data resmi tersebut konsisten dipakai dari tahun ke tahun.

Dia memastikan utang pemerintah sebesar itu dalam posisi yang aman. Indikatornya adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang sebesar 39,17 persen. Angka itu relatif jauh di bawah batas yang diperbolehkan dalam Undang-undang sebesar 60 persen.

"Sehingga tidak benar jika dikatakan utang pemerintah lebih dari 100 persen PDB," ujarnya.

Baca Juga: AS Potensi Gagal Bayar Utang, Sri Mulyani Bocorkan Dampaknya bagi RI

2. Utang BUMN bukan kewajiban pemerintah

Bantahan Pemerintah yang Dituding Utang Sampai Rp17.500 TriliunGedung Kementerian BUMN. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Prastowo juga meluruskan soal kewajiban kontinjensi. Kata dia, kewajiban kontinjensi adalah kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu, dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu atau lebih peristiwa pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah.

"Kewajiban kontinjensi tidak disajikan di neraca pemerintah, namun cukup diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan untuk setiap kontinjensi pada akhir pelaporan. Hal ini dikarenakan kewajibannya baru bersifat potensi, belum tentu akan terjadi/terealisasi," jelasnya.

Dia menjelaskan, dalam laporan keuangan pemerintah pusat, utang BUMN tidak masuk dalam kategori kewajiban kontinjensi. Entitas lain seperti BUMN, perguruan tinggi badan hukum (PTN BH), pemda, dan BUMD juga tidak termasuk dalam cakupan LKPP.

"BUMN sendiri merupakan kekayaan negara yang dipisahkan menurut UU Keuangan Negara. Utang BUMN tentu menjadi kewajiban BUMN, bukan kewajiban pemerintah pusat, termasuk untuk pembayaran pokok utang dan bunganya," ujarnya.

Utang BUMN baru dianggap sebagai kewajiban kontinjensi pemerintah apabila utangnya mendapat jaminan oleh pemerintah. Tapi, kewajiban kontinjensi tersebut tidak otomatis menjadi utang pemerintah sepanjang mitigasi risiko default atau gagal bayar dijalankan.

"Berdasarkan history, hingga saat ini zero default atas jaminan pemerintah," tutur Prastowo.

Dia menambahkan, keuntungan BUMN juga tidak serta merta menjadi penerimaan pemerintah. Biasanya pemerintah memperoleh dividen dengan jumlah tertentu yang diakui sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) oleh pemerintah.

Baca Juga: Mau Tambah Utang, PGEO Disarankan Perbaiki Kinerja Operasional

3. Pemerintah perbaiki tata kelola pembayaran uang pensiun

Bantahan Pemerintah yang Dituding Utang Sampai Rp17.500 TriliunIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam tudingan soal utang pemerintah mencapai Rp17.500 triliun juga dinarasikan bahwa dana pensiun merupakan beban utang, yang saat ini masih menggunakan metode beban langsung di APBN.

Prastowo menjelaskan, persoalan kewajiban pembayaran uang pensiun oleh pemerintah, dilakukan setiap bulan sebagai wujud penghargaan dan komitmen pemerintah kepada para pensiunan ASN/TNI/Polri atas dedikasi dan pengabdian selama bekerja.

"Pemerintah terus berupaya memperbaiki sistem pengelolaan pensiun agar lebih baik dan memberikan manfaat yang optimal. Tata kelola program pensiun yang baru akan memperhatikan pembagian tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan akuntabel," tambah Prastowo.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya