Bukan COVID-19 Lagi, Stagflasi yang Kini Menghantui Indonesia

Stagflasi jadi ancaman baru buat Indonesia

Jakarta, IDN Times - Ekonomi Indonesia mulai pulih dari tekanan pandemik COVID-19. Namun, muncul tantangan dan risiko baru dari faktor global baik dari sisi geopolitik, ekonomi dan keuangan yang sangat kompleks dan dinamis.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa selain pandemik COVID-19 yang belum sepenuhnya selesai, ada dua tantangan besar lain yang perlu terus diwaspadai dan diantisipasi.

"Yaitu lonjakan inflasi global, terutama akibat perang Rusia - Ukraina, dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat," katanya dalam Rapat Paripurna yang disiarkan melalui kanal YouTube, Jumat (20/5/2022).

Baca Juga: Inflasi April 2022 Sentuh 0,95 Persen, Tertinggi Dalam 5 Tahun! 

1. Dampak perang Rusia dan Ukraina serta pengetatan kebijakan moneter AS

Bukan COVID-19 Lagi, Stagflasi yang Kini Menghantui IndonesiaOrang-orang menghadiri upacara penghormatan kepada para pembela Ukraina yang gugur, termasuk tentara yang tewas dalam pertempuran dengan pemberontak pro-Rusia di bandara Donetsk hari ini pada tahun 2015, di sebuah peringatan di dekat markas besar Kementerian Pertahanan di Kyiv, Ukraina, Kamis (20/1/2022). (ANTARA FOTO/Ukrainian Presidential Press Service/Handout via REUTERS.)

Perang Rusia dan Ukraina, dijelaskan Sri Mulyani juga telah menyebabkan disrupsi dari sisi produksi atau suplai yang sangat besar. Hal itu mendorong kenaikan ekstrem pada harga-harga komoditas global.

Harga minyak mentah terus-menerus berada pada kisaran US$100 per barel. Sejak awal tahun (year to date), harga gas alam naik 127 persen, batu bara naik 137,3 persen, CPO naik 26,1 persen, gandum naik 56,5 persen dan jagung naik 34,3 persen.

"Secara indeks harga pangan dunia telah mengalami kenaikan 145 persen dibanding situasi awal 2020," ujarnya.

Kemudian, tingkat inflasi di AS yang sangat tinggi, yaitu 8,4 persen sebagai yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir menjadi ancaman nyata bagi pemulihan ekonomi negatano, dan bahkan ancaman dunia.

Sri Mulyani menjelaskan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed, akan melakukan percepatan pengetatan moneter. Saat ini, kenaikan suku bunga acuan diperkirakan dapat terjadi hingga 7 kali di tahun 2022 dan berpotensi diikuti dengan kontraksi balance sheet yang menyebabkan lebih ketatnya kondisi likuiditas global.

"Sementara itu, sejak awal 2021 sampai dengan Maret 2022, sejumlah negara berkembang G20 seperti Brazil, Meksiko, dan Afrika Selatan telah menaikkan suku bunga acuannya secara sangat signifikan," katanya.

Baca Juga: Ramai Diperbincangkan Belakangan Ini, Apa Itu Stagflasi?

2. Indonesia dibayang-bayangi ancaman stagflasi

Bukan COVID-19 Lagi, Stagflasi yang Kini Menghantui IndonesiaIDN Times/Arief Rahmat

Dia menyebutkan spillover effect dari pengetatan kebijakan moneter dan likuiditas global harus diwaspadai oleh Indonesia, khususnya terhadap kenaikan cost of fund untuk pembiayaan, baik APBN maupun sektor korporasi, di tengah fase pemulihan ekonomi yang masih awal dan masih rapuh.

"Pergeseran risiko, tantangan inflasi, dan pengetatan moneter ini menimbulkan situasi pilihan kebijakan (policy trade-off) yang sangat sulit, yang dihadapi oleh semua negara di dunia," tuturnya.

Pilihan kebijakan tersebut adalah, apakah segera mengembalikan stabilitas harga, yakni mengendalikan inflasi yang berarti pengetatan moneter dan fiskal yang akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan, atau tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi.

"Jika tidak terkelola, risiko global ini akan menggiring kepada kondisi stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan terjadinya resesi seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada periode awal 1980-an dan 1990-an," ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, kondisi stagflasi akan memberikan imbas negatif luar biasa ke seluruh dunia terutama terhadap negara-negara berkembang dan emerging market.

"Perubahan risiko global ini harus menjadi fokus perhatian dan harus kita kelola secara tepat langkah dan tepat waktu, hati-hati dan efektif," tutur dia.

Baca Juga: Pemerintah Sodorkan RAPBN 2023 ke DPR, Patok Ekonomi Tumbuh 5,9 Persen

3. Indonesia diyakini mampu menghadapi tantangan baru yang muncul

Bukan COVID-19 Lagi, Stagflasi yang Kini Menghantui IndonesiaIlustrasi krisis ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, menjelaskan bahwa berbekal kebersamaan dan keberhasilan seluruh pemangku kepentingan dalam mengelola pandemi yang begitu sulit, Indonesia akan mampu menghadapi tantangan baru yang berbeda dan sangat kompleks tersebut. 

Dijelaskan lebih lanjut, dalam mengantisipasi eskalasi risiko global terutama dalam menghadapi tiga potensi krisis, mulai dari krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan, Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah membentuk Global Crisis Response Group (GCRG) yang mengidentifikasi tiga potensi krisis tersebut. 

"Krisis seperti ini, sama seperti pandemik COVID-19, tidak mungkin diselesaikan secara individual oleh satu negara mana pun, betapa pun super-power posisi mereka. Kerjasama global menjadi keharusan," ujarnya.

Indonesia terpilih menjadi bagian dari enam negara-negara champion GCRG tersebut. Itu menjadi kesempatan yang dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk mengusung agenda-agenda kerjasama global yang juga sangat strategis bagi kepentingan perekonomian domestik.

"Dalam forum G20, eskalasi risiko ekonomi global juga telah menjadi salah satu fokus perhatian. Presidensi Indonesia mendorong adanya solusi nyata secara kolektif untuk mengatasi berbagai potensi krisis tersebut," tambahnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya