Fakta-fakta Airbus A380, Pesawat Terbesar yang Mau Mendarat di Bali

Sudah tidak diproduksi lagi

Jakarta, IDN Times - Pesawat penumpang terbesar di dunia, Airbus tipe A380-800 yang dioperasikan oleh maskapai Emirates bakal mendarat di Terminal Internasional Bandar Udara (Bandara) Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali, Kamis, 1 Juni 2023.

Dilansir 2019 KN Aviation, A380 tidak lagi diproduksi dan hanya tersedia dalam satu varian, yaitu A380-800. Varian lain diusulkan tetapi tidak pernah diproduksi, termasuk A380 Freighter (A380F), A380-200 atau 'A380 Stretch', A380-900, A380neo, dan A380plus.

Selain sebagai pesawat penumpang terbesar di dunia, keunikan lain dari A380 adalah satu-satunya pesawat penumpang komersial dengan dek ganda berukuran penuh.

Baca Juga: 5 Fakta Airbus A380, Pesawat Penumpang Full Double Decker Terbesar

1. Ide Airbus A380 dicetuskan pada akhir 1980

Fakta-fakta Airbus A380, Pesawat Terbesar yang Mau Mendarat di Balipotret jumbo jet Airbus A380 yang sedang mengudara (Yummifruitbatvia, GNU FDL ,viaWikimedia Commons)

Airbus awalnya menyusun ide awal untuk A380 pada akhir 1980-an dan dikembangkan sebagai pesaing langsung angkutan udara jarak jauh untuk Boeing 747. Program A380 tidak diluncurkan hingga 2000, dan prototipe pertama diproduksi di Toulouse, Prancis pada 2005. Peringkat tipe FAA dan EASA diterima pada 2006.

Pengiriman A380 pertama tertunda dan dilakukan pada 2007, dengan Singapore Airlines sebagai pelanggan pertama. Pada puncak produksinya, Airbus mampu memproduksi 30 unit A380 per tahun. Pelanggan terbesar tipe ini adalah Emirates dengan 123 pengiriman.

Pada 2019, Emirates membatalkan sebagian dari pesanan besar. Airbus lalu memutuskan mengakhiri masa produksi A380 yang berumur pendek. Pesawat A380 terakhir yang merupakan unit ke-251 dikirim ke Emirates pada 2021.

Baca Juga: Airbus A380 dari UEA Dijadwalkan ke Bali Juni 2023 Mendatang

2. Asal-usul dan pengembangan Airbus A380

Fakta-fakta Airbus A380, Pesawat Terbesar yang Mau Mendarat di Balipotret ruang kokpit Airbus A380 milik Maskapai Qantas dengan kendali side joystick (commons.wikimedia.org/Braniff747SP)

Selama 1970-an dan 1980-an, pesawat penumpang terbesar adalah Boeing 747. Kesuksesan luar biasa dari 747 memungkinkan Boeing mendominasi pasar pesawat berbadan lebar dan jarak jauh.

Dua produsen pesawat besar lainnya yang ada di pasar pada saat itu adalah Lockheed Martin dan McDonnell-Douglas yang bersaing langsung dengan pesawat berbadan lebar tri-jet mereka, L1011 dan MD10.

Lockheed Martin kemudian keluar dari pasar pesawat komersial dan fokus pada pasar pertahanan dan ruang angkasa, sementara McDonnell Douglas menjadi bagian dari Boeing. Perubahan pasar pesawat komersial ini membuka peluang bagi Airbus untuk bersaing dengan Boeing di pasar pesawat berkapasitas besar.

Pada 1988, para insinyur Airbus mulai bekerja secara rahasia untuk mengembangkan pesawat berkapasitas sangat tinggi (UHCA). Proyek baru Airbus ini diumumkan di Farnborough Airshow 1990 di Inggris.

Ketika pekerjaan desain awal berlangsung hingga awal 1990-an, Airbus dan Boeing mulai bekerja sama dalam studi kelayakan bersama untuk pesawat Very Large Commercial Transport (VLCT). Tujuannya, membentuk kemitraan sebagai pengakuan bahwa pasar global untuk produk semacam itu relatif terbatas.

Pada Juni 1994, Airbus memutuskan mengembangkan produk VLCT-nya sendiri dan mengumumkan program A3XX. Kerja sama dengan Boeing secara resmi ditinggalkan pada Juli 1995 karena perkiraan Boeing menunjukkan bahwa pasar yang terbatas berarti bahwa proyek tersebut tidak mungkin menguntungkan.

Kemudian, krisis keuangan Asia melanda pada periode 1997-2000, memberikan tekanan pada Airbus untuk memastikan bahwa A3XX akan memberikan efisiensi operasi yang tinggi. desain pesawat juga dimodifikasi dengan target pengurangan biaya operasi sebesar 15-20 persen dibandingkan dengan Boeing 747-400.

Setelah melihat sejumlah konsep desain, desain A3XX menyatu pada tata letak dek ganda badan pesawat tunggal.

Pada Desember 2000, Dewan Airbus memilih untuk secara resmi meluncurkan proyek senilai 9,5 miliar euro atau 10,7 miliar dolar AS untuk membangun A380, dengan 50 pesanan tetap dari enam pelanggan.

Sebutan A380 dipilih karena angka 8 menyerupai bagian badan pesawat dek ganda. Angka 8 dianggap sebagai angka keberuntungan di beberapa negara Asia di mana Airbus mencoba menjual pesawat tersebut.

Konfigurasi A380 diselesaikan pada awal 2001 dan pembuatan komponen pertama, kotak sayap, dimulai pada Januari 2002. Pada saat A380 pertama selesai dibuat, biaya pengembangan program telah meningkat menjadi sekitar 11-14 miliar euro (12,4-15,8 miliar dolar AS).

Meskipun angka resmi tidak tersedia dari Airbus, analis industri percaya bahwa total biaya sebenarnya dari program A380 dapat mencapai 25 miliar euro (28,2 miliar dolar AS).

Baca Juga: Airbus Luncurkan A220, Pesawat Canggih yang Lebih Ramah Lingkungan

3. Airbus A380 didominasi oleh maskapai Emirates

Fakta-fakta Airbus A380, Pesawat Terbesar yang Mau Mendarat di Baliwikimedia.org

A380 tidak lagi diproduksi dan Airbus menerima total 251 pesanan dari Air France, ANA, Asiana, British Airways, China Southern, Emirates, Etihad, Korean Air, Lufthansa, Malaysia Airlines, Qantas, Qatar Airways, Singapore Airlines, dan Thai Airways.

Emirates sejauh ini merupakan pelanggan terbesar A380, dengan jumlah pemesanan hampir 50 persen dari total pesanan. Singapore Airlines adalah pelanggan terbesar kedua dengan jumlah pesanan sekitar 10 persen.

Sebagai maskapai yang dominan dan akhirnya menjadi satu-satunya pelanggan yang memesan A380, Emirates dapat 'menentukan pilihan' dalam hal program A380. Kemewahan yang diberikan Emirates pada A380 mereka termasuk suite yang terkenal, ruang tunggu dalam pesawat, dan area shower. Kemewahan ini tidak terjangkau oleh maskapai lain.

Sementara beberapa maskapai Eropa dan Asia memesan A380, tidak ada maskapai Amerika yang melakukannya. Amerika tetap menggunakan Boeing 747 yang tidak memerlukan bandara yang dimodifikasi secara ekstensif untuk memenuhi kebutuhan A380 yang memiliki lebar sayap lebih besar.

Pada Januari 2023, hanya delapan maskapai yang mengoperasikan A380, meski beberapa maskapai masih memiliki A380 di gudang dan mungkin akan mengaktifkannya kembali di masa depan.

Berikut delapan operator yang masih mengoperasikan Airbus A380 dari total yang dimilikinya:

Emirates: 88 (72 persen)
British Airways: 12 (100 persen)
Singapore Airlines: 11 (46 persen)
Qantas: 8 (67 persen)
Qatar Airways: 8 (80 persen)
Korean Air: 4 (40 persen)
Asiana: 3 (50 persen)
ANA: 2 (67 persen).

Topik:

  • Dheri Agriesta

Berita Terkini Lainnya