Pemerintah Tak Terima Pasar Karbon RI Dibanderol Murah oleh Asing

Pembahasan dengan negara lain masih alot

Jakarta, IDN Times - Pemerintah tak terima jika pasar karbon Indonesia dihargai murah, sementara negara maju lebih mahal. Alhasil, hingga kini belum tercapai kesepakatan menyangkut harga karbon milik Indonesia oleh negara-negara lain.

Dalam pertemuan World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2022 bertajuk "Unlocking Carbon Markets" di Davos, Swiss pada Mei 2022 lalu, Indonesia sudah menyuarakan aspirasinya agar ada kesetaraan harga karbon milik Indonesia dan negara-negara lain.

"Jadi karbon, kita tidak mengalami kesepakatan tentang harga," kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Senin (26/9/2022).

Baca Juga: Indonesia Protes Harga Karbon Negara Maju dan Berkembang Tidak Adil

1. Indonesia tak mau ada standar ganda

Pemerintah Tak Terima Pasar Karbon RI Dibanderol Murah oleh AsingMenteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. (instagram.com/bahlillahadalia)

Dalam pertemuan di Davos, Bahlil memberikan masukan tentang Perjanjian Paris. Di dalamnya, karbon negara maju dihargai 100 dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan harga karbon negara berkembang hanya 10 dolar AS.

"Di saat bersamaan sumber (perdagangan) karbon terbesar itu adalah negara berkembang yang memang resources-nya (sumber daya), potensinya ada, seperti kita punya gambut, mangrove, karang, areal hutan yang belum diapa-apain, tapi harganya dibuat murah," ujarnya.

Oleh karenanya, Bahlil menegaskan jangan ada standar ganda yang diberlakukan oleh negara-negara maju, hingga akhirnya terjadi perdebatan sengit dan belum tercapai kesepakatan.

Baca Juga: Indonesia Janji Implementasi Karbon Netral Transparan dan Akuntabel

2. Negara maju beralasan butuh biaya lebih besar

Pemerintah Tak Terima Pasar Karbon RI Dibanderol Murah oleh AsingIlustrasi hutan (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Dijelaskan Bahlil, negara-negara maju berkilah bahwa biaya yang mereka gelontorkan untuk berdagang karbon lebih besar dibandingkan negara maju. Sebab, mereka harus melakukan penanaman hutan kembali. Sedangkan di negara berkembang sudah tersedia hutan yang berlimpah.

"Jadi biaya HPP (harga pokok penjualan) untuk mendapatkan karbon mereka itu lebih mahal ketimbang negara berkembang," ujarnya.

Namun, Bahlil tak bisa menerima pendapat semacam itu. Menurutnya itu akal-akalan dari negara maju saja yang dinilai Bahlil sebagai standar ganda.

"Dulu hutan mereka, mereka sudah babat duluan, siapa suruh mereka babat? sekarang kita gak babat kemudian mau harga kita murah, enak aja, sementara karbon itu kan kontribusinya kepada seluruh dunia. Jadi yang mereka lihat adalah proses untuk mendapatkan karbonnya, tapi mereka tidak melihat dari kenapa sampai prosesnya mereka susah," tuturnya.

3. Bahlil tak mau bursa karbon Indonesia dibuka di luar negeri

Pemerintah Tak Terima Pasar Karbon RI Dibanderol Murah oleh Asingilustrasi CO2 (pixabay.com/geralt)

Bahlil menegaskan bahwa bursa karbon Indonesia harus dibuka di dalam negeri. Dia prihatin jika bursa karbon Indonesia dibuka di luar negeri.

"Yang memprihatinkan saya lagi adalah pasar karbon Indonesia, bursanya gak dibuka di Indonesia, ini yang kita nggak mau, gak boleh karbon Indonesia dijual di negara lain, harus dijual di dalam negeri," katanya.

"Kalau ada orang mau beli, buka pasar karbonnya di sini. Negara tetangga kita kan sudah buka bursa karbon. Ini yang mau di-switch. Tapi gak boleh terlalu bicara detail saya tentang itu," tambah Bahlil.

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya