RI Jangan Sampai Krisis Pangan, Dampaknya Mengkhawatirkan

Krisis pangan bisa sebabkan kejatuhan rezim

Jakarta, IDN Times - Dunia yang kini dilanda krisis pangan diharapkan tidak menular ke Indonesia. Sebab, dampak yang diakibatkan oleh krisis pangan tidak main-main, seperti yang diungkapkan Guru Besar IPB, Dwi Andreas Santosa.

"Pangan ini apapun menduduki peran teramat penting. Kalau kita tidak hati-hati mengelola pangan maka krisis kemanusiaan, guncangan sosial bahkan pergantian rezim ini bisa terjadi," kata dia dalam diskusi virtual CORE Mid Year Review 2022, Rabu (27/7/2022).

Baca Juga: Menlu Rusia Tuding Negara Barat Jadi Biang Kerok Krisis Pangan Global

1. Pengalaman krisis pangan dari tahun-tahun yang lalu

RI Jangan Sampai Krisis Pangan, Dampaknya Mengkhawatirkanilustrasi gandum (pexels.com/@TymurKhakimov-FollowMyPatreon)

Berkaca dari sejarah, krisis pangan yang melanda suatu negara tidak berujung baik. Andreas mencontohkan krisis pangan Arab Spring di 2011, di mana Indeks Harga Pangan (Food Price Index) ini mencapai level tertingginya yang saat itu menyentuh 240 atau meningkat hampir 2,4 kali lipat dibanding dengan rata-rata tahunannya di 2004 sampai 2006.

"Dan itu menyebabkan banyak negara mengalami guncangan politik, sosial maupun kerusuhan-kerusuhan akibat pangan, di Mozambik, Tunisia, Libya dan sebagainya," ujarnya.

Kemudian yang relatif masih baru adalah Sudan Coup di 2018, yang mana pada bulan Desember diketahui Presiden Sudan menaikkan harga roti 3 kali lipat. Akibatnya terjadi kerusuhan di Khartoum dan pada akhirnya pemerintah tersebut jatuh di April 2019.

Lalu yang paling baru adalah Sri Lanka yang diawali permasalahan ekonomi, namun kemudian merembet ke persoalan pangan. Pada tahun-tahun terakhir, terjadi penurunan produksi pangan dalam negerinya bahkan penurunannya sangat besar sekitar 40 persen sampai 50 persen. Itu disebabkan sulitnya petani mengakses pupuk.

Lalu di April 2021 tahun lalu, pemerintah Presiden Rajapaksa melarang impor pupuk sintetik untuk mendorong sistem pertanian organik. Lalu menyebabkan produksi turun dan hampir 30 persen rumah tangga rawan pangan, dan terjadi kenaikan harga pangan yang tinggi sampai 57 persen. Akhirnya pada 13 Juli yang lalu Presiden Sri Lanka, Rajapaksa meninggalkan Sri Lanka sampai akhirnya mundur dari jabatan.

Baca Juga: IMF: Larangan Ekspor Memperparah Krisis Pangan Dunia

2. Produksi gandum hingga beras di dunia mengalami penurunan

RI Jangan Sampai Krisis Pangan, Dampaknya MengkhawatirkanPetani memanen padi di kawasan Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten. (IDN Times/Herka Yanis P.)

Lalu bagaimana situasi pangan dunia tahun ini? Andreas memaparkan berbagai sumber yang ada bahwa produksi serealia akan turun sebesar 0,6 persen dibanding tahun lalu, produksi gandum turun 1 persen, produksi beras turun 0,4 persen. Lalu produksi biji-bijian kasar ini juga turun 0,5 persen.

Sementara produksi yang akan naik adalah nabati dari 600 juta ton menjadi 643 juta ton. Lalu kedelai juga naik dari 352 juta ton menjadi 391 juta ton.

"Lalu bagaimana kalau untuk pengaruh perang Ukraina-Rusia? sebagaimana yang kita ketahui atau sebagian dari kita mengetahui bahwa kedua negara memasok 30 persen gandum dunia. Lalu juga 15 persen jagung dunia. Dan juga Rusia ini merupakan produsen pupuk terbesar di dunia nomor 2, dan nomor 3 untuk urea," ujarnya.

Rusia merupakan produsen kedua untuk pupuk kalium, produsen ketiga untuk pupuk urea, dan produsen keempat untuk pupuk fosfat. Artinya, Rusia amat penting di dunia terkait dengan kebutuhan pertanian.

Untungnya Indonesia bukan negara yang paling ketergantungan dengan pupuk Rusia. Pengimpor tertinggi pupuk Rusia adalah Brasil sehingga dengan kenaikan harga pupuk ini akan berdampak terhadap sektor pertanian di Brasil.

3. Indonesia harus mewaspadai kondisi pangan di dalam negeri

RI Jangan Sampai Krisis Pangan, Dampaknya MengkhawatirkanIlustrasi sawah mengalami kekeringan. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Berdasarkan data food security index yang dipaparkan Andreas, posisi Indonesia terus mengalami penurunan dari 62 turun ke 65 dan turun lagi ke 69 di 2021. Itu menjadi catatan penting bagi Indonesia.

"Di isu Natural Resources and Resilience ini berada di urutan terbawah, 113 dari 113 negara," sebutnya.

Produksi padi di Indonesia sejak 2019 turun 7,7 persen, kemudian pada 2019 naik 0,09 persen, kemudian pada 2021 turun lagi 0,42 persen. Menurutnya itu harus menjadi perhatian bersama.

Dia juga menyebut petani cukup sengsara sejak September 2019, dilihat dari tren harga gabah kering panen (GKP) yang terus mengalami penurunan.

"Ini mungkin juga salah satu faktor yang menyumbang susahnya meningkatkan produksi padi beberapa tahun terakhir ini. Karena petani mungkin mengalihkan tanamannya ke tanaman yang lain atau bagaimana. Jadi ini trennya mengalami tren penurunan," sambungnya.

4. Tapi kondisi pangan di Indonesia secara umum masih relatif aman

RI Jangan Sampai Krisis Pangan, Dampaknya MengkhawatirkanSeorang petani mengoperasikan pompa diesel air di lahan pertanian Bendosari, Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (12/8/2021). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho.

Secara umum, Andreas menyebut kondisi pangan di Indonesia pada tahun ini relatif aman meskipun impor pangan dipastikan meningkat. Jadi, defisit neraca perdagangan pangan tidak bisa dihindari.

"Defisit neraca perdagangan pangan akan meningkat di tahun 2022 ini dibanding 2021. Nah, khusus untuk padi karena ini beras merupakan komponen utama pangan pokok kita, bila panen padi musim gadu terganggu maka harga beras akan naik relatif tinggi mulai Agustus sampai Januari 2023," ujarnya.

Oleh karenanya, dia mengharapkan kondisi tersebut menjadi perhatian bersama. Tapi, jikapun harga beras naik menurutnya tidak apa-apa karena selama ini petani Indonesia mendapatkan harga yang teramat rendah.

"Sekali-kali naik. Jadi konsumen gak usah panik lah terkait dengan hal ini," tambahnya.

Baca Juga: Sri Mulyani: 276 Juta Penduduk Dunia Terancam Krisis Pangan

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya