Akhir Pekan, Rupiah Ditutup Keok ke Rp14.955 per dolar AS

Sebagian mata uang dikawasan Asia menguat

Jakarta, IDN Times - Pergerakan nilai tukar rupiah menutup akhir pekan dengan pelemahan tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (26/5/2023).

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,01 persen atau turun 2 poin ke Rp14.955 per dolar AS. Posisi rupiah sore ini melanjutkan tren negatif pada pembukaan perdagangan pagi tadi, yang sudah melemah ke level Rp14.945 per dolar AS

Sementara itu, sebagian besar mata uang Asia lainnya terpantau perkasa terhadap dolar AS. Kenaikan tertinggi diperlihatkan peso Filipina yang menguat 0,49 persen, kemudian disusul yuan China yang menguat 0,46 persen terhadap dolar AS.

Kenaikan, yen Jepang menguat 0,39 persen dan ringgit Malaysia terapresiasi 0,32 persen terhadap dolar AS. Rupiah menjadi satu-satunya mata uang Asia yang melemah pada penutupan akhir pekan ini.

Baca Juga: Rupiah Lebih Kuat Dibandingkan Banyak Mata Uang di Asia, Ini Faktornya

1. Ada kemajuan negosiasi plafon utang AS

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, mengatakan penguatan indeks dolar pada penutupan perdagangan dikarenakan fokus (AS), tetap pada negosiasi di antara anggota parlemen terkait kenaikkan plafon utang. 

Meski demikian, negosiator Demokrat dan Republik, mengklaim sudah ada sedikit kemajuan untuk mencapai kesepakatan.

"Ini datang hanya dengan beberapa hari tersisa sebelum tenggat waktu 1 Juni untuk default utang AS, yang dapat memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi ekonomi global," ucapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (26/5/2023). 

Faktor lainnya, pedagang melihat beberapa faktor yang akan memengaruhi status mata uang cadangan greenback.

Baca Juga: BI Tahan Suku Bunga, Rupiah Menguat Tipis ke Rp14.945 per dolar AS 

2. Kebijakan hawkish The Fed buat dolar menguat

Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan sinyal hawkish dari The Federal Reserve membuat dolar AS tetap optimis. 

"Karena pembuat kebijakan mengisyaratkan bahwa AS, diperkirakan akan pulih dari resesi 2016. Suku bunga akan tetap lebih tinggi dan lebih lama untuk memerangi inflasi yang masih bertahan," ucapnya.

Baca Juga: BI: Pasar Proyeksikan The Fed Tidak Akan Agresif Lagi 

3. Pasar khawatir pelemahan ekonomi China

Lebih lanjut, muncul kekhawatiran (pasar), terkait pemulihan ekonomi yang melambat di China, serta hubungan yang memburuk antara Beijing dan Washington.

"Kondisi ini, menyusul larangan penjualan barang-barang AS ke China. pembuat chip Micron Technology Inc. Ketakutan akan wabah COVID-19 baru di China juga mengguncang sentimen, karena laporan media menunjukkan bahwa kasus kembali meningkat internal," ungkapnya. 

Sementara itu, analis Sinarmas Futures, Ariston Tjendra, mengatakan pelemahan rupiah, disebabkan dolar AS  yang menguat, sejalan dengan rilis data PDB AS kuartal pertama yang direvisi naik ke 1,3 persen dari sebelumnya 1,1 persen.

"Data klaim, tunjangan pengangguran mingguan AS, juga dirilis lebih bagus dari perkiraan," ucapnya kepada IDN Times. 

Menurutnya, berbagai data ekonomi AS yang membaik dapat menjadi alasan bagi Bank Sentral AS untuk mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, bahkan bisa menaikannya lagi.

Pada awal Mei ini, The Fed telah meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis point. Kenaikan ini membawa suku bunga The Fed berada pada level 5 sampai 5,25 persen. Tingkat suku bunga acuan itu menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 16 tahun terakhir.

Selain itu, kesepakatan kenaikan batas utang AS yang belum juga tercapai, padahal sudah hampir mendekati deadline utang menjadi default.

"Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran pelaku pasar sehingga sebagian pelaku pasar memilih masuk ke aset aman dolar AS," ungkapnya. 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya