BI Prediksi The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan di November

Suku bunga The Fed saat ini 5,25 hingga 5,5 persen

Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) memprediksi Federal Funds Rate (FFR) berpeluang kembali dinaikkan pada November 2023.  Hal ini akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi.

Memang, The Fed baru saja memutuskan mempertahankan suku bunga sebesar 5,25 persen hingga 5,5 persen pada Rabu (20/9/2023) waktu Amerika Serikat. Tapi, sudah ada sinyal kalau The Fed bakal menaikkannya kembali setelah Gubernur The Fed, Jerome Powell, buka suara. Powell menuturkan, bisa saja suku bunga naik karena mayoritas peserta rapat The Fed percaya hal itu bakal terjadi.

"The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga akan naik sekali lagi yaitu di awal November. Semuanya tetap (sesuai) data dependen. Tapi, probabilitasnya memang ini kemungkinan kenaikan yang terakhir di awal November," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam Konferensi Pers RDG, Kamis (21/9/2023).

1. Era suku bunga The Fed masih bertahan

BI Prediksi The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan di NovemberIlustrasi Suku Bunga (IDN Times/Aditya Pratama)

Proyeksi potensi kenaikan suku bunga, dijelaskan Perry, didasari pernyataan-pernyataan The Fed, dengan turut mengukur tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat (AS). Sayangnya, BI akan terus mengevaluasi perkiraan setiap bulan sesuai informasi terkini yang diperoleh.

BI memproyeksi era suku bunga tinggi akan bertahan cukup lama atau higher for longer hingga awal 2024. Kondisi ini dapat menyebabkan tipisnya aliran modal asing masuk dan melemahnya nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia. 

"Pernyataan The Fed menyatakan bahwa akan tetap hold sampai beberapa waktu. Sehingga, fenomena higher for longer itu akan berlangsung dan berlanjut hingga 2024. Khususnya, di paruh pertama 2024," ujarnya.

Baca Juga: The Fed Tahan Suku Bunga, tetapi Beri Sinyal Kenaikan di Akhir Tahun

2. Indeks dolar menguat

BI Prediksi The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan di NovemberIlustrasi dolar AS (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Dia menjelaskan indeks dolar (DXY) menguat terhadap mata uang lainnya, sampai menyentuh di atas 105,4. Bahkan ada yang mengatakan indeks dolar bisa tembus 106.

DXY adalah angka indeks yang merefleksikan sekaligus mengukur kekuatan mata uang US Dollar terhadap mata uang negara lainnya. 

Dalam catatan BI, peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar rupiah hingga 20 September 2023, secara point-to-point melemah sebesar 0,98 persen dibandingkan dengan level akhir Agustus 2023.

Baca Juga: BI Prediksi Kenaikan Suku Bunga The Fed Mundur ke Kuartal-IV 2023

3. Pertumbuhan ekonomi global 2,7 persen

BI Prediksi The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan di NovemberIlustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Bank Indonesia mengungkapkan ketidakpastian perekonomian global masih akan tetap tinggi. Alhasil laju pertumbuhan ekonomi global diproyeksi masih akan di level 2,7 persen (yoy). 

"Pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan tetap sebesar 2,7 persen dengan kecenderungan ekonomi China yang melambat dan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang semakin kuat," kata Perry. 

Dia menjelaskan perlambatan ekonomi China yang terjadi disebabkan oleh pelemahan permintaan domestik karena keyakinan konsumen, utang rumah tangga, dan permasalahan sektor properti, di tengah penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi global.  

Sementara, kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings). 

"Dalam pada itu, inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak," ujar Perry. 

Perkembangan tersebut, dijelaskan Perry, mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. 

"Akibatnya, tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia," kata Perry.

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya