Stafsus Sri Mulyani Bantah JK soal RI Bayar Utang Rp1.000 T per Tahun

Pembayaran paling tinggi mencapai Rp902 triliun 

Jakarta, IDN Times - Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo memaparkan 10 fakta utang Indonesia. Hal ini sekaligus menepis pernyataan mantan wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebut bahwa pemerintah membayar utang hingga Rp1.000 triliun per tahun.

"Sepuluh fakta keras tentang utang Indonesia! Ini sekaligus tanggapan untuk Pak @Pak_JK dan mereka yang sering membahas nominal utang tapi sengaja mengabaikan fakta di sekitarnya," kata Yustinus dalam akun Twitter resminya @prastow, yang dikutip, Jumat (2/6/2023).

Baca Juga: Utang Pemerintah Turun Rp29,18 Triliun per April

1. Pembayaran pokok dan bunga utang dilakukan terukur

Stafsus Sri Mulyani Bantah JK soal RI Bayar Utang Rp1.000 T per TahunIlustrasi Utang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Yustinus menegaskan pemerintah tidak pernah mengeluarkan dana hingga Rp1.000 triliun per tahun untuk membayar utang. 

"Dalam pembayaran pokok dan bunga utang, pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga. Jadi transparan tidak ada yang perlu ditutupi, sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," imbuhnya.

Melalui gambar yang diunggah Yustinus, terlihat bahwa pembayaran pokok dan bunga utang paling tinggi, yang pernah dibayarkan pemerintah sebesar Rp902,37 triliun yakni pada tahun 2021. Rinciannya, cicilan pokok dalam negeri Rp1,54 triliun, SBN Rp475,26 triliun, cicilan pokok luar negeri mencapai Rp82,08 triliun, bunga Rp343,49 triliun.

Kemudian tahun 2017, pembayaran pokok dan bunga utang sebesar Rp566,78 triliun, tahun 2018, mencapai Rp759,26 triliun, selanjutnya 2019 sebesar Rp837,91 triliun dan 2020 sebesar Rp770,57 triliun.

Baca Juga: JK Sebut RI Bayar Utang Setahun Rp1.000 Triliun, Cek Faktanya!

2. Rasio utang terhadap PDB per April turun

Stafsus Sri Mulyani Bantah JK soal RI Bayar Utang Rp1.000 T per TahunIlustrasi Utang (IDN Times/Mardya Shakti)

Fakta kedua, Yustinus menjelaskan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga April 2023 turun menjadi 39,17 persen dari posisi Desember 2022 yang tercatat 39,57 persen. 

Kebijakan countercyclical penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi membuat rasio utang meningkat, pada 2020 sebesar 39,4 persen terhadap PDB dan 2021 meningkat 40,7 persen terhadap PDB.

"Kemampuan recovery yang baik membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit sekaligus menurunkan debt ratio. Sehingga pada tahun 2021, rasio utang Indonesia sebesar 40,7 persen jauh di bawah rerata emerging market. China bahkan menyentuh 71,5 persen," jelasnya.

Selanjutnya fakta ketiga, pemerintah berkomitmen terus mematuhi aturan fiskal, sehingga kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) harus lebih besar daripada utang.

"Hal ini terjadi di saat mayoritas negara Asean dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi dari PDB," ucapnya. 

Lebih lanjut, Yustinus menjelaskan faktor keempat, utang pemerintah selama kurun waktu 2018-2022 telah menghasilkan efek berganda yang besar mencapai sebesar 1,34 dolar AS AS. 

"Efek berganda dari (tambahan utang Indonesia) lebih baik, dibandingkan banyak negara, termasuk AS sebesar 0,55  dolar AS, kemudian China 0,70 dolar AS dan Malaysia 0,70 dolar AS," tuturnya. 

3. Utang RI mayoritas denominasi rupiah

Stafsus Sri Mulyani Bantah JK soal RI Bayar Utang Rp1.000 T per TahunRincian utang per April 2023/Secreenshot Twitter Yustinus Prastowo

Selanjutnya, mayoritas utang Indonesia berasal dari SBN domestik atau denominasi rupiah sebanyak 73 persen dari total keseluruhan utang,  sedangkan utang dalam bentuk valas meliputi pinjaman luar negeri hingga SBN valas, porsinya 27 persen. 

"Tentu hal ini baik, untuk menekan market risk dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah," ucapnya. 

Prastowo mengemukakan bahwa risiko utang Indonesia menurun tajam, ditandai dengan debt service ratio (DSR) di tahun 2020 sebesar 47,3 persen menjadi 34,4 persen pada 2022.

“Bahkan sudah menurun lagi per April 2023 menjadi 28,4 persen. DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan,” pungkasnya.

Sementara itu, interest rate (IR) atau rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan juga turun, dari 19,3 persen pada tahun 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022, lalu mencapai 13,95 persen per April 2023. Kondisi penurunan DSR dan IR, menunjukkan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang yang meliputi pokok dan bunga semakin menguat. 

Ketujuh, Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang, hal ini tercermin dari peringkat rating yang didapatkan Indoensia dari sejumlah lembaga internasional. 

"Lembaga-lembaga pemeringkat kredit, seperti Standard & Poor's, Moody’s, dan Fitch memberikan rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil, disaat banyak negara mengalami downgrade," ucapnya. 

Baca Juga: Daftar Negara Pemberi Utang Terbesar untuk Indonesia per Maret 

4. Pemanfaatan utang lebih besar dari tambahan utang

Stafsus Sri Mulyani Bantah JK soal RI Bayar Utang Rp1.000 T per TahunManfaat penarikan utang/Screenshot twitter Yustinus Prastowo

Faktor kedelapan yakni, pemanfaatan utang untuk kebutuhan rakyat lebih besar dibandingkan tambahan utang. Karena berdasarkan data yang dipaparkan, sepanjang tahun 2015-2022, penambahan utang yang dilakukan pemerintah sebesar Rp5.125,1 triliun.

"Tapi itu, masih lebih rendah dibandingkan pemanfaatan utang untuk kebutuhan rakyat melalui belanja prioritas, seperti perlinsos, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mencapai Rp8.921 triliun," ucapnya.

Selanjutnya, Prastowo menyampaikan nilai pertumbuhan aset telah melampaui penambahan utang. Hal tersebut memperlihatkan pembangunan infrastruktur terus menjadi salah satu prioritas pendukung pertumbuhan ekonomi.

“Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pembangunan kualitas SDM [Sumber Daya Manusia],” ucapnya.

Faktor terakhir, Prastowo menegaskan bahwa utang BUMN bukan beban APBN. Hal ini mengacu, pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 20223 tentang BUMN. 

Dalam pasal 1 ayat 1, dijelaskan bahwa BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 

Dalam pasal 1 ayat 10,  dijelaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

"Jadi segala utang yang timbul dari aksi korporasi merupakan tanggung jawab penuh BUMN dan bukan menjadi utang negara," pungkasnya. 

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya