Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi Digital

Suara Milenial soal BRImo Super Appp

Jakarta, IDN Times – Ketika wawancara ini kami lakukan, dunia sedang bersiap merayakan Hari Perempuan Internasional 2022. Tahun ini, Lembaga Pembangunan Perserikatan Bangsa -Bangsa mengusung tema, “Gender equality today for sustainable tomorrow”. Sementara gerakan International Woman’s Day mengajak dunia mengkampanyekan #BreakTheBias atau Mendobrak Bias.

Handayani atau akrab disapa Hani, bisa disebutkan sebagai salah satu dari belum banyak perempuan di dunia perbankan, khususnya bank pelat merah yang berhasil mendobrak langit-langit kaca kepemimpinan di bank, terutama dalam posisinya saat ini sebagai Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, (BRI), salah satu bank terbesar di Indonesia dengan kapitalisasi pasar mencapai lebih dari Rp687 triliun, masuk dalam jajaran tiga bank terbesar di Asia Tenggara.

Dikenal sebagai bank yang punya rekam jejak melayani masyarakat dari berbagai lapisan baik di perkotaan hingga pedalaman nusantara, BRI sukses melakukan transformasi digital, dan menggaet konsumen milenial dan gen Z.

Di sini peran Hani signifikan, apalagi BRI meluncurkan BRImo, Super App yang digadang-gadang sebagai andalan untuk menjadi peluru kendali transformasi digital dalam layanan perbankan di BRI.

Bagaimana pandemik COVID-19 mempengaruhi hidup dan bisnis yang Anda tangani?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi DigitalDirektur Konsumer Bank BRI Hani Handayani (IDN Times/Reynaldy Wiranata&Aldila Muharma)

Kalau melihat ke belakang terutama sejak pandemik berlangsung, kita melihat 2022 ini adalah waktunya untuk berlari cepat. Apalagi BRI, telah menerapkan inisiasi transformasi yang bernama BRIvolution 1.0 sejak 2017 sebelum pandemik terjadi, dan dilanjutkan dengan BRIvolution 2.0 di 2021. Inisiasi ini membuat semua lini di BRI bergerak maju untuk menuju tranformasi digital yang lebih massive.

Nah, kemudian waktu itu tiba-tiba kasusnya naik luar biasa, kemudian kita langsung work from home. Bermula dari 25 persen dulu, 50 persen, dan mendadak kita semuanya harus beradaptasi untuk meeting yang gak ketemu orang itu. Itu yang pertama, yang membuat, saya rasa teman-teman juga mengalami, kayaknya tuh awal-awal agak kesulitan. Karena biasanya kalau kita meeting, bisa bertatap muka langsung, berdiskusi, dan melihat ekspresinya dan gesturnya lawan bicara kita. Kemudian prokes yang harus dijaga dengan ketat, situasi itu tentu tidak mudah.

Tapi, ternyata orang Indonesia itu luar biasa. Jadi kalau kita lihat, beradaptasinya sangat cepat, dan banyak sekali hal-hal baru yang justru muncul menjadi opportunity bisnis yang kita lihat dalam dua tahun terakhir ini banyak inovasi dan ide baru yang muncul.

Karir yang panjang di perbankan, lulus sebagai dokter gigi, dan sempat “bertugas” sebagai direktur di Garuda Indonesia. Bagaimana kisahnya?

Saya mulai bekerja di tahun 1988, atau kira-kira 34 tahun lalu ya. Nah, ceritanya memang seru sih. Jadi, kebetulan background keluarga ibu saya itu banyak yang dokter. Jadi, makanya saya didorong untuk sekolah kedokteran dan saya memilih menjadi dentist. Setelah lulus, ijazah tersebut saya berikan ke Ibu sebagai tanda bakti saya, terus saya meminta izin kepada ibu untuk mengejar cita-cita saya.

Nah, waktu itu memang kebetulan zaman SMP-SMA sering dibawa ibu ke bank, dan pada Tahun 1988, seperti sudah menjadi jalan Tuhan, saya melihat di koran waktu itu bahwa bank akan melakukan perluasan karena akan bertumbuh agresif, jadi menerima semua lulusan,. Jadi, karena waktu itu sering dibawa berkunjung ke bank, saya melihat kerja di bank kayaknya asyik nih.

Waktu itu saya mencoba apply di tiga bank, dan di tiga-tiganya diterima. Di bank swasta dan bank asing pada waktu itu, tapi saya pilih salah satu bank swasta. Kemudian ikutlah namanya Management Development Programs (MDP).

Saat masa pelatihan, sempat kelimpungan juga karena kelasnya ada 24 orang dan hanya ada tiga perempuan termasuk saya. Yang satu lulusan ekonomi dari luar negeri, yang satu psikologi dan saya kedokteran gigi. Namun seiring waktu, komposisi gender yang tidak imbang tersebut tidak menjadi kendala bagi kami bertiga untuk mengikuti pelatihan.

Saat MDP, ada program kompetisi dimana rangking 1 sampai rangking 3, akan memiliki gaji yang lebih tinggi dibanding rangking 4 sampai rangking 5, dan seterusnya. Karena sudah terlatih berjiwa kompetitif sejak kecil, saat menjadi pemain tenis junior nasional maka pas begitu ada challenge itu, saya langsung semangat untuk bisa meraih ranking meskipun belajarnya kira-kira 2-3 kali lipatnya dari teman-teman lain yang berlatar belakang ekonomi.

Kemudian dalam perjalanan karier, saya selalu melihat perlunya ada target-target yang direncanakan, sesuai didikan ayah saya sejak kecil.

Terkait hal ini, saat bekerja di bank, perempuan yang menurut saya very inspirative pada waktu itu adalah Enny Hardjanto almarhumah, banker eks Unilever yang masuk ke City Bank. Saat itu Mbak Enny vice president di usianya yang sangat muda. Saya bilang, wah ini luar biasa nih. Jadi, saya coba ikuti cara-caranya. Jadi setiap waktu selalu coba untuk melihat dan membuat target-target.

Berangkat dari bank swasta saya kemudian diminta untuk bergabung ke Bank Mandiri untuk membangun consumer banking. Saat itu Bank Mandiri baru saja selesai proses merger. Nah, waktu itu yang pastinya banyak berjasa adalah Pak Omar Anwar, Mas Kemal Santoso, dan Pak Agus Martowardojo. Beliau-beliau ini adalah mentor yang membentuk saya.

Lanjut di 2013, saya diminta untuk masuk sebagai direksi di AXA Mandiri, anak perusahaan Bank Mandiri, yang kebetulan waktu itu sedang mencari bentuk bisnis model baru, yang berbasis alternate distribution karena sebelumnya banyak menggunakan customer-nya Mandiri. Selang setahun kemudian, saya diberikan amanah untuk membantu bersama memperbaiki kondisi Garuda Indonesia saat Pak Arif Wibowo menjadi dirut.

Saat itu saya dipercaya memegang tiga bidang yang semula dipegang oleh tiga direktur yang berbeda. Gak lama di Garuda 1 tahun 7 bulan, setelah itu bergabung ke BTN dan kemudian ke BRI.

Nah, bagaimana, visi dari BRI berkaitan dengan digitalisasi khususnya targeting millennials?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi DigitalDirektur Konsumer Bank BRI Hani Handayani (IDN Times/Reynaldy Wiranata&Aldila Muharma)

Kita sebut transformasi BRI ini sebagai BRIvolution. BRIvolution 1.0 yang di-inisiate 2017, yang harusnya lima tahun, tetapi kita harus potong karena adanya pandemi. Dilakukan review ulang, sehingga kita selesaikan di BRIvolution 1.0 di 2020 kemarin. Kemudian kita masuk ke BRIvolution 2.0.

Nah, ketika kita bicara BRIvolution 1.0, kita sudah bicara bagaimana melakukan digitalisasi dan culture. Dua hal yang kita harus tanamkan di BRIvolution 1.0. Karena kita sudah melihat bahwa tidak ada cara lain untuk mengubah bisnis model kalau kita gak masuk ke digitalisasi. Dan ketika kita masuk ke digitalisasi, tentu culture behaviour employee juga harus berubah. Nah, itu kita teruskan juga di Brivolution 2.0 karena memang masih relevan, kita harus terus menguatkan digitalisasi itu.

Pertanyaannya, apanya yang mau didigitalisasikan? Jadi kalau kita memotret ada tiga hal yang kita harus digitalisasikan. Yang pertama adalah digitalizing the core, yaitu proses bisnis di BRI ini harus bisa diproses dengan digitalisasi agar menghasilkan efisiensi yang baik. Kemudian kita tahu bahwa ke depan di era yang sekarang nih, di era BRIvolution 2.0, kolaborasi menjadi kuncinya. Maka, poin yang kedua, pilar yang kedua adalah digital ecosystem.

Jadi BRI itu harus menjadi bagian dari ekosistem yang ada di dalam transaksi nasabah sehari-hari. Maka, sering kita bilang bahwa kita itu harus memiliki two sided banking models, yaitu kadang-kadang BRI di depan yang langsung berinteraksi dengan nasabah yang bisa langsung datang ke BRI dan melakukan transaksi di products dan services.

Selain itu, BRI juga berlaku sebagai back end services. Kita sebagai bank yang menjadi settlement account-nya atau pengaturan transaksi keuangan. Jadi, two sided banking models ini menjadi penting, apalagi sejalan dengan visi sistem pembayaran Indonesia. Di mana open banking itu sudah benar-benar digaungkan oleh Bank Indonesia. Nah, jadi makanya, pilar kedua digital ecosystem ini menjadi penting.

Ketiga adalah bagaimana kita menciptakan, melakukan inovasi-inovasi agar relevan dengan, tentu di era setelah pandemi ini, adalah menciptakan produk-produk berbasis digital. Jadi, tiga pilar ini kita kuatkan di BRIvolution 2.0 ini.

Postingan Mbak Hani di Instagram belakangan banyak ngobrolin soal BRImo. Ini Super App andalan digitalisasi BRI?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi DigitalDirektur Konsumer Bank BRI Hani Handayani (IDN Times/Reynaldy Wiranata&Aldila Muharma)

Baca Juga: Tak Hanya Sebar Inklusi Keuangan, Agen BRI Ini Juga Raup Jutaan Rupiah

Sebenarnya kan BRImo itu adalah transformation dari mobile banking application kita yang lama. Nah, kalau dulu kita bicara mobile banking itu benar-benar close loop. Jadi, ya sudah, nasabah bank dulu, kemudian baru dia menggunakan mobile application-nya untuk transaksi.

Nah, kan sudah gak relevan lagi ya, di era pandemi ini, jadi kalau bisa transaksi pakai jempol saja deh. Mau ngapa-ngapain pakai jempol saja. Jadi kita harus menyesuaikan dengan itu sehingga kita harus menciptakan Super App. Yang di dalamnya, nanti seluruh kebutuhan lifestyle sehari-hari orang Indonesia, dari mulai anak kecil sampai yang sudah senior, itu menggunakan BRImo, untuk melakukan aktivitasnya. Jadi kita berharap dari mulai orang bangun tidur, teng, sampai tidur lagi, dari semua bisa di-layani oleh BRImo.
Makanya kita bilang itu Super App karena BRImo itu tidak hanya untuk orang yang menjadi nasabah BRI baru melakukan transaksi, tetapi justru dia bisa dipakai oleh siapa pun untuk melakukan aktivitasnya, termasuk bukan nasabah.

Bagaimana saya mencoba memahami target konsumen milenial?

Pertama, beruntungnya saya punya anak yang milenial, bisa diajak ngobrol apa yang dia butuhkan. Kemudian melakukan assessment dengan anak, experience-nya seperti apa. Saya juga coba bergaul, berteman sama anak-anak muda, bagaimana cara mereka main games, sampai juga mendengarkan ibu-ibu atau orangtua ketika dia melihat anaknya. Demikian juga mendengarkan orang-orang tua ketika dia merasa bahwa sekarang situasi berubah tapi merasa kesulitan untuk beradaptasi terhadap cara bertransaksi yang baru. Sehingga, satu sisi ada yang sangat advanced, satu sisi ada yang ‘gaptek’.

Jadi, dari situ kemudian diskusi sama tim, kita harus membuat mobile app yang bisa digunakan oleh dua sisi, satu yang sangat advanced, satu yang ‘gaptek’. Makanya, di BRImo satu-satunya mobile app yang punya fast menu. Kalau ada yang ‘gaptek’ dengan kebutuhan transfer, bayar listrik, cek mutasi, bayar kartu kredit, mereka bisa langsung mengaturnya di dalam fast menu. Jadi nggak perlu login lagi, cukup dimasukkan ke dalam fast menu maka dia bisa transaksi dengan mudah.

Saat ini semua mengarah ke cashless. BRI masuk ke sini karena melihat potensi ya. Kalau tidak salah, BI memprediksi transaksi digital akan mencapai Rp49,73 kuadriliun. Memang besar ya?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi DigitalDirektur Konsumer Bank BRI Hani Handayani (IDN Times/Reynaldy Wiranata&Aldila Muharma)

Sangat-sangat besar. Jadi, kalau kita lihat dulu sebelum pandemik, kita berpikir bahwa pada waktu kita bilang akan transformasi ke digital and culture, kita pikir butuh waktu lima tahun untuk kita bisa melakukan literasi dan edukasi ke pasar. Tapi ternyata setelah pandemik ini, eksponensial sekali, ternyata orang Indonesia sangat cepat, bukan hanya Indonesia saja tapi secara global, secara cepat berpindah langsung ke digital platform.

Jadi kalau kita lihat dan kita bandingkan dari tahun 2019 ke 2020 growth-nya dibandingkan 2020 ke 2021 di mana pandemik sudah berjalan 1 tahun, transaksi di BRImo enam kali lipat lebih tinggi. Jadi, total transaksi kalau kita lihat hampir 1.400 miliar transaksi, secara akumulasi.

Bahkan kalau BRI bisa masuk ke pelosok-pelosok, sebelumnya kita beranggapan bahwa di pelosok akan membutuhkan waktu lama untuk literasi digital, ternyata gak juga.
Apalagi sekarang smartphone juga semakin murah, sehingga ternyata orang meng-upload foto dagangannya di Instagram, Facebook itu sudah sangat biasa dan mudah. Selama pandemik juga dikampanyekan, karena situasinya membuat mereka tidak mungkin berdagang di pasar, tidak mungkin membuka toko dan orang datang, sehingga mau gak mau mereka menggunakan gadget-nya.

Ketika mereka menggunakan gadget pasti mereka butuh bank di dalamnya untuk melakukan transfer pembayaran, pembayaran melalui uang elektronik, top up uang elektronik, dan seterusnya. Jadi, automatically mereka cari tahu. Sehingga kalau kita lihat memang luar biasa pertumbuhannya.

Soal kredibilitas penting dan BRI sudah tested dan proven menjadi bank negara yang kuat, kokoh, di tengah situasi di mana banyak sistem pembayaran yang ternyata kurang aman. Apakah itu yang membuat BRImo juga cepat perkembangannya?

Jadi, satu sisi memang kecepatan orang beradaptasi digital itu luar biasa, satu sisi yang agak ketinggalan adalah bagaimana kita melakukan edukasi pemahaman supaya yang baru melek digital ini gak ketipu.

Makanya kita membuat gerakan penyuluh digital di tahun lalu, karena sebenarnya yang paling penting adalah kita memberikan informasi ke masyarakat ketika kita sudah berbicara semua menggunakan mobile, uang kita ada di sini semua. Sehingga keamanan menjaga data, tidak sharing password, tidak sharing OTP, tidak mudah meminjamkan handphone ke orang lain, edukasi simpel itu diperlukan. Karena orang Indonesia cenderung baik hati, ketika diminta untuk pinjam handphone dan dipinjamkan, padahal di dalamnya ada mobile banking-nya.

Jadi sebenarnya kalau dari sistem sendiri, kita dalam setiap tahapan untuk menambah fitur baru kemudian kita melakukan evaluasi terhadap fitur, kita menggunakan partner yang melakukan assessment, partner independen dengan melakukan penetration test yang memiliki akurasi.

Itu harapannya akan menjadi four eyes principle (pengawas ketat) kita untuk memastikan bahwa sistem kita cukup untuk memiliki proteksi yang baik, dan tentunya dilengkapi dengan infrastruktur yang kita penuhi sesuai dengan standar kualifikasi internasional dari sisi IT security. Kemudian kita juga melengkapi dengan front detection system untuk melihat apakah ada transaksi-transaksi yang anomali supaya kita bisa cegah lebih dini.

Perangkat itu coba kita siapkan dengan baik dan juga dilengkapi dengan dashboard yang sangat lengkap, yang memungkinkan kita untuk mendeteksi secara dini jika terjadi sesuatu. Nah, dari sistem infrastruktur coba kita perbaiki dengan terus menerus tanpa henti, tapi kita juga harus mengedukasi masyarakat.

Jadi, komunikasi melalui banyak kanal tentunya, baik yang dimiliki oleh BRI, media sosial, kita selalu secara runtin menyampaikan, “Jangan memberikan data yang sensitif kepada orang lain, sering mengganti password, jangan sharing password, jaga OTP itu secara terus menerus, jangan pamer barcode, mungkin critical data yang kita merasa tidak penting saat ini, tapi bisa berbahaya jika sampai tersebar di kemudian hari.”

Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ke depan, apalagi kalau kita berbicara tentang data-data yang bisa dimanfaatkan di dunia maya itu dengan berbagai tindakan kejahatan yang bahkan sulit kita untuk memikirkannya.

Saya hampir tiap hari menggunakan BRImo. Pertama yang selalu dilihat pastinya personal financial management untuk melihat transaksi, transfer, pembelian. Kemudian, biasanya kalau kita untuk bayar asisten rumah tangga yang sudah tidak dibayar pakai cash, uang arisan, buat anak, tabungan berjangka.

Apakah ada penambahan fitur BRImo di tahun 2022?

Tahun ini kita punya banyak fitur baru yang sangat atraktif karena di dalam BRImo Super App kita ingin ada 10 ecosytem in one app begitu. Jadi kita ingin di dalam 10 ekosistem itu di dalamnya misalnya ada traveling, orang gak perlu keluar ke App lain. Cukup lewat BRImo mereka sudah bisa booking bus, booking tiket kereta api, milih tempat duduk itu dengan BRImo mereka sudah cukup, dia gak perlu keluar lagi ke aplikasi lain.

Kemudian, kita kan tahu di 2021 kita lihat secara survei, anak-anak milenial kalau disuruh menabung mereka selalu menjawab buat menabung mereka as investing. Buat investing product yang digunakan apa, yang pertama dipilih pertama saham. Kita lihat kan dalam dua tahun ini investor milenial banyak di pasar saham.

Jadi kalau ditanya sekarang, mereka menabungnya di mana, mereka gak bicara bank loh. Pertama yang disebut saham. Yang kedua muncul reksadana, yang ketiga surprisingly mereka menyebutnya crypto. Baru nomor empat dan lima yang disebut tabungan dan deposito. Jadi di tahun ini kita akan memastikan BRImo ini nanti bisa digunakan untuk on boarding pembukaan Rekening Dana Nasabah (RDN) agar mereka bisa juga kita terkoneksi dengan sistem trading perusahaan anak kita BRI Danareksa Sekuritas sehingga mereka bisa langsung melakukan aktivitas untuk membeli saham, kemudian obligasi, kemudian juga reksadana di BRImo.

Jadi kurang memperhatikan fundamental emiten ya?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi Digital

Seru sih memang ketika mereka mengulas saham begitu. Nah mereka biasanya membaca dari beberapa stockpick application. Nah itu yang perlu kita edukasi juga. Jadi ketika mereka memilih stockpick-nya yang mana, mereka tidak melihat company-nya tapi mereka hanya mendengarkan rekomendasi dari siapa pun itu, Nah itulah pekerjaan rumah kita berikutnya. Karena investor muda milenial bertumbuhnya luar biasa besar.

Apalagi kita tahu di 2022 ini banyak startup yang akan go public. Yang pastinya investor retailnya anak-anak muda. Jadi makanya PR kita di 2022 adalah bagaimana kita bisa melakukan literasi dengan cepat untuk mereka-mereka bisa paham investasi saham bukan judi loh. Begitu.

Jadi ketika kita bicara saham, investasi di saham, itu sama dengan ita itu menjadi entrepreneur. Jadi kalau dulu kita bicara menjadi entrepreneur itu dikonotasikan buka usaha baru dengan buka toko, buka pabrik, buka jahitan, toko kue, itu dikatakan entrepreneur. Sebenarnya gak, jadi ketika kita memilih saham mana yang ingin kita invest, itulah entrepreneurship dibutuhkan. Jadi harus diajari juga cara-cara bagaimana kita berinvestasi.

Nah itu penting banget tuh, karena sekarang banyak banget, NFT, crypto, blockchain, anak-anak muda ini karena mereka ada gigs di digital, mereka tuh terekspos dengan informasi-informasi ini, pengen juga uangnya berkembang cepat dibanding dengan tadi taruh di deposito atau tabungan. Apa tipsnya nih supaya gak sampai ternyata itu bodong? Lagi ramai ini.

Begini Mbak, mungkin kalau teman-teman milenial, karena ini Suara Milennial juga ya, kalau kita bicara investasi itu kita bicara duration, jangka waktu. Sehingga kalau kita bicara investasi harus meyakini begitu kalau mau investasi untuk jangka waktu berapa lama ya itu harus tahu dulu. Kemudian, yang kedua yang mesti teman-teman milennial juga tahu begitu ya, ketika kita bicara investasi, itu artinya kita akan menggantungkan diri kita ke dalam hasil dalam investasi ini ke depannya. Jadi kita butuh perencanaan yang tepat.

Kalau dua itu dipahami maka harusnya kita tidak mudah mendengar bisikan-bisikan tanpa kita pahami dulu. Karena ketika kita bicara durasi, jangka waktu, kemudian kita bicara tentang nasib kita tergantung nih dengan investasi ini, maka kita harus pastikan, barang apa yang kita beli ini sehingga memang perlu mengetahui produk-produk berbasis investment ini. Nah kalau zaman saya dulu kan susah ya mencari informasi itu, kita harus cari-cari referensi banyak. Kalau sekarang kan amat sangat mudah, teman-teman milenial untuk bisa belajar dan juga mencari informasi.

Nah, tadi kalau kita bicara mengenai bagaimana cara supaya gak terjebak oleh investasi di
produk-produk yang bodong gitu. Yang pasti kita harus tahu nih. Kalau kita melihat sesuatu, dilihat izinnya dulu ada gak nih izinnya oleh regulator. Karena kan semua produk investment itu ada aturannya lho di Indonesia. Gak bisa produk investment tuh sembarangan.

Jadi kalau kita bicara untuk masa depan, kita mesti yakin, ketika kita bicara durasi lima tahun, saya harus pastikan lima tahun lagi, ini pasti menghasilkan return sejumlah segini. Gitu kan ya. Sehingga kita harus pastikan kita punya lisensi akan bertambah lima tahun ke depan. Jangan sampai di tengah-tengah dia tutup tuh perusahaan. Jadi tuh pertama harus dipahami. Harus punya lisensi dulu.

Kemudian kalau kita bicara investment, bicara return, kalau sudah investment pasti return, karena kan gak mungkin orang berinvestasi gak mungkin gak dapat return. Nah, yang harus disadari oleh teman-teman milenial adalah kalau kita sudah bicara return, sifat yang sering ada di manusia adalah greedy. Kalau naik, naik. Kita gak punya planning, saya kalau naik 10 persen saya harus ambil untung dulu. Jadi kadang-kadang naik tambah lagi, tambah lagi supaya akan naik lagi. Kan lebih naik lagi. Nanti ketika sudah paling mentok. Bukannya diambil untuk dapat return. Malah dia kesangkut di sana, dan ketika turun gitu ya, sudah terlambat. Jadi kadang-kandang itu mesti diatur, jadi kita punya cut off juga. Jadi gak boleh greedy.

Terus yang sebenarnya kita investasikan, kita harus punya ukuran-ukuranlah. Nah demikian juga ketika kita berinvestasi gak harus untung semuanya, ya kan. Jadi kadang-kadang untung, kadang-kadang buntung gitu, tapi kita harus bisa menghitung kalau kita tidak untung, kita sudah punya hitungan sampai seberapa kita bisa absorb kerugian itu. Itu kita harus punya ukuran. Jangan dibiarkan bablas juga gitu ya kan. Kalau dibiarkan bablas, abislah uang kita ya mbak, gitu. Makanya kita juga punya cut off.

Tapi despite all of the things itu gitu, kita itu, apalagi anak muda, yang mungkin sekarang sedang seru-serunya menjadi content creator karena kita tahu banyak sekali cerita tentang content creator karena di situ banyak berita-berita bahwa untuk jadi YouTuber gampang. Cuma tinggal modal handphone, syuting-syuting video, gitu di-upload ya kan? Tapi kita lupa bahwa yang di YouTube tuh juga banyak banget ya kan ya. Harus ada sesuatu yang distingtif, kekhasan, yang membuat mereka tentu banyak followers-nya.

Tapi tidak berarti tuh bukan sesuatu yang tidak bisa kita tekuni. Tetap bisa kita tekuni. Jadi profesi apa pun itu sebenarnya bisa kita tekuni. Taruhlah sekarang kita menjadi content creator begitu. Content creator itu harus juga perencanaan yang baik. Hari ini kita bisa sukses. Mungkin tiga empat tahun lagi ketika kita enggak relevan, maka mungkin ditinggalkan. Dan kalau kita bicara di social media, itu yang namanya followers gak ada yang setia kan. Hari ini dia masuk, nanti siang bisa check out.

Ada followers yang nunggu kita salah.

Nunggu kita salah, begitu salah dijadikan konten dia. Beda kan? Jadi kalau orang. Kalau kita bicara bisnis yang konvensional itu justru kan kalau orang berhasil tuh kan kita ikutin. Tapi kadang-kadang ada juga sekarang ini justru kalau ada sesuatu yang salah jadi another content gitu ya. Apakah itu salah? kita bijaklah menentukannya.

Jadi balik lagi tadi kalau kita bicara tentang tadi content creator atau profesi-profesi lain dalam era milenial sekarang ya teman-teman harus juga punya dana darurat yang memang kita harus jaga. Kalau saya ada sesuatu, kemudian tidak menghasilkan sesuatu atau bisnis saya tidak menghasilkan sesuatu, paling tidak enam bulan minimal itu saya masih bisa hidup seperti yang saya nikmati sekarang. Jadi tuh harus kuat, harus dijaga.

Nah ini bagian dari edukasi teman-teman, jadi BRI gak cuma promo Super App BRImo tetapi upaya literasi ini juga tidak kalah penting ya. Nah, seberapa besar BRImo ini akan berkontribusi terhadap bisnis dari BRI?

Jadi kalau kita lihat sekarang dari transaksi di BRImo ini bahkan sudah bergeser ke BRImo hampir sebagian transaksi di electronic channel kita bertumbuh luar biasa. Nah tentu harapannya nanti ke depan paling tidak fee base income dari BRImo ini minimal berkontribusi di sekitar 40-50 persen dari total fee base income BRI secara keseluruhan.

Akselerasi digital yang dipicu pandemik ini pas banget momentumnya. Semuanya going digital. Nanti ATM atau kantor cabang masih relevan?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi DigitalMesin ATM BRI di Cabang Pematangsiantar (Dok.IDN Times/istimewa)

Ya kalau bicara tentang ATM, pasti akan gradually itu akan tentunya perlahan-lahan akan berkurang kebutuhannya. Kalau dulu kan orang bicaranya transaksi berbasis cash. Nah sekarang dengan digalakkannya QRIS, dan di BRImo ini juga orang bisa transaksi dengan QRIS, itu cukup dengan scan BRImo, mudah banget, maka ke depan mungkin memang kita bersama-sama mendorong cashless pastinya begitu ya. Nah ini bicara tentang efisiensi transaksi. Jadi tentu semua bank mendorong transaksi harus semakin murah begitu. Sehingga nasabah itu menjadi teredukasi, terliterasi untuk bertransaksi di bank.

Kemudian tadi basisnya juga sudah cashless. Perlahan akan turunlah jumlah ATM yang mungkin akan ditempatkan oleh bank.Jadi kalau seperti BRI karena kita melayani sampai pelosok-pelosok. Jadi tentu kita masih membutuhkan untuk itu bisa menjangkau kebutuhan masyarakat yang di pelosok-pelosok karena mereka masih menggunakan uang tunai.

Nah, strategi communication dan marketing tentu kita berusaha untuk relevan ya dengan mereka yang muda sehingga kita banyak juga menggunakan Key Opinion Leader (KOL), baik mikro ataupun makro KOL untuk mereka memberikan gambaran tentang functionality dari BRImo. Kemudian mereka juga menggunakannya, mereka juga memberikan testimoni. Jadi kita punya banyak sekali KOL-KOL yang tadi sesuai segmennya.

Jadi kalau kita bicara milenial, kita ada kerja sama dengan NOAH, sama Ariel. Misalnya begitu, kemudian untuk yang bawah kita ada anak-anak muda. Jadi kemudian kita juga ada dengan lightstick rider juga dengan travel secret. Kita bicara tentang perempuan-perempuan dengan functionality BRImo-nya dan banyak lagi mikro KOL yang di daerah-daerah itu mereka menceritakan tentang kemudahan untuk bertransaksi dengan BRImo.

Karena kita berharap di 2025 user BRImo sudah 100 juta. Kita tunggu nih kolaborasi dengan IDN Times. Sama-sama menargetkan milenial kan?

Siap. Apakah Super App BRImo ini the ultimate innovation untuk digitalisasi di BRI?

Jadi kalau di BRI sebenarnya ada tiga digital platform yang akan betul-betul kita kuatkan. Satu adalah BRImo, ini yang menjadi Super App yang akan terkoneksi, terintegrasi dengan ekosistem-ekosistem. Dia bisa ada di ekosistem. Jadi kalau Mbak lihat nanti misalnya sekarang nih buka, misalnya di BliBli atau di Tokopedia. Di situ ada logo BRImo untuk bayarnya. Jadi BRImo ada di sana. Tapi juga BRImo terkoneksi. Jadi aplikasi lain masuk ke dalam BRImo. Jadi kita itu benar-benar BRImo ini akan jadi penjuru untuk open banking kita, yang jadi Super App itu.

Kemudian satu lagi adalah BRIspot namanya. Nah BRIspot ini juga menjadi salah satu platform yang lebih kepada learn processing. Nah yang satu lagi adalah Agen BRILink, kalau dulu Agen BRILink kita bicara tentang transaksi di agen-agen, dengan EDC ke depan basisnya akan beralih ke mobile juga. Jadi tiga platform ini yang menjadi backbone kita untuk digitalisasi

Kita selalu memposisikan BRI sebagai hybrid bank. Jadi kita gak mungkin gak masuk ke dalam digital. Di era sekarang, digitalisasi sebuah keniscayaan. Jadi kalau kita gak ikut, ya pasti tertinggal jauh. Tapi kita juga memposisikan BRI sebagai hybrid bank, karena kita melayani segmen yang luas sekali dari nasabah ultra mikro, sampai high networth. Kalau kita bicara ultra mikro dan mikro, mereka masih butuh assistance dari kita BRI untuk melakukan informasi produk, layanan dan seterusnya.

Demikian juga kita bicara high networth customer. Mereka kan malas ya kalau suruh ngerjain sendiri. Ya mereka butuh orang diajak ngobrol, diskusi untuk dapetin solusi. Jadi tetap harus ada gitu. Jadi kita bicara hybrid bank. Jadi digital iya, kita inginnya menjadi market leader juga, tapi kita juga melayani nasabah kita dengan layanan yang juga terbaik gitu.

Bagaimana menyiapkan SDM dan juga komitmen terhadap teknologi ini. Kan investasi Super App gede?

Kalau kita bicara sumber daya manusia itu kan yang paling berat sebenarnya. Internally kita harus juga merekrut talent-talent yang memang mereka sudah cukup punya kompetensi yang baik di digital ini. Yang sekarang kalau kita lihat banyak “talent war” ya, karena semua orang masuk ke digitalisasi sementara kita butuh talent yang spesifik.
Misalnya nih, kalau kita bicara bicara digitalisasi kita pasti bicara data analytics, kita pasti bicara data scientist, kita pasti bicara scoring models, kita bicara tentang risk management berbasis digital.

Orang-orang ini tuh orang-orang yang yang mungkin sebelumnya, kalau kita bicara data analitis, kita bicara scoring model tuh kayaknya ilmu yang males ya ditekuni sebelumnya ya. Sekarang laku keras. Tetapi permintaannya lebih banyak dibanding source. Jadi talent war itu juga menjadi salah satu challenge buat kita.

Nah apalagi di dalam BRIvolution 2.0 itu, BRI ingin menjadi home to the best talent, jadi only the best talent yang yang seharusnya bergabung di BRI. Jadi di dalam employee value propositions BRI, yang selalu kita dengungkan adalah kalau teman-teman itu bergabung di BRI itu teman-teman akan bisa memberi makna untuk Indonesia. Karena kita bisa melayani dari nasabah ultra mikro sampai yang high net worth. Dari size of economic yang sangat kecil, sampai yang sangat besar, korporasi misalnya. Dari konvensional sampai yang digital. Jadi kalau bergabung dengan BRI ibaratnya itu “lu mau gue adalah” gitu kan kira-kira. Jadi makanya value-nya adalah memberi makna bagi Indonesia.

Nah satu sisi, di internal kita juga perlu dikuatkan, sehingga training itu menjadi sangat penting. Meningkatkan kompetensi sangat penting, dan gak boleh lama, harus cepat. Itu juga salah satu challange. Apalagi di dua tahun ini, kita susah kan ya untuk training, gak bisa ketemu jadi harus pakai Zoom, jadi tuh sangat challenging untuk memastikan ini orang dengerin apa gak sih.

Kalau bicara teknologi, karena kita ini bank besar tentu kita tidak bisa main-main ya. Jadi kita harus juga memperbaiki infrastruktur sistem teknologi kita dengan sistem teknologi yang terkini dan menjadi amat sangat penting ketika kita bicara digitalisasi adalah bagaimana sistem kita itu reliable. Dan tentu yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana kita menjaga security dari sistem itu sendiri.

Kalau Mbak Hani wawancara calon karyawan, ini buat teman-teman nih, supaya dapat bocoran ya, clue. Kan tadi recruiting the best talents, kira-kira talent baru seperti apa yang akan bisa masuk ke BRI?

Kalau saya personally, tentu ada kualifikasi secara akademis ya. Kalau saya menginterview seseorang itu yang saya lihat adalah apakah orang ini bisa mengungkapkan strenght-nya dia tuh di mana. Itu penting, karena kalau dia tahu strength-nya dia, maka buat siapapun supervisornya dia akan mudah untuk mengasah anak ini menjadi lebih cemerlang lagi. Tapi kalau kita aja gak ngerti strength-nya apa, orang lain yang disuruh nyari strength-nya kita, kan berarti kita gak confidence.

Jadi kalau buat teman-teman milennial, yang pertama adalah mesti tahu kita itu punya kemampuan kekuatan di mana. Kemudian yang kedua, yang selalu saya juga sampaikan dalam setiap interview, mimpinya apa? Jadi ketika kita sudah tahu strength kita, punya mimpi apa sih anak ini. Kalau mimpinya terlalu cetek kayaknya kurang menarik ya. Jadi harus punya mimpi, karena dari situ kita tahu ini anak passion-nya di mana sih sebenarnya. Jadi saya sih gampang kalau interview, simpel cuma …

Karena gini, kalau kita tidak paham strength-nya kita, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain untuk bisa memilih kita? Kalau kita gak tahu kita punya kekuatan di mana, terus orang lain suruh nebak kan ya lucu ya. Yang kedua, kalau kita gak punya dream, apa yang mau kita tuju.

International Women’s Day 2022 temanya adalah break the bias. Nah gimana merayakan perbedaan ini di BRI?

Direktur BRI Hani Handayani Blak-Blakan Soal Transformasi DigitalDirektur Konsumer Bank BRI Hani Handayani (IDN Times/Reynaldy Wiranata&Aldila Muharma)

Itu yang menurut saya, kita harus sama-sama bukan cuma di BRI aja sebenarnya. Jadi sekarang tuh rasanya udah gak relevan lagi ya melihat, bahwa perempuan itu lebih lemah dari laki-laki, oh pekerjaan ini untuk laki-laki saja bukan perempuan. Menurut saya, kalau kita bicara yang International Women's Day, kita bicara mengenai bahwa sekarang kesetaraan itu sudah menjadi sebuah diskusi yang mungkin secara internasional itu disuarakan.

Jadi kalau kita bicara tentang tadi bias gitu ya menghindari bias-bias yang tadi, apakah ras, apakah suku, gitu ya memang sebaiknya itu seharusnya tidak menjadi diskusi yang relevan lagi di masa sekarang. Kan eranya sudah jelas ya, eranya adalah sekarang semua orang memiliki kesempatan yang sama gitu ya. Semua orang itu setara dan semua orang harus menunjukkan kontribusinya.

Dan yang terakhir adalah, sekarang eranya adalah kolaboratif. Gak mungkin kalau laki-laki bisa bekerja sendiri tanpa berkolaborasi dengan perempuan, demikian juga perempuan tidak mungkin bisa kerja tanpa berkolaborasi dengan laki-laki. Jadi saya rasa tema cross bias ini menarik sekali untuk kita benar-benar suarakan.

Baca Juga: Lakukan Transformasi, Dirut BRI Ungkapkan Visi Pengembangan BRI Group 

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya